Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

DENGAN HUJJAH KITA AKAN MEMBANTAH

Dengan hujah
DENGAN HUJJAH re
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده
 :أما بعد
Sudah merupakan suatu ketentuan yang Alloh Ta’ala tetapkan bahwa manusia akan selalu berselisih, dan dari perselisihan yang ada mesti ada yang benar karena Alloh Ta’ala telah berkata:
(فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَال)
“Tidaklah setelah kebenaran melainkan kesesatan”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata:
إن هذه الشريعة المحفوظة المحروسة مع هذه الأمة المعصومة التي لا تجتمع على ضلالة
“Sesungguhnya syari’at yang terlindungi lagi terjaga ini bersama umat yang terpelihara ini tidak akan berkumpul di atas kesesatan”.
Dan diantara perkara yang menjadi perselisihan adalah masalah TN atau yang dikenal dengan Ma’had Tarbiyatin Niswah, supaya perkara ini tampak seakan-akan besar maka para penggagas dan pendirinya menampilkan berbagai macam bentuk dan ragam padanya, bila dikritik karena para wanita tanpa mahrom tinggal padanya maka wanita tanpa mahrom segera dipindahkan ke cabangnya di tempat lain atau diadakan sandiwara si fulanah mengaku sebagai orang yang berhijroh, berhijroh dari mana? ternyata berhijroh dari rumahnya, kenapa di rumahnya? karena ada TV, karena bapaknya awamm, keras, suka beri ancaman, karena di lingkungannya ada Syi’ah dan karena… hukumnya pun diqiyaskan dengan hukum wanita yang hijroh dari negri kafir, sehingga pengamalan mereka pun menyelisihi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shohabatnya:

(وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا)
“Dan barang siapa menyelisihi Ar-Rosul setelah jelas kepadanya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman (para shohabat) maka Kami akan membiarkannya leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya dan Kami akan memasukannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali”.

TIDAK ADA QIYAS BILA TANPA DALIL

Ketika kami mengingkari suatu tempat sebagai perkumpulan para wanita di TN atau yang disebut sebagai asrama, yang mereka para wanita tidur siang dan tidur malam di dalamnya serta tinggal di sana dengan meninggalkan tempat tinggal (rumah) mereka maka mereka yang mengaku “bukan pembela TN” memunculkan komentar menyelisihi pengakuan mereka dengan memunculkan qiyas-qiyas, bahwa keadaan para santriwati itu seperti tamu, datang bersama mahromnya lalu mahromnya tidur dengan laki-laki pemilik rumah dan wanitanya tidur dengan wanita pemilik rumah”, atau anggapan bahwa itu hanya masalah adat atau budaya yang hukumnya boleh-boleh saja.
Maka pada kesempatan ini Insya Alloh kami akan jelaskan:

MASALAH BERTAMU

Bila mereka mengqiyaskan keberadaan wanita TN dengan masalah ini maka sebagai tanggapan adalah:
لا قياس مع وجود الدليل
“Tidak ada qiyas bersama adanya dalil”.
Atau kami katakan:
لا قياس لمن لا دليل له
“Tidak ada qiyas bagi siapa yang tidak ada dalil padanya”.
Masalah bertamu telah diatur di dalam syari’at yang suci ini, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah berkata:
(من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه جائزته)
“Barang siapa keberadaannya beriman kepada Alloh dan hari akhir (kiamat), maka hendaknya dia memuliakan tamunya, jaizatah”.
Para shohabat bertanya:
وما جائزته يا رسول الله؟
“Dan apa jaizatuhu wahai Rosululloh?”.
Beliau menjawab:
(يوم وليلة، وما زاد عن ذلك صدقة)
“Sehari dan semalam, dan apa yang lebih dari itu maka dia adalah sedekah”.
Syaikhuna Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh mengatakan:
هذا واجب يوم وليلة، وما زاد على ذلك فصدقة
“Ini adalah wajib, sehari semalam, dan apa yang melebihi dari demikian itu maka dia adalah sedekah”.
Dalam suatu riwayat, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
الضيافة ثلاثة أيام، فما كان وراء ذلك فهو صدقة عليه
“Perjamuan (penginapan) ada tiga hari, apa yang lebih dari itu maka dia adalah sedekah padanya”.
Dengan ini jelaslah bahwa mengqiyaskan dengan masalah ini bukanlah pada tempatnya, bertamu dibatasi waktu yang sangat singkat dan wajibnya tiga hari, lebih dari itu adalah boleh, sedangkan di TN para wanita berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Kemudian pada keadaan bertamu, terkadang pemilik rumah sudah menyiapkan ruang khusus tamu, tamu keluarga disediakan tempat tidur khusus keluarga di ruang tamu, sehingga keadaannya pun seakan-akan di hotel atau apartemen atau di rumah sendiri.
Dan kalaulah pemilik rumah keadaannya seperti keadaan Abud Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu ya’ni tidak terlalu besar rumahnya -anggaplah seperti  itu- maka ketika Salman Al-Farisiy datang bertamu maka beliau sangat senang, dan tamunya ini selaku saudara yang telah dipersaudarakan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bermalam di rumahnya, beliau ingin menyenangkannya dengan tidur bersamanya di tempat tamu, dan bertamu seperti ini boleh-boleh saja, dan kalaulah seandainya Salman datang bertamu dengan membawa istri lalu istrinya ikut juga menginap, sedangkan di rumah hanya satu ruangan -misalnya- maka tidak mengapa istrinya bermalam bersama istri Abu Darda’ di dalam satu ruangan tersebut, karena tidak ada lagi tempat, sedangkan Abu Darda’ dengan Salman bisa tidur di masjid atau di teras rumah, dan keadaan seperti ini sangat jarang didapati, kalau pun ada maka hanya waktu yang sangat singkat, sehari, dua hari atau tiga hari, lebih dari itu tentu pemilik rumah merasa sesak dadanya, karena sudah tidak lagi bisa kumpul dengan istrinya.
Adapun kalau ada dua ruangan maka bisa satu ruangannya untuk tempat menginap tamu dan satunya lagi untuk pemilik rumah. 
Dan keadaan ini tidak bisa kemudian disamakan dengan di TN, lagi pula melayani tamu adalah adat yang terpuji, ketika datang Islam dijadikanlah sebagai sunnah adapun masalah perkumpulan para wanita ya’ni mereka tidur dan tinggal di asrama TN bersama para wanita maka ini tidaklah kita mendapatinya di zaman salaf (Insya Alloh akan datang penjelasannya), yang ada ketika itu adalah perkumpulan para pria, mereka tinggal dan tidur di masjid atau di terasnya.

MASALAH TINGGAL DI ASRAMA TN

Orang yang membuat TN tentu sudah memiliki anggapan bahwa itu sebagai wasilah untuk tersampaikannya da’wah kepada para wanita.
Perlu kita ketahui bahwasanya perkara da’wah adalah tauqifiyyah, yaitu kita tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu di dalamnya dengan tanpa dalil, kewajiban kita adalah mengikuti dalil, baik dalam masalah da’wah seperti ini atau yang semisalnya, Alloh Ta’ala telah berkata kepada Rosul-Nya:
(قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ)
“Katakanlah: Ini adalah jalanku, aku menyeru kepada Alloh di atas keterangan (ilmu) dan begitu pula orang-orang yang mengikutiku, Maha Suci Alloh, dan tidaklah aku termasuk dari orang-orang yang menyekutukan Alloh”.
Kalau membawa masalah TN ini kepada masalah ‘adah (adat) maka kita katakan bukankah TN mereka telah jadikan sebagai sarana da’wah?, bukankah wasilah da’wah adalah tauqifiyyah?.
Syaikhuna Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh telah ditanya tetang wasilah da’wah apakah tauqifiyyah? maka beliau katakan:
نعم توقيفية
“Iya, dia adalah tauqifiyyah”,
lalu beliau sebutkan dalil-dalilnya dan beliau berkata:
وأما ما كان مخالفًا للشرع أو محدثًا فلا يجوز أن يتخذ من وسائل الدعوة
“Dan adapun apa yang keberadaannya menyelisihi syari’at atau dia muhdats maka tidak boleh untuk dia dijadikan termasuk dari wasilah-wasilah da’wah”.
Kemudian beliau berikan contoh seperti memfoto makhluk bernyawa, mencukur jenggot dan mengajar di tempat-tempat ikhtilath, beliau menyebutkan perkataan sebagian orang:
لمن نترك هؤلاء البنات يدرسهم واحد من العصاة المفسدين للأخلاق والأعراض؛ فأنت أيها الصالح درس البنات واجعل هذا وسيلة للدعوة، ولا تدري إلا وهذا الصالح قد فسد قلبه وحاله.
“Kepada siapa kami akan meninggalkan mereka para anak-anak wanita itu, diajari oleh seorang lelaki dari kalangan pelaku ma’siat yang rusak pada akhlaq dan kehormatannya, maka kamu wahai orang yang sholih, ajarilah para anak-anak wanita dan jadikan ini sebagai wasilah da’wah, dan dia tidak mengetahui melainkan orang sholih ini telah rusak hati dan keadaannya”.
Bila TN dikatakan sebagai adat maka anggaplah demikian, namun perlu diketahui bahwa adat bisa diterima manakalah dia tidak menyelisihi dalil atau tidak bertentangan dengannya, dan hukum asal adat adalah boleh, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh mengatakan:
الأصل في العادات أن لا يحظر منها إلا ما حظره الله
“Asal pada kebiasaan-kebiasaan adalah dia tidak terlarang darinya melainkan apa yang Alloh telah melarangnya”.
Ketika seseorang menganggap hal itu sebagai adat maka tidak diperkenankan baginya untuk bersegera melakukannya namun hendaknya dia mengetahuinya apakah syari’at mendiamkannya atau menghukuminya?, jika mendiamkannya maka hukumnya adalah boleh, adapun kalau syari’at menghukuminya maka hukum tersebut diterima. 
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman As-Sa’diy Rohimahulloh telah menyebutkan:
العرف والعادة يرجع إليه في كل حكم حكم به الشارع، ولم يحده بحد
“Kebiasaan dan adat dikembalikan padanya pada setiap hukum yang Pembuat syari’at telah menghukuminya, dan tidak menetapkannya dengan satu ketetapan”.
Dan lebih lanjut beliau katakan pula:
إن جميع الأحكام يحتاج كل واحد منها إلى أمرين؛ معرفة حدها وتفسيرها، ثم بعد ذلك يحكم عليها بالحكم الشارع
“Sesungguhnya seluruh hukum-hukum, membutuhkan setiap salah satu darinya kepada dua perkara; mengetahui batasan (penetapan)nya dan penjelasan (penjabaran)nya, kemudian menghukuminya dengan hukum Pembuat syari’at”.
Dan pada masalah TN ini, tidak kemudian kita katakan secara mutlak boleh karena adat atau kebiasaan, namun dituntut adanya tinjauan syari’at padanya.
Adapun tentang TN (asrama) ini, yang mana para wanita tidur dan tinggal di dalamnya, bila ini dikatakan sebagai kebiasaan atau hanya sekedar adat bertempat tinggal dengan tanpa membutuhkan dalil maka ini adalah perkataan yang sangat menyenangkan para penggemar hawa nafsu, karena mereka bisa bebas memanfaatkan tempat dengan tanpa melihat dalil lagi; apakah syari’at mendiamkannya ataukah menghukuminya?.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata dalam menyebutkan tentang ‘ied orang-orang kafir:
وليس على المسلم أن يبحث عنها ولا يعرفها بل يكفيه أن يعرف في أي فعل من الأفعال أو يوم، أو مكان أن سبب هذا الفعل، أو تعظيم هذا المكان والزمان من جهتهم.
“Dan tidaklah bagi seorang muslim untuk mencari tentangnya dan tidak pula untuk mengetahuinya namun cukup baginya untuk mengetahui pada perbuatan apa saja dari perbuataan-perbuatan atau hari atau tempat yang menjadi sebab perbuatan ini atau pengagungan tempat dan waktu ini dari sisi mereka (orang-orang kafir)”.
Jadi beliau memasukan “tempat” sebagai sesuatu yang diperbincangkan.
Dan cukup pula perkataan Syaikhul Islam Rohimahulloh sebagai penjelas:
ولو لم يعرف أن سببه من جهتهم، فيكفيه أن يعلم أن لا أصل له في دين الإسلام، فإنه إذا لم يكن له أصل فإما أن يكون قد أحدثه بعض الناس من تلقاء نفسه، أو يكون مأخوذا عنهم، فأقل أحواله أن يكون من البدع
“Dan kalaulah dia tidak mengetahui sebabnya dari sisi mereka (orang-orang kafir), maka cukup baginya untuk mengetahui bahwa dia tidak memiliki asal di dalam agama Islam, sesungguhnya kalau dia tidak ada asalnya maka bisa jadi dia adalah diada-adakan oleh sebagian manusia dari pendapat dirinya sendiri atau keberadaannya diambil dari mereka (orang-orang kafir), dan paling sedikitnya keadaan-keadaannya adalah termasuk dari kebid’ahan-kebid’ahan”.
Dan telah kami jelaskan bahwa masalah TN ini, yang mana para wanita berdiam dan tidur bersama para wanita lain di dalamnya, ini tidak didapati di zaman salaf melainkan hanya para biarawati yang ada di gereja atau di asramanya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barang siapa menyerupai terhadap suatu kaum maka dia termasuk dari mereka”.
Alhamdulillah para salaf Rodhiyallohu ‘Anhum telah meninggalkan atsar yang sangat jelas, di zaman para shohabat para wanita dikenal bersemangat tinggi dalam menuntut ilmu, dan mereka lebih miskin (lebih kekurangan harta) dari pada kita, bersamaan dengan itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak membuatkan untuk mereka tempat menginap khusus para wanita, untuk tidur di dalamnya dan tinggal padanya, tidak di masjid dan tidak pula di sekitar masjid, kecuali seorang wanita hitam dan keadaannya telah diperjelas oleh Aisyah Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘Anhuma:
فكان لها خباء في المسجد أو حفش. 
“Ia memiliki kemah di masjid atau ia memilili tenda”.
Dan ia dalam keadaan bersendirian, sungguh bagus apa yang diarahkan olehSyaikhuna Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh ketika ditanya tentang wanita yang menyelamatkan agamanya dari tekanan fitnah lalu datang ke ma’had maka beliau menyarankan untuk dijadikan tempat khusus untuk menginap sementara.
Di Dammaj ada maktabah khusus wanita, dan di depannya ada ruangan, di dalam ruangan ada dua bilik (kamar), ketika itu ada wanita yang hijroh dari negri kafir maka ia menempati pada satu kamar dan ada lagi wanita yang lain datang membutuhkan tempat tinggal maka ia tinggal pada kamar yang satunya, dan itu sifatnya sementara sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikhuna Hafizhohulloh, dan mereka disarankan untuk segera menikah supaya tidak terus menerus tinggal bersendirian, dan keadaan yang di Dammaj itu seperti wanita hitam yang tinggal di kemah bersendirian, dan wanita hitam tersebut sering datang ke Aisyah Ash-Shiddiqoh untuk memperoleh faedah, setiap waktu tidur ia kembali ke tendanya lalu tidur di sana, ia tidak tidur bersama Aisyah Rodhiyallohu ‘Anhuma di saat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak ada di rumah dan tidak pula ikut numpang di rumah wanita lain namun ia kembali ke tendanya.
Di Dammaj ketika itu lebih mampu untuk membuatkan tempat khusus (asrama) untuk para wanita namun Syaikhuna sengaja tidak dibuatkan tempat sebagaimana tempat para pria (asrama), karena tidak ada salafnya dan juga tidak lepas dari penyelisihan-penyelisihan terhadap syari’at.
Berbeda dengan para lelaki dari kalangan Ahlu shufah maka mereka bebas tidur di masjid, tanpa harus dibuatkan tenda untuk masing-masing mereka tidur di dalam masjid atau di selain masjid.
Ketika para pria diadakan tempat tinggal semisal asrama atau mereka tidur di masjid-masjid maka ini boleh-boleh saja, bersamaan dengan itu mereka tetap diatur oleh syari’at selama di dalamnya, ketika tidur mereka harus menggunakan pembatas antara satu dengan lainnya, tidak boleh tidur satu selimut dengan yang lainnya dan larangan-larangan lainnya yang wajib bagi mereka indahkan.
Dengan adanya penyelisihan-penyelisihan di asrama wanita, juga tidak adanya salaf tentang mereka tinggal dan tidur di dalamnya, maka itulah yang menjadi sebab perbincangan di sini, sebagaimana Jam’iyyah bukanlah pembicaraan pokok pada kantor atau tempatnya namun penyelisihan yang ada di dalamnya, karena yang berkaitan dengan tempat bisa digunakan untuk tempat kebaikan, seperti asrama TN ini bisa dipisah-pisah (dibuatkan penyekat) hingga menjadi bilik-bilik, setiap orang bisa tinggal dibiliknya bersama mahromnya, bila ia wanita hijroh tanpa ada mahrom atau seorang diri tanpa keluarga maka bisa ia tinggal sendirian sebagaimana wanita hitam yang ditinggal di kemahnya dalam keadaan bersendirian. Atau juga tempat (asrama) wanita itu bisa dijadikan maktabah khusus wanita atau yang semisalnya sehingga tidak ada lagi penyelisihan terhadap manhaj salaf di dalamnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata;
فأما أماكن الكفر والمعاصي التي لم يكن فيها عذاب إذا جعلت مكانا للإيمان والطاعة فهذا حسن
“Adapun tempat-tempat kekufuran atau tempat-tempat kema’siatan yang tidak ada padanya azab (ya’ni sebab munculnya siksaan) jika dijadikan sebagai tempat keimanan dan ketaatan maka ini adalah bagus”.
Dan selama ini kami belum mengetahui ada dalil dan bahkan kami belum mendapati atsar bahwa ada ulama salaf membuka tempat seperti TN lalu para wanita meninggalkan rumah mereka dan lebih senang tinggal dan tidur di dalam TN tersebut.
Maka dengan itu kita lebih senang mengikuti ulama salaf tersebut dari pada taqlid, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh berkata:
إن متابعة النبيين والصديقين والشهداء والصالحين في أعمالهم أنفع
“Sesungguhnya mengikuti para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang sholih pada amalan mereka adalah lebih bermanfaat”.
Apa yang ada di zaman salaf dengan tidak adanya tempat seperti yang diadakan TN maka itulah adat yang kita terima, adat itu yang perlu kita terapkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh mengatakan:
إن العادات لها تأثير عظيم فيما يحبه الله وفيما يكرهه، فلهذا أيضا جاءت الشريعة بلزوم عادات السابقين في أقوالهم وأعمالهم وكراهة الخروج عنها إلى غيرها من غير حاجة
“Sesungguhnya adat padanya pengaruh yang besar, pada apa-apa yang dicintai oleh Alloh dan pada apa-apa yang dibenci-Nya, oleh karena ini datang juga syari’at untuk senantiasa berpegang kepada adat orang-orang dahulu (para salaf) pada perkataan mereka dan perbuatan mereka dan dibenci keluar darinya, kepada selainnya dengan tanpa ada kebutuhan”.
Bukan berarti kalau adat yang datang setelahnya kita tolak langsung, bukan demikian, namun kita tinjau dengan tinjauan syari’at, kapan syari’at tidak menghukuminya maka boleh dilakukan, dan kapan menghukuminya maka diterima penghukuman tersebut.
Dan pada masalah TN ini penghukuman syari’at ada padanya, asrama ini bukan rumah mereka dan bukan pula rumah mahrom mereka, lagi pula tidak tinggal dengan mahrom mereka di dalamnya, maka tentu para wanita tersebut terkenai larangan syari’at, diantaranya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لا تخلع امرأة ثيابها في غير بيت زوجها -وفي رواية: في غير بيتها- إلا هتكت الستر بينها وبين الله عز وجل»
“Tidaklah seorang wanita menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya -dalam satu riwayat: di selain rumahnya- kecuali akan terkoyak penutup antaranya dan antara Alloh ‘Azza wa Jalla”.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad Hafizhohulloh ketika menjelaskan hadits tersebut, beliau berkata:
إذا كان الخلع فِي بيت سكنته مع أهلها أو كانوا في مكان وهم مسافرون واستأجروا شقة أو ما شابه ذلك؛ فهذا يعتبر بيتهم، وَكذلك إذا كَانت فِي بيت أهلها وخلعته للحاجة -كالاستحمام مثلاً- فَلا بأس.
“Jika keberadaan melepas pakaiannya di dalam rumah yang ia tempati bersama keluarga (mahrom)nya, atau mereka di suatu tempat yang mereka sedang safar dan mereka menyewa apartemen atau apa yang semisal itu, maka ini teranggap di rumah mereka, demikian pula jika keberadaannya di rumah keluarganya dan ia melepaskannyanya -seperti mandi misalnya- maka ini tidak mengapa”.
Bila kita melihat di asrama TN, para wanita tidak bisa bersama mahrom mereka, karena mereka tinggal bersama para wanita yang berbagai macam prilaku, terkadang tanpa disadari ketika wanita menanggalkan pakaian luar (jubah/busana)nya maka wanita lainnya memotretnya, merekam gambarnya dengan kamera, atau memperlakukannya dengan perlakuan yang tidak didapati ketika tinggal bersama keluarga (mahrom)nya.
Maka sukakah seseorang karena hanya sekedar mempertahankan pendapat atau beranggapan boleh akhirnya menjerumuskan dirinya ke dalam kenistaan atau menjerumuskan orang lain ke dalamnya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
ومن سن سنة شر -وفي رواية سيئة- فأتبع عليها كان عليه وزره ومثل أوزار من اتبعه غير منقوص من أوزارهم شيئا
“Dan barang siapa melakukan suatu metode yang jelek -dalam suatu riwayat: buruk- lalu diikuti padanya, maka baginya dosanya dan semisal dosa-dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa dikurangi dari dosa-dosa mereka sedikit pun”.

BUKANLAH METODE SALAF SEPERTI INI

Adapun pembicaraan yang sering dijalankan oleh Abu Hazim dan adiknya Abu Arqom, dengan ke sana kemari, hubungi sana dan hubungi sini, maka itu mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Abu Hazim, ketika Abu Hazim datang ke pondok Kholiful Hadi di Banyutengah Gresik maka ia pun menjadikan masalah TN ini sebagai pembicaraan hingga kemudian Abu Hazim berkata kepada Kholiful Hadi: “Antum punya TN juga ya?”. 
Kholiful Hadi menjawab: “Itu bukan TN tapi perkumpulan belajar para wanita”.
Kenapa ketika itu tidak sekalian Abu Hazim datang ke pondok Sunan yang dekat dengan tanjung Kodok, di sana ada TN nya juga?.
Para thullab salafiyyin sudah menjauhi Kholiful Hadiy malah ternyata Abu Hazim datang kepadanya.
Memang orang ini seakan-akan tidak tahu masalah baro’ dari kebatilan dan ahlinya, ada juga dari muridnya meminta izin kepadanya untuk pindah ke pondok Kholiful Hadi supaya mendapatkan pelajaran Nahwu yang tidak didapati di pondok Abu Hazim maka ia juga izinkan dengan tanpa memberi nasehat dan tahdzir, dengan keadannya ini maka tidak heran banyak murid-muridnya berkeliaran dan pindah ke pondok-pondok hizbiyyin.
Manhaj “nyeleneh” Abu Hazim semisal ini teranggap biasa olehnya, cukup penjelasan singkat yang kami tuliskan pada Amru Abi Hazim Al-Andonisiy Laisa Bishoghir” sebagai pencabik manhajnya yang hizbiy lagi “nyeleneh”.
Apakah benar apa yang dikatakan oleh Kholiful Hadi itu hanya sekedar tempat perkumpulan untuk belajar?, ternyata justru mereka telah menyelisih salaf, di zaman para shohabat para wanita menghadiri kajian bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam setelah kajian, mereka langsung kembali ke rumah masing-masing dan tidak seorang pun wanita tidur di tempat perkumpulan kajian tersebut.
Jadi Kholiful Hadi di sini hanya mengganti nama namun hakekatnya -ketika itu- adalah sama, ini hanya bisikan-bisikan yang membuat Abu Hazim bertambah terpedaya dengan TN:
(فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَىٰ)
“Maka syaithon membisik-bisikan kepadanya, dia berkata: Wahai Adam maukah aku tunjukan kepadamu atas suatu pohon keabadian dan kerajaan yang tidak akan runtuh”.
divider (3)
Ditulis oleh:
Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (20/3/1436) diberi beberapa tambahan pada (23/3/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar