Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Hukum Celana Bantalon

cooltext1805144166
Tanya: Apa pendapat antum tentang lelaki yang memakai celana bantalon?.
Jawab: Kalau dia tidak mendapatkan celana melainkan itu maka boleh baginya memakainya dengan ketentuan dilapisi diluarnya dengan sarung atau jubah atau gamis yang panjangnya melebihi lutut (di pertengahan betis atau di atas mata kaki).
Sangat mengherankan, ketika ada seorang ustadz atau da’i berpakaian islamiy namun hanya bagian atasnya, adapun bagian bawahnya “berpakaian tapi telanjang”, di atas kepala memakai peci, di badan memakai baju kokoh atau kemeja atau jas namun di bawahnya memakai bantalon hingga tampak bentuk paha dan bahkan yang lebih tersembunyi dari itu, sangat memalukan seorang ustadz mengajarkan sifat sholat Nabi beserta praktek langsung dalam kedaan dia mengenakan bantalon, di atasnya memakai baju taqwa dan peci, sedangkan di bawahnya memakai bantalon, ketika ruku’ tampak dari belakangnya seakan-akan “orang hutan”, kulitnya dari kaki sampai kepala tertutupi bulu-bulu namun bentuk auratnya nampak, lebih-lebih ketika sujud, dan sangat menyedihkan lagi ternyata praktek sholat tersebut difoto hingga tersebar kemudian diiklankan di dalam majalah atau buku. 

Bentuk pakaian seperti ini tidak diragukan lagi termasuk dari tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang kafir dan orang fasiq.
Kaum kafir Nashoro (sama saja dari kalangan pria atau wanita) bila mereka beribadah di gereja, maka mereka mencukupkan memekai celana levis atau yang teranggap lebih sopan dari itu adalah bantalon.
Adapun penyerupaan terhadap orang fasiq (sama saja dari kalangan pria atau wanita) maka mereka tersifati dengan sifat semisal:
نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
“Para wanita yang berpakaian tapi telanjang”.
Ini jelas ma’siat, yang dosanya bukan remah, bahkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghukumi pelakunya dengan penghukuman yang besar:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barang siapa menyerupai terhadap suatu kaum maka dia termasuk dari mereka”.
Sangat aib dan sangat memalukan bila para penuntut ilmu syar’iy atau para da’i dihukumi serupa dengan wanita, “berpakaian tapi telanjang”.
Sebagian orang bermudah-mudahan memakai bantalon, hingga terkadang keluar rumah tanpa melapisinya dengan jubah atau sarung atau gamis melebihi lutut (setengah betis atau di atas mata kaki), dengan beralasan bahwa Asy-Syaikh Ibnu Bazz dan Ibnul Utsaimin membolehkan.
Bila kita melihat kepada alasan mereka ini maka kita akan ketahui kelemahan mereka, diantaranya:
1. Mereka memakai dalam keadaan mereka mampu untuk mengenakan pakaian syar’iy semisal sirwal atau sarung atau jubah atau gamis panjang melebihi lutut (setengah betis atau di atas mata kaki), bahkan lebih mengherankan ketika mereka meminta-minta harta manusia atas nama da’wah, lalu harta itu mereka belanjakan untuk membantu para fuqoro’ atau para korban kerusuhan yang terkadang mereka belanjakan untuk pakaian semisal sirwal, sarung atau jubah atau gamis, lalu mereka bagi-bagikan dan menyuruh orang untuk mengenakan apa yang mereka berikan, perbuatan dan ucapan mereka seperti ini, secara tidak mereka sadari telah berda’wah untuk itu dalam keadaan mereka tidak mengenakannya maka ini adalah hujatan untuk mereka:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan terhadap sesuatu yang tidak kalian lakukan?, sangat besarlah kemurkaan di sisi Alloh ketika kalian mengatakan terhadap apa-apa yang kalian tidak lakukan”.
2. Menjadikan fatwa ulama sebagai alasan untuk membenarkan kesalahan mereka, tidaklah kita mendengar bahwa para ulama yang membolehkan itu, bahwa mereka memakai bantalon secara terangan-terangan, ya’ni tanpa ada pelapis luarnya atau bahkan mereka tidak memakainya sama sekali karena mereka telah merasa cukup dengan pakaian Islamiy.
Dan sangat mengherankan terkadang orang yang suka memakai bantalon tersebut adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membeli sirwal namun entah karena alasan apa lagi sehingga mereka lebih suka memakai bantalon dari pada memakai sirwal?.
Kalau orang ‘amiy (anak sekolahan atau anak kuliahan atau para pekerja di perkantoran atau di pemerintahan) yang bukan dari para penuntut ilmu syar’iy dan bukan pula da’i atau ulama’ maka kita telah ketahui keadaan mereka -semoga Alloh memberikan hidayah kepada mereka-, namun yang sangat mengherankan adalah adanya para penuntut ilmu syar’iy atau bahkan yang sudah dianggap sebagai da’i mengenakan bantalon tersebut dengan tanpa dilapisi sarung atau yang semisalnya, hanya dengan alasan boleh berdasarkan fatwa ulama’.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (25/1/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar