Pertanyaan : Ana baru mengunjungi blogg Al-Utsmany, ustadznya bilang :”Jangan sampai seseorang ingkari kemungkaran tapi malah timbul kemungkaran yang lebih besar”. Bagaimana menempatkan kaedah tersebut?. Ustadznya juga bilang:”Hendaknya kita mengetahui kadar diri kita”. Ini dimunculkan ketika antum mengeluarkan bantahan kepada pembuat bid’ah.
Jawaban : Ucapan ini “Jangan sampai seseorang ingkari kemungkaran tapi malah timbul kemungkaran yang lebih besar” seakan-akan orang yang mengatakan ini telah melihat di depan matanya ada kemungkaran-kemungkaran yang akan digencarkan dan atau mungkin dia sendiri telah siap siaga bergabung dengan fraksi yang akan memunculkan kemungkaran-kemungkaran tersebut, teringatkan kami dengan perkataan Alloh Ta’ala:
(الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ)
“Orang-orang yang manusia berkata kepada mereka: Sesungguhnya manusia telah bersatu padu untuk menyerang kalian maka takutlah kepada mereka, maka bertambahlah kepada mereka keimanan dan mereka berkata: “Cukuplah Alloh bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik Al-Wakil”.
Bila kita melihat kepada shohibu bid’ah dan bid’ahnya serta kemungkaran yang ada padanya itu sangatlah kecil dan rendah serta sangat mudah untuk diingkari dan dilenyapkan, namun karena dikuat-kuatkan oleh orang seperti itu dan orang-orang yang semisalnya maka terlihatlah seakan-akan kalau diingkari akan terbelah samudra Indonesia dan akan pecah angkasa Nusantara.
Apakah mungkin mereka ingin meniru prilaku Hutsah (kaum kafir Rofidhoh) di Yaman, dengan kekafiran yang pada mereka ketika diingkari dan mereka divonis kafir mereka pun memunculkan kemungkaran-kemungkaran yang lebih besar dengan mencari pendukung ke sana kemari, ke ulil amri (ulama dan umara), sehingga Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Washobiy, Muhammad Al-Imam dan jaringan mereka berhasil dimanfaatkan fatwa-fatwa mereka, begitu pula pihak-pihak umaro berhasil dimanfaatkan kekuatan mereka.
Bila kita melihat kepada shohibu bid’ah di sini, dia pun berupaya bagaimana supaya bid’ah dan kemungkarannya tetap eksis, dia pun melakukan pendekatan ke sana sini, biar kalau nanti apa yang ada padanya diingkari atau ketika dia di vonis maka dia hanya berpangku tangan dan menonton dari balik layar laptop atau HP-nya.
Orang-orang yang dia dekati pun beramai-ramai memunculkan kemungkaran-kemungkaran sebagai “tandingan” untuk menyaingi, inilah siasat mereka, sehingga yang disalahkan nanti yang pertama mengingkari kemungkaran mereka, bila seperti ini siasatnya maka sungguh ini adalah siasat licik yang sedang dilakukan oleh kaum Hutsah (Rofidhoh) di Yaman ini, yang jadi korban siasat jahat mereka adalah Ahlussunnah dan siapa saja yang memvonis kafirnya Hutsah (Rofidhoh):
Orang-orang yang dia dekati pun beramai-ramai memunculkan kemungkaran-kemungkaran sebagai “tandingan” untuk menyaingi, inilah siasat mereka, sehingga yang disalahkan nanti yang pertama mengingkari kemungkaran mereka, bila seperti ini siasatnya maka sungguh ini adalah siasat licik yang sedang dilakukan oleh kaum Hutsah (Rofidhoh) di Yaman ini, yang jadi korban siasat jahat mereka adalah Ahlussunnah dan siapa saja yang memvonis kafirnya Hutsah (Rofidhoh):
(مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا ۚ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ۚ وَالَّذِينَ يَمْكُرُونَ السَّيِّئَاتِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ ۖ وَمَكْرُ أُولَٰئِكَ هُوَ يَبُورُ)
“Barang siapa menginginkan kemuliaan maka bagi Allohlah kemuliaan semuanya, kepada-Nya naik kalimat yang baik dan amalan sholih terangkat kepada-Nya, dan orang-orang yang merencanakan kejelekan bagi mereka itu azab yang dahsyat dan makarnya mereka itu akan hancur”.
Adapun perkataan “Hendaknya kita mengetahui kadar diri kita” maka ini menampakan seakan-akan dia merendahkan diri namun hakekatnya itu adalah cemeti yang dia gunakan untuk mencambuk siapa saja yang mengingkari kemungkaran shohibu bid’ah.
Karena kalau dia mengetahui kadar dirinya maka dia tidak akan melampui batas, dia tidak akan membuat siasat yang bertolak belakang, bila dia membawakan fatwa maka dia akan bersifat obyektif, namun karena “tidak mengetahui kadar diri” fatwa yang menyelisihinya diabaikan dan lebih memunculkan fatwa yang mencocokinya dengan alasan maqosid syar’iah lagi, dengan itu kemungkaran pun dibiarkan:
Karena kalau dia mengetahui kadar dirinya maka dia tidak akan melampui batas, dia tidak akan membuat siasat yang bertolak belakang, bila dia membawakan fatwa maka dia akan bersifat obyektif, namun karena “tidak mengetahui kadar diri” fatwa yang menyelisihinya diabaikan dan lebih memunculkan fatwa yang mencocokinya dengan alasan maqosid syar’iah lagi, dengan itu kemungkaran pun dibiarkan:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ ۖ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ)
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian, tidaklah orang yang sesat itu akan memberikan madhorot kepada kalian apabila kalian telah mendapatkan hidayah, hanya kepada Allohlah tempat kembali kalian semuanya, dan Dia akan menerangkan kepada kalian terhadap apa yang kalian kerjakan”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Ayyadahullohu wa Saddadahu (14/3/1436).
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Ayyadahullohu wa Saddadahu (14/3/1436).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar