Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Tanya-Jawab Bermanfa’at (Rabu, 28 Dzulhijjah 1435)

cooltext1763002263 tjg-gif-update (1)

HUKUM TIDUR TENGKURAP

Tanya: Assalamu’alaikum… afwan mau bertanya, bagaimana hukum tidur tengkurap?, ada hadits yang mengatakan: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Thikhfah Al-Ghifariy -beliau adalah salah seorang Ahlush shuffah- yang pada suatu malam tidur/ berbaring dengan posisi tengkurap: “Janganlah kamu tidur dengan cara seperti itu, karena itu adalah cara berbaring penduduk neraka”. (HR. Thabrani [8148] asy-Syamilah). apakah hadits tersebut shohih?. Kalau shohih tengkurap bukan saat tidur, tapi tengkurap saat baca buku boleh tidak?. Apakah hukumnya sama dengan tidur dalam posisi tengkurap? Mohon penjelesannya. (Pertanyaan dari Cilacap).
Jawab: Wa’alaikumussalam Warohmatulloh Wabarokatuh. Para ulama hadits berbeda pendapat tentang hadits tersebut, sebagian mereka menshohihkannya, dengan itu mereka mengharomkan tidur tengkurap, namun pendapat yang terkuat dan yang benar bahwasanya dia termasuk hadits mu’all (memiliki cacat/penyakit), di dalam sanadnya ada seorang majhul (tidak dikenal jati dirinya), dan diantara mereka menyebutkan ini diriwayatkan dari hadits Abu Huroiroh, namun ini juga tidak mendukung, Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya bahwasanya beliau mengatakan: 

حديث أبي هريرة ليس بصحيح
“Hadits Abu Huroiroh tidaklah dia shohih”.
Dan Syaikhuna Abu Abdirrohman Yahya Al-Hajuriy ‘Afallohu ‘anhu telah mendhoifkan hadits ini, beliau berkata:
وأنت ترى أن الحديث لا يصح، وإذا كان كذلك فننصح بترك هذه الضجعة
“Dan kamu melihat bahwasanya hadits tersebut tidak shohih, jika keadaannya demikian maka kami nasehatkan untuk meninggalkan tidur tengkurap ini”.
Dan beliau juga mengatakan:
أما النوم على البطن فلم يثبت عنه ولم نعرف عن السلف رضوان الله عليهم من النبي صلى الله عليه وآله وسلم والصحابة والآخرين أنهم كانوا ينبطحون على بطونهم، فلا ينبغي ذلك.
“Adapun tidur di atas perut maka tidaklah shohih darinya, dan kami tidak mengetahui dari salaf -semoga keridhoan Alloh untuk mereka- baik dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Salam, para shohabat dan yang lainnya bahwa mereka berbaring di atas perut-perut mereka, maka tidaklah sepantasnyan demikian itu”.
Adapun tengkurap pada saat baca maka hukumnya tidaklah sama dengan hukum tidur tengkurap, namun hendaknya seseorang tidak tengkurap ketika membaca, karena bila dia terbawa oleh ngantuk hingga tertidur maka keadaannya adalah tengkurap, berbeda kalau dia bisa menjaga diri, ketika ingin tidur langsung membalikan tubuhnya.
Bila seseorang lebih terfokus kalau membaca dengan cara tengkurap maka tidak mengapa dia lakukan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, keadaan seperti itu terkadang dibutuhkan, apalagi ketika perang tentu sangat membutuhkan untuk tiarap, tengkurap dan berjalan seperti model jalannya comodo, dan ini telah kami rasakan ketika perang di Dammaj, di perbatasan Alu Manna’ dengan Masaddir karena memang membutuhkan gerakan seperti itu, maka ini boleh karena tidak ada dalil yang melarangnya.
Dan ini juga perlu melihat keadaan orang yang melakukannya, terkadang orang yang tengkurap untuk membaca, ini mengakibatkan dada dan pinggangnya sakit, bila keadaannya seperti ini maka tidak boleh melakukannya karena memudhorotkannya:
ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
“Dan janganlah kalian membinasakan diri-diri kalian, sesungguhnya Alloh terhadap kalian adalah Ar-Rohim (penyayang)”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (26 Dzulhijjah 1435).

BEDA TAFSIR DAN TERJEMAH

Tanya: Apakah tafsir dan terjemahan Al-Quran itu sama?.
Jawab: Tidak sama, tafsir atau disebut oleh sebagian salaf dengan nama ta’wil, dia adalah penjelasan berupa arti, ma’na, defenisi dan keterangan-keterangan, baik disertai dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan perkataan salaf atau hanya dengan keterangan dari bahasa Arob, ini disebut dengan tafsir atau ta’wil.
Adapun tentang terjemahan maka adakalanya dia berupa translit atau pengalihan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau terkadang berma’na syarh (pemberian keterangan) sebagaimana yang biasa para ulama katakan “fii hadzihi tarjamah” (pada penjelasan ini), atau terkadang pula berma’na biografi seperti perkataan para pensyarah “Tarjamah Asy-Syaikh…” (Biografi Syaikh…).
Dan penggunaan semua ini disesuaikan dengan maksud dan tujuan dari penggunaan masing-masing.
Adapun kalau yang dimaksud oleh penanya tentang terjemahan Al-Qur’an maka tentu keadaannya sangat jauh berbeda dengan tafsir, karena terjemahan ini berbentuk pengartian dari kata perkata, dan orang yang menterjemahkan Al-Qur’an tentu membutuhkan tafsir. Wallohu A’lam.
Tanya: Apakah diperbolehkan jika ana membaca terjemahan bahasa Indonesianya saja tanpa berwudhu terlebih dahulu?. Jazaakumullahukhoira.
Jawab: Boleh, membaca ayatnya saja boleh menurut pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama walaupun tidak berwudhu, maka tentu lebih boleh lagi ketika membaca terjemahannya.
Adapun menyentuh mushhaf maka ini ada perbedaan pendapat pula di kalangan para ulama’, sebagian mereka yang tidak membolehkan menyentuh mushhof melainkan dalam keadaan suci mereka berdalil dengan perkataan Alloh Ta’ala:
لا يمسه إلا المطهرون
“Tidak ada yang menyentuhnya melainkan mereka yang suci”.
Dan dhomir “ha” kembali pada ayat sebelumnya yaitu:
كتاب مكنون
“Kitab yang terjaga”.
Asy-Syaukaniy dan selain beliau Rohmatulloh ‘alaihim menyebutkan bahwa kitab ini yang ada di Lauhul Mahfuzh, dan Al-Muthohharun adalah para malaikat yang suci.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu.

HUKUM IMUNISASI

Tanya :Assalamualaikum, afwan mohon penjelasan mengenai imunisasi?. Jazaakumullahukhoira.
Jawab: Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokatuh.
Yang kami ketahui tentang imunisasi adalah penyeluhan kesehatan untuk para bayi, dengan gambaran para ibu mendatangkan bayi-bayi mereka ke puskesmas atau yang semisalnya untuk memeriksa kesehatannya, diberikan suntikan, obat-obatan dan apa saja yang membantu dan mendukung kesehatan para bayi.
Bila keadaannya seperti yang kami ketahui ini maka hukumnya adalah boleh, bahkan dianjurkan kalau memang keadaan bayi membutuhkannya atau kalau ia sering sakit, Rosululloh Shollallohu Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«يا عباد الله! تداووا فإن الله لم يضع داءً إلا وضع له دواءً غير داء واحد: الهرم»
“Wahai para hamba Alloh, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Alloh tidak meletakan suatu penyakit melainkan dia meletakan obatnya, selain satu penyakit, yaitu kematian”.
Adapun kalau keadaan bayi tidak membutuhkan maka tidak perlu, cukup dengan perawatan dari ibunya atau dari pengasuhnya dengan memperhatikan kebutuhannya terhadap gizi dan makanan serta minuman yang mendukung kesehatan dan pertumbuhannya. Wallohu A’lam.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (25 Dzulhijjah 1435).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar