ungkapan
untuk
ulama dan yang memberi PENJELASaN
Ditulis oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim
Al-Limboriy
Semoga Alloh mengampuninya,
mengampuni kedua orang tuanya dan mengampuni saudara-saudarinya
http://assaabiquunalawwaluun.blogspot.com
1434
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Berikut ini kami akan paparkan tentang suatu ungkapan umum yang
sebagian manusia mengkhususkan atau menganggapnya hanya sebagai hak ulama:
UNGKAPAN FATWA (FATAWA')
Tatkala jawaban-jawaban kami terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
disampaikan oleh saudara-saudari kami kaum muslimin di Tanah Airku Indonesia sudah
terkumpulkan menjadi 3 (tiga) jilid maka mulailah para komentator berbicara,
lebih-lebih ketika melihat judul berbahasa Arobnya "Fatawa' Syar'iyyah"
mereka pun serentak berkata: "Kalimat fatawa' khusus untuk ulama',
tidak pantas untuk selain ulama", atau perkataan mereka "Tidak pantas
mengumpulkan Tanya jawab seperti itu".
Dengan sebab itu pada kesempatan ini kami akan sebutkan
tentang ma'na "fatwa" sehingga dengan itu menjadi catatan bagi para
komentator itu:
Para ahli bahasa Arob mengatakan:
"وأَفْتَاه فِي الأَمر: أَبانَه لَهُ".
"Dan aku memfatwakan kepadanya dalam suatu perkara, yaitu aku
menjelaskan tentang perkara tersebut kepadanya". Lihat "Lisanul Arob" (15/147).
Dari ungkapan "aftah" ini masuk keumuman setiap orang yang
memberikan penjelasan atau menerangkan tentang suatu permasalahan, tidak ada
pengkhususan, jika ada yang mengkhususkan maka membutuhkan dalil syar'iy!.
Mereka para ahli bahasa juga mengatakan:
"وَيُقَالُ: أَفْتَيْت فُلَانًا رُؤْيَا
رَآهَا إِذا عَبَّرْتَهَا لَهُ".
"Dan dikatakan: Aku memberi fatwa kepada Fulan tentang ru'yah
(mimpi) yang dia melihatnya, jika aku menta'birkan (menafsirkan) tentang mimpi
tersebut kepadanya". Lihat "Lisanul
Arob" (15/147).
Orang yang
menafsirkan mimpi bermacam-macam, masuk di dalamnya keumuman perkataan
"fatwa", jika kita mengatakan kepada seseorang yang berbicara atau
yang sedang menafsirkan mimpi: "Dia berfatwa, maka ini tidak bisa
diingkari karena ini hanya dalam sisi bahasa saja".
Mereka juga
mengatakan:
"وأَفْتَيْتُه فِي مسأَلته إِذا أَجبته
عَنْهَا".
"Dan aku memfatwakannya pada permasalahannya, jika aku
menjawab masalah tersebut darinya". Lihat
"Lisanul Arob" (15/147).
Ini juga masuk pada
keumuman setiap orang yang menjawab suatu pertanyaan maka tidak mengapa
dikatakan "telah berfatwa", siapa mengingkari ungkapan ini maka
hendaknya dia membawakan hujjah dan dalilnya kalau memang tidak boleh
digunakan?.
Dan di dalam sebuah perkataan
orang-orang Arob:
"أَن قَوْمًا تَفَاتَوا إِليه".
"Bahwasanya suatu kaum tafatauw kepadanya",
ma'nanya adalah:
"تَحَاكَمُوا إِليه وَارْتَفَعُوا إِليه
فِي الفُتْيا. يُقَالُ: أَفْتَاه فِي المسأَلة يُفْتِيه إِذا أَجابه".
"Mereka meminta hukum kepadanya, dan mereka mengangkat (masalah)
kepadanya dalam pemberian fatwa, dikatakan: "Dia memfatwakan dalam suatu
masalah, difatwakan jika dia menjawabnya". Lihat "Lisanul Arob" (15/147).
Dan dalam hadits
sihir, Rosululloh (صلى الله عليه وسلم) berkata kepada istrinya Aisyah:
"أَفْتَانِي
فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ".
"Dia telah memberika fatwa kepadaku
ketika aku meminta fatwa kepadanya". Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy di
dalam "Ash-Shohih" (no. 5763) dan Muslim di dalam "Shohih"nya
(no. 2189).
Ibnu Hajar Rohimahulloh di dalam "Fathul Bariy"
(10/228) telah menjelaskan ma'na dari perkataan ini, beliau berkata:
"فِي
رِوَايَةِ الْحُمَيْدِيِّ أَفْتَانِي فِي أَمْرٍ اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ أَيْ
أَجَابَنِي فِيمَا دَعَوْتُهُ فَأَطْلَقَ عَلَى الدُّعَاءِ اسْتِفْتَاءً لِأَنَّ
الدَّاعِيَ طَالِبٌ وَالْمُجِيبَ مُفْتٍ أَوِ الْمَعْنَى أَجَابَنِي بِمَا
سَأَلْتُهُ عَنْهُ لِأَنَّ دُعَاءَهُ كَانَ أَنْ يُطْلِعَهُ اللَّهُ عَلَى
حَقِيقَةِ مَا هُوَ فِيهِ لِمَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ مِنَ الْأَمْرِ".
"Di dalam riwayat Al-Humaidiy aftaaniy
fii amrinis taftaituhu fiih yaitu Dia mengabulkanku terhadap apa yang aku
berdoa kepada-Nya, fatwa diitlakan pada doa karena orang yang berdoa adalah
menuntut (meminta), dan yang mengabulkan adalah orang yang berfatwa atau ma'na
telah mengabulkanku terhadap apa yang aku telah meminta-Nya tentangnya, karena
sesungguhnya doanya supaya Alloh menampakannya atas keadaan yang sebenarnya
dari apa yang dia berada pada kesamaran dari suatu perkara".
Jadi penggunaan ungkapan "fatawa" tergantung kepada
penyandarannya, jika itu disandarkan kepada ulama maka jelas khusus ulama,
misalnya "Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Bazz", jika disandarkan
kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) maka khusus untuk mereka, jika disandarkan
kepada thulaib maka dikatakan "Fatawa At-Thulaib" atau bila
disandarkan kepada tukang sihir maka dikatakan "Fatawa As-Sahir".
Kesimpulan:
Ungkapan bahasa atau adat istiadat tidak bisa langsung
ditolak begitu saja, akan tetapi dibutuhkan dalil tentang terlarangnya ungkapan
tersebut, jika ada dalil yang menyelisihinya maka langsung ditolak, namun bila
tidak ada dalilnya maka kembali kepada hukum asal penggunaannya yaitu
boleh-boleh saja.
Abdurrohman As-Sa'diy Rohimahulloh berkata di dalam
"Al-Qowa'idul Hisan" (hal. (62 pada kaedah yang kedua puluh satu:
"القرآن
يجري في إرشاداته مع الزمان والأحوال في أحكامه الراجعة للعرف والعوائد".
"Al-Qur'an berjalan dalam
bimbingannya bersama zaman, keadaan-keadaan dalam hukum-hukumnya yang rojih
terhadap kebiasaan dan adat istiadat".
Betapa banyak ungkapan atau adat istiadat yang tidak
menyelisihi syari'at, Al-Qur'an berjalan bersamanya dan ada pula yang
didiamkan, maka kembali kehukum asal.
Diantara contoh ungkapan yang sudah merupakan kebiasaan orang
Arob adalah:
"بِأَبِي
أَنْتَ وَأُمِّي".
Dan ungkapan ini tetap digunakan di dalam Islam, karena
Al-Qur'an begitu pula As-Sunnah tidak mengingkarinya dan tidak pula mengkhususkan
penggunaannya kepada orang tentu, ulama atau pun orang awam boleh
mengucapkannya, Al-Bukhoriy meriwayatkan dari hadits Abu Huroroh, beliau
berkata:
"فَقَالَ
أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ".
UNGKAPAN SYAIKH
Sangat mengherankan, ketika ada seorang khotib
dan juga dia sebagai da'i Ilalloh yang sering keluar da'wah, ketika dia
berkhutbah di masjid Ahlissunnah Dammaj, berkatalah seseorang yang mendengarkan
khutbahnya: "Masya Alloh, syaikh yang khutbah tadi benar-benar mantap dan
bagus", ketika ada orang-orang mendengarnya maka mereka pun mengatakan: "Dia
bukan syaikh?, dia itu teman sebelajar dengan kami, siapa yang mengatakan dia
syaikh, syaikh Fulan tidak mengatakan kalau dia sudah syaikh?".
Demikianlah kalau seseorang mempersempit penggunaan dari
ungkapan "syaikh", padahal di dalam syari'at, kebiasaan dan adat
istiadat dalam penggunaan ungkapan tersebut adalah umum, sama saja
penggunaannya kepada ulama atau kepada siapa yang layak untuk dikatakan sebagai
"syaikh", Alloh (تعالى)
berkata di dalam Al-Qur'an tentang perkataan dua wanita sholihah:
{وَأَبُونَا
شَيْخٌ كَبِيرٌ} [القصص: 23]
"Dan bapak kami adalah syaikh
(orang tua) yang lanjut usia". (Al-Qoshshosh: 23).
Di dalam "Musnad Ahmad" (no. 807) juga di
dalam "As-Sunan Al-Kubro Lil Baihaqiy" (no. 1453), bahwasanya
Ali Rodhiyallohu 'anu berkata:
"لَمَّا
تُوُفِّيَ أَبُو طَالِبٍ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَقُلْتُ: إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ قَدْ مَاتَ".
"Tatkala Abu Tholib telah mati,
maka aku mendatangi Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), lalu aku berkata: Sesungguhnya pamanmu yang syaikh
(tua) itu telah mati".
Bagi orang yang belum mengetahui keadaan Abu Tholib tentu
akan menganggap bahwa dia adalah orang baik karena Ali menggunakan
ungkapan "syaikh", namun kalau orang mengetahui bahwa ungkapan "syaikh"
ini penggunaannya umum yaitu masuk di dalamnya ulama dan bukan ulama, yang baik
dan yang sesat, yang tua dan yang muda maka tentu dia tidak akan menganggap
bahwa Abu Tholib orang baik atau ulama, hal ini diperjelas lagi dalam hadits Ali
Rodhiyallohu 'anu yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam "Al-Musnad"
(no. 1093) dan Al-Baihaqiy di dalam "As-Sunan Al-Kubro Lil Baihaqiy"
(no. 193), Ali Rodhiyallohu 'anu
berkata:
"لَمَّا
مَاتَ أَبُو طَالِبٍ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ:
إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ".
"Tatkala Abu Tholib telah mati,
maka aku mendatangi Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), lalu aku berkata: Sesungguhnya pamanmu yang syaikh (tua) lagi
sesat telah mati".
Bahkan pengunaan ungkapan "syaikh" ini masyhur di
kalangan Arob, para mahasiswa di universitas Saudi Arobi biasa kalau mereka
dikatakan sebagai "masyayikh" (para syaikh), bahkan dosen-dosen
mereka dikatakan sebagai "asatidz" (para ustadz), kebiasaan seperti ini
kalau penggunaannya di Indonesia kebalikannya, orang yang lebih tinggi ilmunya
dianggap sebagai "syaikh", adapun da'i biasa atau pengajar maka dia
dikatakan sebagai "ustadz".
Kita tidak mengingkari dalam kitab "Harbus Sadisah"
kedua penulisnya menyebutkan beberapa orang-orang qobilah Dammaj yang meninggal
dengan ungkapan "As-Syaikh Fulan, dan Asy-Syaikh Fulan", orang yang
tidak mengenal mereka tentu akan menganggap bahwa "mereka itu adalah termasuk
ulama", namun orang yang mengenal mereka tentu akan mengatakan "Si
Fulan itu adalah syaikh qobilah", begitu pula orang-orang menyebutkan
bahwa penulis buku "Sekte Salafy Berdarah" adalah Asy-Syaikh
Idahram, orang yang berakal yang mengetahui keadaan Idahram ini tentu akan
mengatakan: "Bukan syaikh yang baik akan tetapi syaikh dhol, atau syaikh
shufiy".
Jadi ringkasan dari permasalahan ini adalah tidak dibenarkan
bagi siapa pun untuk mempermasalahkan ungkapan "fatwa" atau
"syaikh" tersebut, jika ada yang mempermasalahkan atau menganggapnya
sebagai kekhususan untuk ulama maka dia tidak ada bedanya dengan orang-orang
yang menyatakan: "Jubah adalah pakaian khusus untuk ulama", atau
"Imamah adalah khusus untuk ulama".
Demikian penjelasan singkat ini, semoga bermanfaat untuk kami
dan yang menginginkan kebenaran.
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar