Tanya: Bismillah, Ustadz, semoga Allah merahmati antum. Apa hukumnya dalam syariat Islam apabila ada seorang wanita yang terpaksa memeriksakan dirinya ke dokter laki-laki (karena tidak ada dokter wanita yang menguasai spesialisasi dalam bidang tersebut di daerahnya), yang terkadang dokter tersebut harus melihat bagian aurat yang “ghalizhah” atau aurat yang berat sebagaimana pada kasus penyakit saluran kencing, kandungan, gangguan pada kelamin atau yang sejenisnya. Dan sampai dimanakah batas darurat dalam permasalahan seperti ini?. Sedangkan suami dari wanita tersebut adalah seseorang yang memiliki rasa cemburu yang amat sangat yang beliau tidak rela apabila aurat istrinya dilihat oleh laki-laki lain meskipun dalam hal pengobatan. Ini menjadi sebuah dilema baginya. Berilah jawaban dan bimbingan, semoga Allah memberkahi ilmu antum, menjaga keluarga antum dan kaum muslimin. Jazaakumullaahu khoiron. (Pertanyaan dari Saudi Arobia).
Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم ,الحمد لله، وأشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا عبد الله ورسوله، أما بعد
Kalau keadaannya seperti yang dikatakan oleh penanya yaitu “terpaksa” maka dalam meninjau masalah ini manusia terbagi kepada dua keadaan:
1. Mereka bermudah-mudahan dalam suatu perkara dengan alasan “terpaksa”, padahal, walaupun mereka tidak melakukan hal tersebut, tidak akan memudhorotkan mereka. Bila keadaannya seperti ini maka alasan “terpaksa” bukan pada tempatnya, bila seseorang melakukannya maka dia berdosa, diperkecualikan seperti pada perkataan Alloh Ta’ala:
(إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ……)
“Kecuali orang yang dipaksa, dan hatinya adalah tenang dengan keimanan dan akan tetapi orang yang lapang….”.
Perkecualian di sini adalah orang yang dipaksa, jika dia tetap di atas pendiriannya untuk mempertahankan kekokohan dan ketinggian imannya maka madhorot di depannya akan menghantamnya.
Atau bila keadaannya seperti yang disebutkan oleh penanya, maka dilihat kepada penyakitnya, kalau dia berbentuk gangguan pada saluran kencing, kandungan atau gangguan pada kelamin atau yang semisal itu, bila semua bentuk ini tidak memudhorotkannya, dalam artian tidak mengakibatkan kematian atau tidak menjadi penyebab terbengkalainya dia dari melaksanakan sholat lima waktu maka seperti ini tidak boleh baginya untuk memeriksa ke dokter laki-laki tersebut, bahkan ke dokter wanita sekalipun tidak boleh kalau yang berkaitan dengan aurat (farj), Rosululloh ‘Alaihishsholatu Wassalam berkata:
لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا تنظر المرأة إلى عورة المرأة
“Tidaklah boleh seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki, dan tidak pula wanita melihat kepada aurat wanita”.
Berbeda halnya kalau sudah darurot seperti ketika wanita akan melahirkan atau luka pada auratnya atau yang semisal itu dan dia membutuhkan dokter wanita atau bidan maka ini adalah boleh, sebatas kebutuhan.
Sebagian orang dalam masalah seperti yang ditanyakan ini terkadang bermudah-mudahan dengan alasan terpaksa, datang ke dokter spesial meminta dioperasi dengan alasan sakit dalam atau belum punya anak, dengan adanya kemungkinan-kemungkinan; mungkin ada gangguan di kelaminnya atau mungkin disaluran spermanya, lalu dioperasilah, maka hal ini bukan masuk dalam kategori keterpaksaan akan tetapi kesengajaan:
(وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ).
“Dan tidak ada pada kalian suatu dosa terhadap apa yang telah keliru padanya, akan tetapi (yang berdosa) adalah apa yang sengaja (dilakukan) oleh hati kalian”.
Semoga Alloh mengampuni setiap mu’min yang telah bertaubat dan menutupi aib-aibnya.
2. Mereka tidak membolehkan sama sekali istri mereka diperiksa oleh dokter spesial laki-laki walaupun tidak ada dokter wanita, sama saja penderitaan sudah semakin menjadi-jadi, hingga tidak mampu melaksanakan sholat lima waktu ataupun kematian terus mengancam, bila seperti ini keadaannya maka dilihat kepada dua keadaan pada istri mereka:
Keadaan pertama:
Kalau istri mereka bisa bersabar, dan penderitaan tersebut tidak menjadi penyebab terlalaikannya dari kewajiban mereka untuk melaksanakan sholat lima waktu, hingga kemudian mereka mati maka kita berharap mereka mati di atas kebaikan.
Kalau istri mereka bisa bersabar, dan penderitaan tersebut tidak menjadi penyebab terlalaikannya dari kewajiban mereka untuk melaksanakan sholat lima waktu, hingga kemudian mereka mati maka kita berharap mereka mati di atas kebaikan.
Keadaan kedua:
Kalau keadaan istri mereka lemah dan tidak bisa sabar maka harus bagi istri mereka untuk diperiksa, karena dikhawatirkan keadaannya seperti seseorang yang ikut peperangan bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian terluka parah dan tidak sabar, hingga dia membunuh dirinya sendiri, dengan itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
Kalau keadaan istri mereka lemah dan tidak bisa sabar maka harus bagi istri mereka untuk diperiksa, karena dikhawatirkan keadaannya seperti seseorang yang ikut peperangan bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian terluka parah dan tidak sabar, hingga dia membunuh dirinya sendiri, dengan itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
يا بلال قم فأذن لا يدخل الجنة إلا مؤمن وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر
“Wahai Bilal, berdirilah, lalu umumkanlah: “Tidak akan masuk Jannah kecuali orang yang beriman, dan sesungguhnya Alloh akan menguatkan agama ini dengan seorang pria yang jahat”.
Adapun batasan daruratnya adalah kalau pemeriksaan atau pengobatan itu tidak dilakukan ke dokter spesial tersebut maka akan membawa kepada kematian atau madhorot yang besar hingga tidak mampu melaksanakan sholat lima waktu.
Bila ketentuannya seperti ini maka harus melakukan pemeriksaan dan pengobatan, sebagaimana telah terjadi di zaman para shohabat, ketika mereka ikut bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu safar dalam rangka pertempuran dan ada dari mereka membawa istri mereka, ketika keadaan sudah mencekam, para shohabat banyak yang terluka, para pria dari kalangan mereka siaga menghadang musuh maka para wanita mereka melakukan perawatan dan mengobati para shohabat mereka yang luka-luka, kalaulah para wanita tidak melakukan perkara ini maka tentu para shohabat yang terluka parah, bisa mati setempat karena sakit yang sangat dan darah terus mengalir, Alhamdulillah dengan sebab adanya para shohabiyyah para shohabatpun diselamatkan.
Dan yang semisal ini, kita dapati pula pada perang Dammaj, ada dari wanita yang luka parah dan tidak ada dari dokter wanita maka dokter pria terpaksa mengobatinya di sisi mahromnya. Wallohu A’lam.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (14/1/1436).
Abu Ahmad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (14/1/1436).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar