Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Tanya-Jawab InsyaAllah Bermanfaat (Senin, 20 Dzul-Qaedah 1435 H)

Tanya jawab Bermanfaat Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori 5MENGHADIRI KAJIAN ULAMA DARI SAUDI
Tanya: Ustadz, ada tabligh akbar yang diselenggarakan di masjid umum oleh perserikatan hizbiyyun, orang-orang Firanda dengan orang-orang TV Roja dan para pengikut hawa, mereka mendatangkan ulama dari Saudi, apakah boleh kami hadiri?.
Jawab:
 بسم الله الرحمن الرحيم
Dilihat dulu, ulama siapa yang mereka datangkan?, kalau ulama hizbiyyin dan tokoh-tokoh murji’ah, maka jangan hadiri, Ibnu Sirin Rohimahulloh berkata:
إن هذا العلم دين، فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah kepada siapa kalian mengambil agama kalian”.
Kalau yang diundang atau yang mengisi muhadhoroh  adalah dari ulama Ahlissunnah semisal Asy-Syaikh Abdurrozzaq Ibnusy Syaikh Abdil Muhsin Al-‘Abbad atau yang semisal beliau dari ulama yang dikenal istiqomah di atas Assunnah Hafizhohumulloh maka hadirilah, setelah itu kembali ke tempat masing-masing, jauhilah dari bermajelis dengan shohibul hawa dan para pembuat syubhat, dan jangan sampai duduk dengan para wartawan atau pemotret TV Roja, yang nantinya akan diambil gambar-gambar kalian, perbuatan seperti ini, ya’ni menjadikan ahlul ahwa’ sebagai kawan dan memotret atau membuat gambar adalah termasuk dosa besar, Ar-Rosul Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

لعن الله من آوى محدثا
“La’nat Alloh atas siapa saja yang menaungi pembuat bid’ah”.
لعن الله المصورين
“La’nat Alloh atas para tukang gambar”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy (10 Dzulqo’dah 1435).
MERASA CUKUP DENGAN YANG HALAL
Tanya: Assalamu’alaikum…. ‘Afwan bagaimana sebenarnya hukum makanan dari acara-acara bid’ah?, seperti peringatan kematian dan lain-lain, ketika ana hendak membuang makanan itu, oleh teman disarankan dikasihkan ke pengemis/peminta-minta dengan alasan masih banyak yang membutuhkan. Di tempat kami sering kita mendapatkan semacam ini, kadang berupa makanan siap makan, kadang berupa makanan mentah/sembako, dan kami agak kesulitan membuang jika yang didapatkan berupa sembako,mohon jawabannya,Jazakumulloh khoiron. 
Jawab: وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Bukanlah suatu alasan yang tepat bila seseorang berkata tentang perkara yang harom “banyak yang membutuhkan”, walaupun kita melihat bahwa zat dari makan itu halal namun dia akan berubah hukumnya menjadi harom karena ada sebab, baik sebab itu karena adanya kesyirikan seperti makanan sesajian yang dipersembahkan kepada roh-roh atau kepada kuburan-kuburan atau berhala-berhala, atau makanan yang diperoleh dari hasil berma’siat seperti bekerja di tempat riba atau mencuri, atau memperoleh makanan dari hasil kebid’ahan seperti yang ditanyakan di sini. Semua ini telah jelas keharomannya, kalaupun seandainya ada yang masih meragukan hukumnya maka cukup perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penjelas:
إن الحلال بين، وإن الحرام بين، وبينهما مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس، فمن اتقى الشبهات، استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات، وقع في الحرام
“Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan sesungguhnya yang harom adalah jelas, dan diantara keduanya adalah kerancuan-kerancuan yang dia tidak diketahui kebanyakan dari manusia, barang siapa meninggalkan kerancuan-kerancuan itu maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya, dan barang siapa terjatuh ke dalam kerancuan-kerancuan itu maka dia telah terjatuh ke dalam keharoman”.
Dalam meninggalkan perkara harom seperti ini tidak ada yang namanya “kasihan” atau “kesulitan”, ketika turun ayat tentang haromnya khomr (minuman keras) maka tidak ada dari para shohabat berprinsip  “memanfaatkan”, seketika itu langsung mereka membuang khomr yang mereka miliki, hingga membanjiri jalan-jalan di Madinah, padahal khomr seperti itu masih bisa dimanfaatkan atau masih bisa diberikan ke orang-orang yang membutuhkannya, namun para shohabat tidak seperti itu keadaan mereka. Dengan sikap mereka seperti itu, Alloh-pun menjadikan mereka sebagai panutan atau teladan yang patut diikuti oleh yang menginginkan hidayah:
فإن آمنوا بمثل ما آمنتم به فقد اهتدوا
“Jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman tentangnya maka sungguh mereka telah mendapatkan hidayah”.
Ada makanan yang bisa dimanfaatkan, yang dia hukum asalnya adalah halal pada sebagian orang dan harom atas sebagian yang lain, contoh yang jelas dalam masalah ini adalah makanan dari hasil sedekah yang diberikan kepada ahlul bait (anak keturunan Hasyim dan Abdul Mutholib), makanan ini harom bagi mereka, dan boleh diberikan kepada orang lain yang bukan dari ahlul bait, sebagaimana pada kisah Salman Al-Farisiy Rodhiyallohu ‘anhu dalam mencari hidayah, setelah beliau berjumpa dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka beliau mengumpulkan tamr (korma) lalu diberikan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak memakan sedekah tersebut, akan tetapi beliau mengajak para shohabatnya untuk memakannya, dan beliau tidak memakannya karena harom baginya.
Adapun makanan yang diberikan kepada kita dari makanan hasil kesyirikan, kebid’ahan dan kema’siatan maka kita langsung membuangnya atau kita berikan kepada binatang atau hewan yang harom bagi kita memakannya.
Wallohu A’lam.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (17 Dzulqo’dah 1435).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar