Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Imamah Simbol Ahlissunnah

imamah
Pertanyaan: Bismillah… Bisakah kiranya di tanyakan kepada ustadz Al-Limbory, jika kita di Indonesia, namun terus-menerus pakai imamah dan jubah, apakah hal tersebut teranggap bid’ah?. Karena banyak yang katakan imamah adalah bukan bagian ‘ibadah (sunnah). (Pertanyaan dari Depok). 

Jawaban: Semoga Alloh merohmati kami dan anda, tidak demikian memahaminya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mengenakan pakaian dan perhiasan tersebut, keduanya adalah pakaian dan perhiasan yang menampakan simbol Ahlissunnah wal Jama’ah dan bahkan simbol bagi setiap muslim, Asy-Syaikh Al-Albaniy telah mengatakan tentang imamah:
إنها شعار للمسلم تميزه عن الكافر
“Sesungguhnya dia adalah simbol bagi seorang muslim, terbedakannya dari orang kafir”.
Dan perbedaan ini sangat mencolok, di saat aman maupun di saat perang, ketika perang di Dammaj, dan pertempuran dahsyat terjadi dikebun anggur, itu tidak lagi dibedakan antara kaum kafir Rofidhoh melainkan ada beberapa simbol, diantaranya imamah ini, kita Ahlussunnah walaupun memakai penutup kepala tetap dililitkan imamah, baik di dalamnya atau diluarnya dan imamah ini terlihat, adapun kaum kafir Rofidhoh maka mereka mengenakan topi tentara dan seragam tentara atau pakaian biasa tanpa berimamah, ini sebatas yang kami ketahui ketika di dalam kebun anggur di pertengahan pemukiman Masadir dengan Alu Manna’ Dammaj.
Kalau dikatakan imamah dan jubah bukan bagian dari ibadah sunnah maka ini juga terlalu meluas dalam meniadakan hukum, orang memakai imamah atau jubah kalau diniatkan untuk melaksanakan perintah Alloh Ta’ala maka dia akan mendapatkan pahala darinya, Alloh Ta’ala telah perintahkan:
(يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ)
“Wahai anak-anak Adam, pakailah perhiasan kalian ketika hendak sholat”.
Tidak diragukan lagi bahwa imamah adalah perhiasan dan bahkan dikatakan sebagai “mahkota” bagi pria.
Dan kami telah mendengarkan beberapa orang dari para masyayikh kami, diantara mereka adalah Syaikhuna Yahya Al-Hajuriy, mereka menyebutkan bahwa imamah memang pada asalnya pakaian adat atau kebiasaan orang-orang Arob namun kalau seseorang memakainya dengan niat untuk mencontoh Nabi Muhammad ‘Alaihishsholatu Wassalam maka dia diberi pahala atas perbuatannya tersebut.
Dan perlu diketahui kalau ada adat kebiasaan Arob muncul sebelum Islam, ketika datang Islam adat tersebut dibiarkan dan tidak diingkari maka itu menunjukan dua perkara:
Pertama: Amalan tersebut terpuji.
Kedua: Amalan tersebut boleh dilakukan.
Dan keadaan imamah tidak lepas dari dua perkara tersebut.
Bila difahami bahwa orang yang terus-menerus memakai imamah dan jubah dianggap telah berbuat bid’ah maka ini anggapan dan pemahaman yang sangat menyimpang dari kebenaran, karena Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sangat dan paling banyak memakai keduanya, bahkan sangat jarang beliau melepas imamahnya ketika keluar dari rumahnya.
Semoga Alloh Ta’ala menanamkan raca cinta dan rasa senang kepada kami dan anda sekalian dalam meneladani dan mencontoh Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (14/3/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar