Pertanyaan:
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
Apakah memulangkan istri ke rumah orang tuanya, tidak lagi
memberi nafkah bisa dikatakan tholaq satu?.
Jawaban:
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أما بعد:
Tidak bisa dikatakan sebagai tholaq, karena yang namanya
tholaq hendaknya diniatkan dan diucapkan, bila seseorang berniat mentholaq
istrinya dengan cara memulangkannya ke rumah orang tuanya dengan tanpa dia
ucapkan "saya mentholaqmu" maka ini tidak dianggap sebagai tholaq,
dan ini adalah perdapat kebanyakan ahlul 'ilmu dari kalangan tabi'in dan selain
mereka.
Dan dalil tentang tidak teranggapnya sebagai tholaq adalah perbuatan
Nabiulloh Ibrohim 'Alaihis Salam yang membawa istrinya Hajar dan
putranya Ismail, Abdulloh bin Abbas mengisahkan sebagaimana di dalam
"Shohihul Bukhoriy":
"حَتَّى وَضَعَهُمَا عِنْدَ البَيْتِ
عِنْدَ دَوْحَةٍ، فَوْقَ زَمْزَمَ فِي أَعْلَى المَسْجِدِ، وَلَيْسَ بِمَكَّةَ
يَوْمَئِذٍ أَحَدٌ، وَلَيْسَ بِهَا مَاءٌ، فَوَضَعَهُمَا هُنَالِكَ، وَوَضَعَ
عِنْدَهُمَا جِرَابًا فِيهِ تَمْرٌ، وَسِقَاءً فِيهِ مَاءٌ، ثُمَّ قَفَّى
إِبْرَاهِيمُ مُنْطَلِقًا، فَتَبِعَتْهُ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ فَقَالَتْ: يَا
إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الوَادِي، الَّذِي لَيْسَ
فِيهِ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ؟ فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ مِرَارًا، وَجَعَلَ لاَ
يَلْتَفِتُ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ لَهُ: آللَّهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ
نَعَمْ، قَالَتْ: إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُنَا".
"Kemudian beliau meletakan keduanya
di sisi pohon besar, di atas Zamzam, di atas masjid, dan tidaklah ada
seorangpun di Makkah ketika itu, dan tidak ada padanya air, dan beliau
meletakan keduanya di sana, diletakan pada keduanya sebungkus korma dan
sekantong air, kemudian Ibrohim berpaling meninggalkan (keduanya), maka Ummu
Isma'il mengikutinya, sambil berkata: "Wahai Ibrohim, kemana kamu pergi,
dan kamu meninggalkan kami di lembah ini, yang tidak ada padanya seorang
manusia dan tidak ada pula sesuatu (dari kebutuhan hidup), dia mengatakan itu
berulang-ulang, beliau (Ibrohim) tidak menoleh kepadanya, lalu Ummu Isma'il
berkata kepadanya: "Apakah Alloh memerintahkanmu tentang ini?, beliau
berkata: "Iya", maka Ummu Isma'il berkata: "Kalau begitu kami tidak
akan disia-siakan".
Dari kisah ini semakin
memperjelas bahwa orang yang memulangkan istrinya ke rumah orang tuanya atau
membiarkannya ke suatu tempat dengan tanpa memenuhi tanggung jawabnya tidaklah
jatuh tholaq padanya, melainkan harus diniatkan dan diucapkan tholaqnya.
Perbuatan seseorang dengan
"memulangkan
istri ke rumah orang tuanya dengan tidak lagi memberi nafkah" ada bentuk
suatu ketidak adanya tanggung jawab dan dia berdosa karena perbuatannya ini,
Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata:
«كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ
يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ»
"Cukuplah bagi seseorang dalam keadaan berdosa jika dia
menerlantarkan orang yang berada di bawah tanggunggannya". Diriwayatkan
oleh Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa'iy, dari Abdulloh bin 'Amr, dan ini
adalah lafzdnya Abu Dawud dan An-Nasa'iy.
Dan pada riwayat lain, di dalam
"Sunan An-Nasa'iy" dengan lafadz:
«كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ
يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ»
"Cukuplah bagi seseorang dalam keadaan berdosa jika dia
menerlantarkan orang yang berada di bawah pengawasannya".
Pertanyaan:
Apakah boleh perbuatan Nabiulloh Ibrohim 'Alaihis Salam tersebut
diikuti? Karena banyak dari Jama'ah Tabligh menikah, kemudian khuruj (keluar)
dan keliling ke masjid-masjid dengan meninggalkan istri mereka dengan tanpa
ditinggalkan sesuatu, alasan mereka bahwa mereka mengikuti perbuatan Nabiulloh
Ibrohim, apakah itu dibenarkan?.
Jawaban:
Alloh Ta'ala berkata:
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ} [الممتحنة: 4]
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian
pada Ibrohim dan orang-orang yang bersamanya". (Al-Mumtahanah: 4).
Dan
Alloh Ta'ala berkata:
{وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ
إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا
وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ} [البقرة: 130]
"Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrohim, melainkan
orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di
dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang
sholih". (Al-Baqoroh:
130).
Dari
ayat tersebut menunjukan bahwa asal perbuatan Nabiulloh Ibrohim adalah diikuti (sunnah),
kecuali apa-apa yang telah
menjadi kekhususannya, diantara kekhususannya adalah apa yang telah kami
sebutkan bahwa beliau meninggalkan istri dan putranya dengan tanpa apa-apa, hal
itu beliau lakukan karena perintah langsung dari Alloh Ta'ala.
Apa
yang dilakukan oleh Jama'ah Tabligh maka mereka bukannya melaksanakan perintah
Alloh Ta'ala untuk berda'wah di atas bashiroh (ilmu):
{قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ
اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ} [يوسف: 108]
"Katakanlah: "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku berda'wah kepada Alloh dengan ilmu (hujjah yang jelas), Maha suci
Alloh, dan aku tidak termasuk dari orang-orang yang mempersekutukan
(Alloh)". (Yusuf:
108), namun mereka
Jama'ah Tabligh menyelisih perintah tersebut dengan berda'wah di atas
kebodohan.
Pertanyaan:
Seseorang menceraikan istrinya ketika sudah tidak haid lagi
seperti wanita tua maka berapa masa 'iddahnya?
Jawaban:
Masa 'iddahnya adalah 3 (tiga) bulan, Alloh berkata:
{وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ
مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ} [الطلاق:
4]
"Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuan kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa 'iddahnya), maka
masa 'iddah mereka adalah tiga bulan". (Ath-Tholaq:
4).
Abul Abbas Ahmad Al-Harroniy Rohimahulloh berkata
sebagaimana di dalam "Majmu' Al-Fatawa'":
"وَإِنْ كَانَتْ الْمَرْأَةُ مِمَّا
لَا تَحِيضُ لِصِغَرِهَا أَوْ كِبَرِهَا؛ فَإِنَّهُ يُطَلِّقُهَا مَتَى شَاءَ".
"Dan
jika wanita termasuk dari yang tidak haid, baik karena usianya masih kecil
(belum masuk baligh) atau karena sudah lanjut usia (tidak lagi keluar darah
haid) maka dia diceraikan kapan saja".
Setelah itu beliau Rohimahulloh
berkata:
"فَإِنَّ هَذِهِ عِدَّتَهَا
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ".
"Maka
sesungguhnya ini masa 'iddahnya adalah tiga bulan".
Dan As-Sa'diy Rohimahulloh
juga menyebutkan permasalahan ini di dalam "Tafsir"nya, beliau
berkata:
{وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ} أي: الصغار،
اللائي لم يأتهن الحيض بعد، والبالغات اللاتي لم يأتهن حيض بالكلية، فإنهن
كالآيسات، عدتهن ثلاثة أشهر
"(Dan
perkataan-Nya): "Wanita-wanita yang tidak haid" yaitu
anak-anak prempuan yang mereka belum masuk pada masa haid dan wanita-wanita tua
yang tidak lagi haid secara total maka mereka seperti orang yang tidak haid,
masa 'iddah mereka adalah 3 (tiga) bulan".
Pertanyaan:
Seseorang mencerai istrinya, setelah dua hari kemudian
istrinya haid, bagaimana yang benar masa iddahnya?.
Jawaban:
Bila seperti itu keadaannya maka dia ruju' dan
menunggu masa haid berikutnya, hal demikian dikarenakan keadaan istrinya
dihukumi dengan hukum wanita yang haid, Abul Abbas Ahmad
Al-Harroniy Rohimahulloh berkata di dalam "Syarhu 'Umdatil Fiqh":
"وَمَفْهُومُ قَوْلِهِ
تَعَالَى: {وَاللَّائِي يَئِسْنَ} [الطلاق: 4] {وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ}
[الطلاق: 4] أَنَّ مَنْ لَيْسَتْ مِنَ الْآيِسَاتِ وَلَا مِنَ الصِّغَارِ
تَعْتَدُّ بِسِوَى ذَلِكَ وَهُوَ الْحَيْضُ".
"Dan difahami dari perkataan-Nya Ta'ala: "Dan
wanita-wanita yang tidak haid" (Ath-Tholaq: 4), "Dan
wanita-wanita yang tidak haid" (Ath-Tholaq: 4) bahwasanya
wanita yang tidak termasuk dari kalangan wanita lanjut usia dan tidak pula dari
kalangan anak-anak (yang belum haid) maka teranggap dengan yang selain demikian
itu dia adalah haid".
Jika hukumnya teranggap sebagai hukum haid maka masa
'iddahnya adalah tiga kali haid, Alloh berkata:
{وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228]
"Dan
wanita-wanita yang ditholaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
(haid)". (Al-Baqoroh: 228).
Pertanyaan:
Dicerai dan ditinggal mati suami apakah sama hukum-hukumnya? Jazakumullohukhoiro.
Jawaban:
Tidak sama hukumnya, Alloh Ta'ala berkata:
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا} [البقرة: 234]
"Dan orang-orang
yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri (maka
hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari". (Al-Baqoroh: 234).
Abul Abbas Ahmad Al-Harroniy Rohimahulloh
berkata di dalam "Syarhu 'Umdatil Fiqh":
"فَأَمَّا الْمُتَوَفَّى عَنْهَا
زَوْجُهَا فَعِدَّتُهَا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا سَوَاءٌ صَغِيرَةٌ أَوْ
آيِسَةٌ أَوْ مِمَّنْ تَحِيضُ لِقَوْلِهِ: {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ}
[البقرة: 240] الْآيَةَ، فَعَمَّ وَلَمْ يَخُصَّ.
"Adapun
orang yang ditinggal mati oleh suaminya maka masa 'iddahnya adalah 4 (empat)
bulan 10 (sepuluh) hari, sama saja dia masih kecil atau sudah lanjut usia atau
termasuk dari orang-orang yang haid, karena perkataan-Nya: "Dan
orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian" (Al-Baqoroh: 240), ayat ini adalah umum dan
tidak khusus".
Pertanyaan:
Orang tua menyuruh anak wanitanya untuk menunggu
seorang laki-laki sholih yang akan di jodohkannya? Anak wanita itu mau
(setuju), walaupun belum melihat orangnya. Kemudian dia menunggu dengan waktu
yang tidak tentu. Bolehkah yang seperti ini? Jazakumullohukhairo.
Jawaban:
Boleh, karena putrinya setuju, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa
Sallam berkata:
«لاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ»
"Janganlah dinikahkan
seorang gadis sampai meminta izin (kepadanya)".
Walapun seperti itu keadaannya namun hendaknya orang
tua melihat keadaan putrinya, kalau memang putrinya itu bisa bertahan dalam
penantian maka tidak mengapa, akan tetapi kalau dia tidak bisa menahan
(menunggu) dan dikhowatirkan akan terjatuh ke dalam dosa maka sebaiknya
dijodohkan dengan yang selain orang tersebut. Wallohu A'lam.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar