Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Bagaimana Mengembalikan Mahar Yang Berbentuk Hafalan Ketika Akan Khulu’?

pTANYA: Bismillah… Kepada Ustadz Abu Ahmad Muhammad Salim Al-Limboriy Hafidzahullah…
Ada seorang akhwat menikah dengan ikhwan dengan mahar hafalan Al-Qur’an (juz) ikhwan tersebut… Saat ada badai dalam pernikahan, sang istri minta cerai namun suaminya tidak mau menceraikan akhwat tersebut… si akhwat tersebut ingin khulu dengan mengembalikan maskawin (mahar)… Dikarenakan mahar berbentuk hafalan (juz), bagaimana cara istri tersebut mengembalikan maskawin itu?. Bagaimana cara agar bisa berpisah dengan ikhwan itu?.
(Pertanyaan dari Cilacap).

JAWAB: Dilihat kepada keridhoaan suaminya, karena yang namanya ganti mahar ketika akan khulu’ -disebutkan dalam syari’at kita- adalah yang berbentuk harta benda, kalau suaminya tidak mempermasalahkan maharnya karena berbentuk hafalan maka bagi wanita tersebut terbebaskan dari mengganti mahar dan ia bisa memulai khulu’nya.
Kalau suaminya mempermasalahkan mahar tersebut maka dikembalikan kepada adat kebiasaan ketika dahulu keduanya menikah, misalnya pada saat keduanya menikah, kebiasaan kaum muslimin ketika menikah rata-rata mahar mereka senilai Rp 1.000.000,- maka dia mengembalikan senilai itu sebagai ganti atas maharnya berupa hafalan yang pernah disetorkan. 
Dan yang perlu kami nasehatkan bagi yang mau menikah untuk tidak mempersyaratkan mahar berupa hafalan Al-Qur’an atau yang semisalnya dari perkara yang bukan berbentuk harta benda, karena kalau kita melihat kepada kejadian seorang shohabat yang dinikahkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan mahar hafalan Al-Qur’an maka itu karena dia tidak memiliki sesuatu lagi yang bisa dijadikan sebagai mahar, sebelumnya dikatakan kepadanya:
«التمس ولو خاتمًا من حديد»
“Carilah kamu walaupun cincin dari besi!”.
Karena tidak ada lagi dari harta benda yang bisa dia jadikan sebagai mahar maka dilihatlah kepada hafalannya, dan ini alternatif terakhir.
Kalau menikah dengan menggunakan mahar hafalan itu sebagai pilihan maka tentu para salaf dan para penghafal akan beramai-ramai memilihnya sebagai mahar namun karena mereka memahami bahwa itu adalah alternatif terakhir bagi yang tidak memiliki harta benda maka mereka pun tidak menjadikannya sebagai mahar.
Wallohu A’lam wa Ahkam.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Ghofarohulloh wa Rodhiya ‘Anhu di kota Jazan-KSA (Kerajaan Saudi Arobia) pada (16/6/1436).01:31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar