Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Tanya-Jawab InsyaAllah Bermanfaat (Rabu, 15 Dzul-Qaedah 1435 H)

Tanya jawab Bermanfaat Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori 5MENELADANI PARA BIKSU DALAM MENGAGUNGKAN BATU
Tanya: Di dusun Wailapia-Seram-Maluku ada sebuah batu, batu tersebut di letakan di masjid, lalu masyarakat mengkeramatkannya, bila mereka memiliki hajat atau cita-cita maka mereka meminta dan memohon kepada batu tersebut, apa pendapat pak ustadz tentang batu tadi?.
Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم
Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat di kampung tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan yang terbesar, batu tersebut adalah sarang jin, kami katakan seperti ini karena kami mengetahui dari salah seorang dari keturunan warga kampung tersebut, bahwasanya batu tersebut, awalnya ditemukan oleh salah seorang nelayan, dia melihat batu itu terapung di laut, karena batu itu ringan seperti gabus, dan batu tersebut di dalam bahasa mereka disebut dengan “wacu lanto” (batu terapung).
Seorang nelayan tadi, pada awalnya mendengar suara, setelah ditelusuri ternyata dari batu tersebut, kemudian dia membawa batu tersebut ke kampungnya hingga kemudian tokoh-tokoh masyarakat kampung tersebut meletakannya di masjid.

Jika kita melihat asal mula kesyirikan muncul di jaziroh Arob adalah seperti itu pula kejadiaannya, ada yang membawa berhala kemudian di letakan di Ka’bah, mereka keramatkan berhala tersebut, lama kelamaan mereka sujud dan menyembahnya.
Seorang nelayan tersebut keadaanya sama dengan biksu dari negri Cina, ketika salah seorang muridnya terhantam badai hingga terjatuh ke dalam laut, tiba-tiba dilihat muncul di atas batu terapung, dan murid tersebut dalam keadaan pingsan, maka biksu dan murid-muridnya berterima kasih kepada batu terapung tadi, mereka mengagungkan batu tersebut, sehingga di bawa ke candi mereka, lalu mereka sembah.
Bila kita melihat ke dusun Wailapia maka sungguh kita telah melihat kesyirikan yang nyata seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin di negri Cina tersebut, mereka sama dalam berdoa dan memohon kepada batu terapung, ini jelas kekufuran yang nyata, Alloh Ta’ala berkata di dalam Al-Qur’an Al-Karim:
يدعو من دون الله ما لا يضره وما لا ينفعه، ذلك هو الضلال البعيد، يدعو لمن ضره أقرب من نفعه، لبئس المولى ولبئس العشير
“Dia menyeru kepada selain Alloh, yang tidak memudhorotkannya dan tidak pula memberikan manfaat kepadanya, demikian itu adalah kesesatan yang jauh, dia berdoa kepada sesuatu yang memudhoratkannya, yang lebih dekat dari manfaatnya, sesungguhnya yang diserunya itu adalah sejahat-jahatnya kawan”.
Sungguh benar perkataan Alloh Ta’ala ini, dengan sebab perbuatan mereka berdoa dan memohon kepada batu tersebut maka akan memudhorotkan kehidupan mereka di dunia ini, berupa dipermainkan oleh syaithon, dan di akhirat kelak mereka termasuk orang yang paling merugi, oleh karena itu Ibrohim ‘Alaihishsholatu Wassalam berkata kepada kaumnya yang melakukan kesyirikan:
أف لكم ولما تعبدون من دون الله أفلا تعقلون
“Heh kecelakaanlah bagi kalian dan apa yang kalian sembah selain Alloh, maka tidakkah kalian pikirkan”.
Orang-orang yang memohon dan berdoa kepada “wacu lanto” (batu terapung) itu, benar-benar telah ditipu oleh syaithon, mereka tahu kalau “wacu lanto” itu sangat lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa:
إن الذين يدعون من دون الله لن يخلقوا ذبابا ولو اجتمعوا له، وإن يسلبهم الذباب شيئا لا يستنقذوه منه، ضعف الطالب والمطلوب
“Sesungguhnya orang-orang yang menyeru selain Alloh, sekali-kali tidak bisa menciptakan seekor lalat-pun walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka maka mereka tidak dapat merampasnya kembali, sangat lemah orang yang menyeru dan (sangat lemah pula) yang diseru”.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (14 Dzulqo’dah 1435).
KEMBALI LAGI
Tanya: Bismillah…  Ada kasus seperti ini:  “Seorang istri menggugat suaminya karena syarat yang menurut dia sudah syar’iy… Dan hal ini sampai ke KUA.
Setelah melalui proses akhirnya disetujui oleh pihak KUA… Palu sudah diketuk tapi dalam naskah masih dikatakan talak 1 (satu) dan dikatakan 20 hari lagi surat cerai akan keluar, terhitung dari sejak diketuknya palu… dan di saat surat itu sampai ke suami maka sang suami bersih keras tidak mau tanda tangan dan tidak mau cerai dan berjanji untuk berubah…dan di situ sang istri lunak dan menanyakan ulang ke KUA… Dan kata KUA boleh lagi sama-sama tapi harus menikah ulang lagi setelah masa iddah…pertanyaanya: Apakah syari’at juga membolehkan bersama-sama lagi dengan cara menikah lagi setelah masa Iddah dengan alasan KUA katakan masih talak satu?.
Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم Kalau baru tholaq 1 (satu), maka tidak perlu adanya nikah ulang, namun cukup roj’ah (kembali lagi), dengan dalil perkataan Rosululloh ‘Alaihishsholatu Wassalam tentang Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhu yang mentholaq istrinya:
مره فليراجعها
“Perintahkan kepadanya untuk ruju’ (kembali) kepada istrinya”.
Dan para ulama telah bersepakat bahwa:
من طلق دون ثلاثة فإن له الرجعة في العدة
“Barang siapa yang telah mentholaq di bawah 3 (tiga kali tholaq) maka sungguh baginya roj’ah (kembali lagi) pada ‘Iddahnya”.
Adapun kalau sudah tiga kali tholaq maka tidak boleh lagi kembali, walaupun ditulis di naskah, baru tholaq satu atau tholaq dua tetap tidak boleh kembali lagi, kecuali wanita yang ditholaq itu menikah lagi dengan laki-laki lainnya, lalu wanita itu ditholaq lagi oleh laki-laki lain itu baru keduanya boleh kembali (menikah lagi), Alloh Ta’ala berkata:
فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره، فإن طلقها فلا جناح عليهما أن يتراجعا
“Maka jika suami telah mentholaqnya (sesudah tholaq yang kedua), maka tidak halal baginya 
setelah itu sampai dia menikah dengan lali-laki lain, kemudian jika laki-laki yang lain itu menceraikannya maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kembali (menikah lagi)”.
Adapun keberadaannya setelah ‘iddahnya maka ini ada pilihan bagi laki-laki yang mentholaq tersebut, jika baru tholaq satu maka kembali lagi, dan jika sudah tholaq dua maka hanya dua pilihan; kembali lagi atau cerai:
الطلاق مرتان، فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان
“Tholaq (yang bisa ruju’) ada dua kali; kembali dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (14 Dzulqo’dah 1435).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar