Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Bila Pemerintah Memberi Dukungan Maka Akan Tergapailah Kesejahteraan

t21
BILA PEMERINTAH MEMBERI DUKUNGAN MAKA AKAN TERGAPAILAH KESEJAHTERAAN
TANYA: Seseorang mempunyai suatu usaha dan memiliki beberapa tenaga kerja, disetiap idul fitri pemerintah mewajibkan perusahaan tersebut untuk memberi THR kepada para tenaga kerjanya, yang mana jika perusahaan tersebut tidak melaksanakannya maka akan mendapatkan teguran keras dari pemerintah, apakah wajib bagi perusahaan tersebut memberikan THR?, dan jika tidak memberi bagaimana?. Jazakallahu khairan.

JAWAB: Perkaranya kembali sepenuhnya kepada pemilik perusahaan, terserah padanya memberikan THR ataukah tidak?, itu urusannya dia, dan pemerintah dibolehkan untuk memberikan masukan atau saran.
Berbeda halnya kalau pemerintah memiliki saham, ya’ni ikut menanam modal atau memberi dukungan dari sisi modal pada perusahan tersebut maka pemerintah tentu ikut berandil menetapkan hal tersebut, dan boleh pula bagi pemerintah untuk mengharuskan seperti itu. 
Bila keberadaannya itu diwajibkan oleh pemerintah sedangkan pemerintah tidak memiliki saham atau tidak memberi modal maka tidak wajib bagi perusahaan tersebut untuk memberikan THR.
Kalau pengharusan dari pemerintah tersebut ketika tidak diindahkan tidak akan menimbulkan resiko berupa munculnya kemudhoratan pada perusahan maka tidak mengapa untuk tidak mentaatinya dalam perkara tersebut, karena ketaatan kepada pemerintah bukanlah mutlak, Alloh Ta’ala berkata:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ)
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Ar-Rosul serta ulil amri (umaro dan ulama)”.
Penyebutan ulil amri dengan tanpa perintah “taatilah” ini menunjukan kalau mentaati mereka tidak mutlak, namun dilihat pada keadaan, apakah dalam kebaikan?, apakah tidak memberatkan atau tidak memudhorotkan?.
Kita berbaik sangka kepada pemerintah dalam mewajibkan hal tersebut karena mungkin bertujuan baik yaitu untuk mensejahterakan karyawan atau para tenaga kerja yang ada di perusahaan tersebut, namun bukan seperti itu cara tepatnya, karena cara yang tepat adalah pihak pemerintah melakukan pendekatan dengan perusahaan tersebut, yang tentunya pihak pemerintah sudah mengetahui cara-cara seperti ini, dan mereka sudah memahami bagaimana bekerjasama dalam menyelesaikan problematika umat.
Dalam mensejahterakan masyarakat dan rakyat tidak mengapa bagi pemerintah meminta bantuan dan kerjasama dari pihak yang memiliki potensi dan sumber daya, tidak mengapa bagi mereka meminta bantuan para pemilik perusahan tentang bagaimana cara mensejahterakan setiap karyawan dan tenaga kerja di perusahaan tersebut, dalam masalah ini kita sudah memiliki salaf (pendahulu), Alloh Ta’ala berkata tentang wali-Nya yang sholih Dzul Qornain Rodhiyallohu ‘Anhu dalam menjalin hubungan kerja sama dengan masyarakat dan rakyatnya:
(قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَىٰ أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا)
“Mereka berkata: Wahai Dzul Qornain: Sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj adalah orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tidakkah kami akan memberikan bagimu suatu pembayaran supaya kamu menjadikan dinding antara kami dengan mereka?”.
Dzul Qornain Rodhiyallohu ‘Anhu memahami bahwa membuat dinding pemisah antara rakyatnya dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj membutuhkan dana yang banyak dan membutuhkan tenaga yang luar biasa, dengan itu Alloh Ta’ala jelaskan:
(قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ)
“Dia (Dzul Qornain) berkata: Apa yang telah dikuasakan oleh Alloh kepadaku tentangnya adalah lebih baik”.
Beliau memahami dan menyadari bahwa Alloh Ta’ala telah memberikan kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa, bersamaan dengan itu beliau masih membutuhkan kerja sama dengan masyarakat dan rakyatnya, Alloh Ta’ala berkata tentangnya:
(فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا)
“Maka bantulah aku dengan suatu kekuatan (tenaga dan peralatan) supaya aku jadikan di antara kalian dan antara mereka suatu tembok pemisah”.
Tembok setinggi gunung dan sangat tebal tentu benar-benar membutuhkan kekuatan dan daya yang luar biasa, apalagi tembok tersebut dikokohkan dengan besi dan dilas, serta ada tambahan tembaga pula, benar-benar tembok besar dan lebih kokoh, Alloh Ta’ala katakan tentang permintaan Dzul Qornain:
(آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا سَاوَىٰ بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا).
“Datangkanlah oleh kalian kepadaku potongan-potongan besi, ketika potongan besi itu (sudah tersusun) hingga sama rata dengan gunung, dia (Dzul Qornain) berkata: Berilah aku tembaga yang telah mendidih supaya aku tuangkan di atas potongan-potongan besi (yang sudah tersusun itu)”.
Allohu Akbar, ini benar-benar kerja keras, yang tentunya membutuhkan kesungguhan yang luar biasa, dengan adanya kerjasama antara beliau selaku pemerintah dengan masyarakat dan rakyatnya maka pekerjaan berat tersebut dapat terselesaikan dengan baik, manusia pun merasakan manfaatnya, mereka bisa hidup sejahtera dengan tanpa adanya kezholiman dan penindasan dari bangsa Ya’juj dan Ma’juj.
Kalaulah pemerintah menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan rakyatnya dengan cara saling meridhoi seperti itu dan dengan tanpa adanya pemberatan pada dua belah pihak maka tentu kesejahteraan akan diperoleh oleh setiap pihak.
Semoga Alloh membimbing pemerintah kita dan masyarakat kita kepada yang lebih baik dan memperbaiki keadaan kita semua.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Hafizhohulloh di Durrah Salalah-Oman pada (18/6/1436).02:02
PEMERINTAH MEWAJIBKAN PERUSAHAAN UNTUK MEMBERIKAN THR KEPADA KARYAWAN PERUSAHAN PADA IDUL FITRI?
Apa yang telah kami jelaskan pada jawaban kami mengenai ketetapan pemerintah yang disebutkan oleh penanya tentang wajibnya bagi perusahaan untuk memberikan THR kepada para karyawan di perusahaan tersebut, dan telah kami jelaskan bahwa perkara ini tergantung kepada pemilik perusahaannya, pemerintah hanya memberikan saran dan masukan.
Dan pemilik perusahaan tentu berbeda-beda, ada yang senang dengan demikian itu, karena bisa beramal sholih dan bisa menyenangkan karyawan di perusahaannya, lagi pula dalam setahun hanya sekali, namun ada pula yang tidak senang dengan demikian itu, mungkin karena pertimbangan lain atau karena kikir, kalau pun keberadaannya sebagai orang kikir -seandainya seperti itu- maka tidak dibenarkan kemudian memaksanya untuk memberikan THR, tidak kita ragukan lagi bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah pemerintah, bersamaan dengan itu ketika ada seorang shohabatnya yang disifati dengan sifat kikir, yang memberikan nafkah kepada istri dan anaknya tidak mencukupi maka apakah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkannya untuk memuas-muaskan dalam memberikan nafkah?!.
Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha menceritakan tentang Hind bin Utbah, ia berkata:
يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم
“Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang kikir, dan tidaklah dia memberikan kepadaku apa-apa yang mencukupiku dan anakku, kecuali aku mengambil darinya sedangkan dia tidak mengetahui”.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambillah terhadap apa-apa yang mencukupimu dan anakmu dengan baik”.
Demikian bimbingan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, memerintahkan untuk mengambil dengan cara yang baik, bersamaan dengan itu, beliau tidak mewajibkan atau tidak menegur dengan keras kepada Abu Sufyan karena tidak memuaskan dalam memberi.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak menegur dengan teguran keras kepada Abu Sufyan dan tidak pula mewajibkannya untuk memuas-muaskan dalam memberi, karena itu adalah kepemilikan Abu Sufyan, bukan kepemilikan pemerintah atau negara.
Semoga Alloh menjadikan kita memiliki sifat qona’ah sehingga bisa termasuk dari orang-orang yang beruntung, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
قد أفلح من أسلم ورزق كفافا وقنّعه الله بما أتاه
“Sungguh telah beruntung orang yang telah memeluk agama Islam, dan diberi rizki yang cukup dan Alloh memberikan sifat qana’ah (merasa cukup) terhadap apa-apa yang telah diberikan kepadanya”.
Dengan itu kami katakan:
القناعة كنز أهل السنة والجماعة
“Qona’ah adalah harta simpanan bagi Ahlussunnah wal Jama’ah”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Hafizhohulloh di Jakarta pada (20/6/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar