Tanya: Bagaimana pendapat yang benar tentang hukum membaca kitab-kitab Ahlil bid’ah?.
Jawab: Ahlussunnah sudah merasa cukup dengan kitab-kitab dari Ahlissunnah sehingga tidak membutuhkan kitab-kitab Ahlil bid’ah.
Sudah merupakan kebiasaan Ahlissunnah adalah mengkaji dan membahas, ketika sedang melakukan kegiatan ini terkadang mereka tidak mendapatkan faedah melainkan hanya dari kitab-kitab selain Ahlissunnah, ketika mereka mengutipnya maka bagi mereka adalah menyebutkan sumber pengutipannya sebagai amanah ilmiyyah, bersamaan dengan memberikan keterangan dan peringatan tentang pemiliknya.
Sebagian orang sok bermanhaj salafiy tidak memahami hal ini, mereka menganggap bahwa ini adalah manhaj muwazanah, dengan itu merekapun membuat kecurangan, dengan dilabeli fatwa ulama’, diantaranya Asy-Syaikh Robi’ Al-Madkholiy memfatwakan tidak boleh…, Asy-Syaikh Robi’ mentahdzir….
Ketika Asy-Syaikh Abu Hatim Yusuf Al-Jazairiy membantah DR. Robi’ maka merekapun bersenandung “tidak boleh disebar bantahannya karena tidak ditaqdim oleh Syaikhuna…”.
Ketika ada fatwa Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Ar-Rojihiy tentang DR. Robi’ merekapun menolak dan mengatakan: “Sumbernya tidak jelas”, anehnya si maling ikut berteriak: “Sumbernya dari takfiriy”, si maling pejuang ma’had biarawati kemudian mengumpulkan perkataan-perkataan ulama tentang tidak bolehnya mengutip atau membaca kitab-kitab dan terjemahan Ahlul bid’ah, ternyata dia pencuri dan maling tersesat:
أي فلان ما شأنك؟، أليس كنت تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر؟
“Hai fulan, ada apa denganmu?, bukankah kamu memerintahkan kepada kebaikan dan kamu melarang dari kemungkaran?”.
Keanehan manhaj mereka ini, mentahdzir dari kitab-kitab Ahlil bid’ah atau terjemahan kitab-kitab Ahlil bid’ah dalam keadaan mereka ternyata mencuri darinya, ini seperti yang dilalukan oleh para pejuang ma’had biarawati tersebut, bersemangat membawakan fatwa DR. Robi’ dan menampakan sikap keras terhadap kitab-kitab Ahlil bid’ah atau buku-buku terjemahan yang diterjemahkan oleh saingan mereka, ternyata malah mencuri terjemahan orang lain, ketika ditanya maka jawabannya “ana tidak mencuri tapi muqobalah” atau alasan aneh lainnya, ini persis dengan para penggemar penerjemah dari kalangan hizbiyyin, dalam waktu singkat menyelesaikan terjemahan kitab-kitab ternyata menjiblak dari terjemahan sebelumnya, sekadar contoh terjemahan A. Hasan terhadap Bulughul Maram dijiblak kemudian ganti nama penerjemah dengan tanpa menyebutkan hasil cuplikan, merubah kata perkata, dengan alasan A. Hasan adalah mubtadi’ tidak pantas disebut.
Demikianlah keadaan mereka, merasa paling tahu tentang manhaj salafiy ternyata penyelisih yang paling licik, kalaupun mereka mengira perbuatan mereka itu adalah siasat maka sungguh perbuatan tersebut tidak dikenal pada siasat (politik) Bung Karno, Sukarno yang dikenal di dunia Islam dengan nama Ahmad Sukarno menyurati A. Hasan, meminta dikirimkan terjemahan biografi Raja Su’ud karena dia senang dan kagum dengan terjemahan tersebut. Tidak kita dengar dikemudian hari bahwa Bung Karno menghilangkan nama A. Hasan, bahkan beliau terus menyenangi A. Hasan hingga berkali-kali menghubunginya dan menjalin ikatan persahabatan sampai berpisah karena kematian.
Adapun para maling modern yang kami sebutkan tersebut maka mereka telah menempuh yang lebih tersesat, tidak mengikut pada manhaj salafiy sesungguhnya dan tidak pula menempuh siasat syar’iyyah namun melakukan kelicikan dan khianat yang dibangun di atas manhaj hizbiyyah:
(إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ)
“Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (26/1/1435).
Abu Ahmad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (26/1/1435).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar