Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Hukum Ikhtilat (Campur Baur Antara Pria dan Wanita)

Tanya: Mohon penjelasan mengenai ikhtilat apakah ada ikhtilat yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan, jika  diperbolehkan itu contohnya bagaimana?.Jazaakumullahukhoir. (Pertanyaan dari Bekasi).
arabic-ornament-vector15Jawab: Semua ikhtilath (campur baur antara pria dengan wanita) adalah tercela, dalil-dalilnya sangat banyak, diantaranya:
(وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّىٰ يُصْدِرَ الرِّعَاءُ ۖ).
“Dan tatkala beliau (ya’ni Musa) sampai ke air Madyan, beliau mendapati sekelompok dari manusia sedangkan meminumkan (ternak mereka), dan beliau mendapati di belakang mereka ada dua wanita yang sedang menghambat (ternak keduanya), beliau bertanya: “Apa yang membuat anda berdua berbuat begitu?”, keduanya menjawab: “Kami tidak akan meminumkan (ternak-ternak kami) sampai para pengembala itu memulangkan (ternak-ternak mereka)”.
Tidaklah kedua wanita mulia tersebut berbuat demikian melainkan supaya tidak terjadi ikhtilath (campur baur antara keduanya dengan sekelompok laki-laki pengembala itu).

Ini termasuk salah satu dalil tentang tercelanya ikhtilath, dan kejadian dua wanita mulia tersebut adalah di zaman salafush sholih dan dahulu para salafush sholih tidak mengadakan ikhtilath, oleh karena itu Al-Imam Al-Hasan Al-Bashriy -semoga Alloh merohmatinya- berkata:
وإن اجتماع الرجال والنساء لبدعة
“Dan sesungguhnya perkumpulan para pria dengan para wanita adalah benar-benar bid’ah”.
Dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mengatur para shohabatnya untuk tidak terjadi ikhtilath, bila berkaitan dengan perkumpulan kaum muslimin seperti sholat berjama’ah, tatkala sudah salam dari sholatnya maka para wanita langsung keluar dari masjid, sehingga tidak terjadi ikhtilath di pintu atau di halaman masjid, dan pada sholat ‘ied di lapangan juga para pria terpisah dengan para wanita, sampai masalah hajipun para shohabat mengupayakan untuk tidak terjadi ikhtilath, pada zaman shohabat ketika thowaf di Ka’bah, para wanita mengambil ke bagian sisi atau tepi untuk menjauhi ikhtilath, dan ketika itu jama’ah haji belum sebanyak zaman ini.
Sebagian orang yang membolehkan ikhtilath terkadang berdalil dengan keadaan jama’ah haji di zaman ini, dan ini adalah alasan yang bukan pada tempatnya, karena beberapa sisi:
Pertama: Tetap dikenai larangan ikhtilath, namun karena keadaan darurot pada waktu tersebut maka mereka diberi udzur, bersamaan dengan itu para wanita tetap diperintah untuk menjaga diri dengan mengenakan pakaian syar’iy yang tidak mengundang fitnah dan kalaulah ada waktu dan ruang lingkup khusus untuk mereka ketika thowaf di Ka’bah maka tidak boleh kemudian bagi mereka ikhtilath, namun karena tidak ada, maka setiap wanita mengikuti jejak mahrom mereka dan dibawah pengawalan mahromnya.
Kedua: Jama’ah haji bagi wanita, mereka diwajibkan untuk haji bersama mahromnya, dengan adanya mahrom ini maka mereka dijaga dari bahaya ikhtilath yang darurot tersebut.
Ketiga: Jama’ah haji terfokus hanya kepada ibadah haji, tidak pada yang lainnya.
Tentang permasalahan ikhtilath ini telah kami tulis sebuah tulisan dengan judul “Ikhtilath Wabah yang Mengerikan”, dan Syaikhuna An-Nashih Al-Amin -semoga Alloh merohmatinya- memiliki fatwa khusus tentang masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar