Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Tanya-Jawab InsyaAllah Bermanfaat (Jum’at, 10 Dzul-Qaedah 1435 H)

Tanya jawab Bermanfaat Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori 4
TUTUPILAH AIB SAUDARAMU
Tanya: Jika dosa yang dibuat secara terang terangan dan dia bertaubat. Adakah wajib dia menutup keaiban diri dan kita sebagai orang yang mengetahui aibnya juga harus tutup keaiban atau dosa yang dilakukan secara terang terangan pada masa lalu setelah dia bertaubat?.
Mohon penjelasan kerana ada satu blog yang saya baca dia menyatakan keaiban yang dilakukan secara terang terangan harus dibongkar untuk kebaikan.Tapi bagaimana jika dia bertaubat?.

Jawab:  بسم الله الرحمن الرحيم Orang yang melakukan dosa-dosa, baik itu dia lakukan terang-terangan atau dia lakukan sembunyi-sembunyi, ketika sudah bertaubat maka wajib baginya untuk dia tutupi, tidak dibenarkan baginya setelah itu untuk menceritakannya kepada orang lain, karena orang yang membuka aibnya sendiri, akan Alloh buka aibnya di dunia dan di akhirat, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam agama kita.
Terkadang seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa besar semisal homoseks atau perbuatan-perbuatan yang menghampiri homoseks, dengan dosa itu membuat sesak dan sumpek dadanya, diapun dengan tanpa berpikir panjang mendatangi seseorang yang dia anggap pemberi solusi, semisal ustadz atau kiyai, diapun ceritakan apa yang terjadi pada dirinya.
Orang seperti ini terkadang berdalil dengan perbuatan seorang shohabat yang terjatuh ke dalam perbuatan zina, yang shohabat tersebut kemudian menceritakannya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, pendalilan seperti ini adalah salah, karena beberapa alasan:
Pertama: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah hakim, yang memberi keputusan, dan beliau sangat adil, pada kejadian itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk kembali, para ulama menyebutkan maksudnya supaya dia bertaubat dengan menutupi aibnya.
Adapun orang yang sekarang ini, bila disampaikan tentang suatu aib maka dia akan tutupi, namun kalau orang yang memiliki aib itu bermasalah dengannya maka iapun beberkan aibnya, atau menghasut orang lain untuk membongkar aibnya. 
Ini sebagai nasehat untuk kami dan siapa saja untuk berhati-hati jangan sampai ada yang masuk dengan menggunakan cara hina ini, dalam rangka menjatuhkan lawan:
أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه، واتقوا الله
“Apakah salah seorang diantara kalian suka untuk dia memakan daging saudaranya yang sudah mati, maka tentu kalian benci (jijik) dengannya, bertaqwalah kalian kepada Alloh”.
Semoga Alloh mengampuni kami, kedua orang tua kami, dan saudara-saudari kami serta seluruh orang-orang yang beriman.
Kedua: Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shohabat ketika mengetahui hal itu, mereka tidak menyebarkannya, karena dia adalah aib, dan ketika sudah dirajam, baru diceritakan oleh para shohabat tentang kisahnya, dan ini memiliki banyak tujuan, diantaranya:
- Untuk menepis tuduhan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melakukan rajam kepada para shohabatnya, dengan disebutkan kisahnya maka orang-orang bisa memaklumi kalau itu hukuman bagi yang berzina kalau dia sudah menikah.
- Menyebutkan keutamaan shohabat yang dirajam tersebut, bahwasanya dia mendapatkan ampunan dari Alloh Ta’ala setelah dia terjatuh ke dalam perbuatan dosa.
Adapun yang berkaitan dengan aib berupa kema’siatan semisal zina, mabuk-mabukan, judi dan yang semisalnya, yang mereka lakukan perbuatan ini secara terang-terangan maka cukup bagi kita untuk mengingkarinya, menjelaskan kemungkaran tersebut, atau kita angkat ke pihak yang berwenang, kita jelaskan kepada umat tentang kema’siatan itu, dan kita baro’ (berlepas diri dari para pelakunya). Wallohu A’lam.
Ya Alloh ampunilah dosa-dosa kami, kedua orang tua kami, saudara-saudari kami dan seluruh orang-orang yang beriman.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (9 Dzulqo’dah 1435).
KEHARUSAN MENGIMANI APA SAJA YANG DIBAWA OLEH NABI MUHAMMAD SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Tanya: Ma’af mau tanya lagi, sebelumnya kami berterima kasih banyak buat ustadz-ustadz yang memberi banyak pengetahuan ilmu agama seperti beri jawaban dan terjemah faedah syekh dari Yaman, semoga amalan semuanya diterima oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Langsung saja pada pertanyaan, kaitannya dengan ucapan Laa Ilaha Illallah kalau orang ucapkan kalimatnya, tapi tidak mengikuti kewajiban yang dibawa oleh Nabi kita, apa dia dihukumi juga?.
Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم Kalau dia dengan jelas-jelas tidak mau mengikuti apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berupa kewajiban-kewajibannya, yang telah termaktub di dalam rukun Islam, misalnya dia tidak mau sholat dan bersengaja meninggalkannya maka dia telah kafir, karena konsekwensi dari dua kalimat syahadat adalah mengikuti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengimani apa yang telah beliau bawa, Al-Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau berkata:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله، ويؤمنوا بي وبما جئت به
“Aku diperintah untuk aku perangi manusia sampai mereka mempersaksikan tidak ada sesembahan yang haq melainkan Alloh, dan mereka beriman kepadaku dan kepada apa-apa yang telah aku diutus dengannya”.
Jadi tidak cukup hanya mengucapkan Laa Ilaha Illalloh melainkan harus mewujudkan konsekwensinya berupa menerima dan mengimani apa yang telah dibawa oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam serta melaksanakan setiap kewajiban yang telah diwajibkan oleh syari’at.
Atas dasar inilah Abu Bakr Ash-Shiddiq meluruskan hujjah Umar Al-Faruq, dengan berkata kepadanya:
والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة، فإن الزكاة حق المال
“Demi Alloh sungguh aku akan benar-benar memerangi siapa saja yang membedakan antara sholat dan zakat, karena sesungguhnya zakat adalah haq harta”.
Semoga Alloh memudahkan kami dan anda sekalian dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kita, dan semoga Alloh menjaga kami dan anda sekalian dari kejahatan syubhat (kerancuan) dan segala kejelekan yang menjurus kepada kelalaian dan penyia-nyiaan terhadap kewajiban-kewajiban kita.
Ya Alloh berilah hidayah kepada kami yang faqir ini terhadap hidayah-Mu, tunjukilah kami dan siapa saja yang mencari hidayah-Mu ke jalan-Mu yang lurus dan kokohkanlah kami di atasnya.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy Hadahullohu wa ‘Afahu (8 Dzulqo’dah 1435).
BOLEH BAGI WANITA KELUAR RUMAH BILA MEMENUHI SYARAT-SYARAT ISLAMIY
Tanya: Ada seorang prempuan yang ingin hidup dari usahanya sendiri, karena ia tidak lagi dibantu oleh bapaknya, disebabkan ia tidak mau ikuti kemauan bapaknya untuk sekolah, bolehkah perempuan tadi keluar rumah untuk menitipkan hasil usahanya ke tempat penjualan?, dari hasil usahanya itu ia gunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mempelajari ilmu agama.
Jika ia keluar, maka ia lengkap memakai busana muslimah syar’iyyah. Jazaakumullahukhoira.
Jawab: Dengan adanya kebutuhan seperti itu, dan usaha yang ia lakukan hanya dengan dititipkan, juga ia keluar dengan memakai pakaian syar’iy yang sudah ma’ruf di kalangan kita maka boleh baginya untuk keluar dari rumahnya, Asma’ bintu Abi Bakr Rodhiyallohu ‘anha pernah bekerja di luar rumah, karena keadaan memang mengharuskannya, ia berkata:
كنت أنقل النوى من أرض الزبير التي أقطعه رسول الله صلى الله عليه وسلم على رأسي، وهي مني على ثلثي فرسخ
“Dahulu aku membawa an-nawa (makanan ternak) di atas kepalaku, dari tanah Az-Zubair, yang tanah tersebut dikaplingkannya oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dia dariku (jauhnya) sekitar tiga kilometer”.
Dengan dalil ini menunjukan bolehnya wanita bekerja di luar rumah bila mengharuskannya, namun memiliki ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat:
Pertama: 
Aman dari fitnah, sebagaimana keadaan Asma’ tersebut, ia menempuh perjalan dalam keadaan aman dan tanpa disertai oleh seorangpun, di dalam suatu riwayat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewatinya, dan menawarkannya naik kendaraan namun ia enggan, karena memikirkan kecemburuan dari suaminya Az-Zubair.
Setelah kejadian tersebut, Abu Bakr Ash-Shiddiq selaku orang tuanya, memberikan kepadanya seorang pembantu.
Kedua: Mengenakan pakaian syar’iy, para shohabiyyah dahulu banyak yang tidak mau keluar dari rumahnya, namun ketika ‘iedain diperintahkan untuk keluar, bagi yang tidak memiliki jilbab maka diperintahkan untuk dipinjamkan supaya dikenakan ketika keluar dari rumah.
Ketiga: Menjauhi ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita).
Ini seperti yang pernah dipraktekan oleh dua orang wanita sholihah dari putri pria sholih di negri Madyan, ketika Musa ‘Alaihis Salam bertanya kepada keduanya:
ما خطبكما، قالتا لا نسق حتى يصدر الرعاء
“Apa maksud kalian berdua (memisahkan diri seperti itu)?, keduanya berkata: Kami tidak bisa meminumkan ternak-ternak kami sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka”.
Musa ‘Alaihissalam-pun merahmati keduanya, dengan bergegas masuk di tengah para penggembala laki-laki itu, lalu membantu dua wanita sholihah tersebut.
Dua wanita sholihah itu, pada asalnya tidak bekerja seperti itu namun bagaimana lagi, bapak keduanya sudah tua, sebagaimana perkataan keduanya:
وأبونا شيخ كبير
“Dan bapak kami adalah orang tua yang lanjut usia”.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (8 Dzulqo’dah 1435).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar