MENYEWA MASJID
Untuk
Mendidik murid-murid
Tanya Jawab Bersama:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim
Al-Limboriy
Semoga Alloh mengampuninya,
mengampuni kedua orang tuanya dan mengampuni saudara-saudarinya
http://assaabiquunalawwaluun.blogspot.com
LIMBORO
1434
Pertanyaan:
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
Apakah boleh menyewakan masjid?, karena kami melihat ada
orang menyewakan masjid untuk kegiatan da'wah?.
Jawaban:
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Masjid adalah milik Alloh, dan tidak diperkenankan bagi
seorang pun untuk memperjual belikan atau menyewakannya, barang siapa yang
menjadikan masjid sebagai bahan sewaan atau menjadikannya sebagai bahan jual
beli maka sungguh dia telah menukar dan merusak agamanya:
{وَلَا
تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ}
[البقرة: 41]
"Dan
janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya
kepadaKu-lah kalian harus bertaqwa". (Al-Baqoroh:
41).
Masjid kedudukannya di mata
kaum muslimin sangatlah berharga, maka tidak selayaknya untuk dijual dengan
harga atau ukuran dunia:
{قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ
اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا} [النساء: 77]
"Katakanlah:
"Kesenangan (perhiasan) dunia itu sedikit (hanya sementara) dan akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kalian tidak akan dianiaya
sedikit pun". (An-Nisa': 77).
Karena mulianya masjid di
mata umat Islam maka tidak diperbolehkan untuk menjualnya, menyewakannya,
berjual beli di dalamnya atau mengumumkan pencarian barang hilang di dalamnya,
Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ
فَلْيَقُلْ: لَا رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ
لِهَذَا»
"Barang
siapa mendengar seseorang mengumumkan pencarian barang hilang di masjid maka
dikatakan: "Semoga Alloh tidak mengembalikannya kepadamu!, karena
sesungguhnya masjid-masjid tidak dibangun untuk ini".
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Huroiroh.
Pertanyaan:
Apa hukumnya meminjam uang kepada orang,
yang dia tahu bahwa yang dipinjami kalau mengembalikan uang suka mengasih
lebih, dan dia tidak memberi syarat kepada si peminjam.
Jawaban:
Dia
tetap meminjamkannya namun dia tidak boleh menerima yang lebihnya, walau pun
dia meniatkan yang lebih itu sebagai hadiah atau sedekah tetap tidak boleh
diterima, karena para shohabat dahulu tidak menerima yang lebih seperti itu,
bahkan Abdulloh bin Salam Rodhiyallahu 'anhu menegaskan
kepada shohabatnya yang lain, kalau dia memiliki harta dan dipinjamkan ke orang
lain lalu dikembalikan dengan diberi tambahan sebagai hadiah atau sedekah maka tidak
boleh diterima, beliau berkata:
"فَلَا تَقْبَلْهَا فَإِنَّهَا رِبًا".
"Maka janganlah kamu menerimanya karena sesungguhnya dia
adalah riba'".
Dan
telah shohih pula bahwa Abdulloh bin Abbas dan Anas bin Malik
melarang dari mengambil yang lebih tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah.
Walau
pun mungkin ada dari ahlul 'ilmi menfatwakan tentang boleh mengambilnya karena
niat hadiah atau sedekah apalagi dengan tanpa persyaratan sebelumnya, namun
yang benar tetap tidak boleh, karena tidak ada riwayat yang shohih yang
menjelaskan tentang kebolehan mengambilnya, yang ada hanya riwayat shohih dari
para shohabat yang menfatwakan tentang tidak boleh mengambil yang lebihnya,
kita mengikuti para shohabat dalam mengambil suatu hukum lebih selamat dari
pada mengambil perkataan orang-orang di bawah mereka, para shohabat lebih tahu
tentang hukum syari'at dari pada orang-orang yang setelah mereka.
Dan
bagi orang yang memiliki niat baik, untuk bersedekah atau memberi hadiah maka
hendaknya dia memberikannya tidak bersamaan ketika membayar atau mengembalikan
pinjamannya namun dia lakukan di waktu yang lain, sehingga diketahui murni
untuk sedekah atau hadiah.
Dan
merupakan kewajiban bagi orang yang mengembalikan pinjaman untuk
mengembalikannya seperti yang dia pinjam, dan tidak dibenarkan untuk menambah
atau menyisipkan sesuatu padanya, walaupun diniatkan sebagai hadiah atau
sedekah, Ibnu Qudamah Rohimahulloh berkata:
"وَيَجِبُ رَدُّ الْمِثْلِ فِي الْمَكِيلِ وَالْمَوْزُونِ،
لَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا".
"Wajib mengembalikan
yang semisal (baik) dalam bentuk kiloan atau takaran, kami tidak mengetahui ada
perbedaan pendapat padanya".
Ibnul Mundzir Rohimahulloh berkata:
"أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ،
عَلَى أَنَّ مَنْ أَسْلَفَ سَلَفًا، مِمَّا يَجُوزُ أَنْ يُسَلِّفَ، فَرُدَّ
عَلَيْهِ مِثْلُهُ، أَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ وَأَنَّ لِلْمُسَلِّفِ أَخْذَ ذَلِكَ".
"Telah bersepakat
setiap orang dari kalangan ahlul ilmi yang kami hafal darinya atas bahwasanya
siapa yang menyerahkan sesuatu dari apa-apa yang dibolehkan untuk diserahkan
maka hendaknya dia mengembalikan atasnya dengan yang semisalnya, bahwasanya
yang demikian itu adalah boleh, dan bahwasanya yang diserahkan menerima
demikian itu".
Pertanyaan:
A bekejasama dengan B dalam suatu usaha
perdagangan, A modalnya
berbentuk uang, dan B modalnya keahlian
menjalankan usaha, A meminta setiap bulan
modalnya dicicil dan kalau usaha itu bangkrut, A tetap meminta modalnya tetap dikembalikan utuh, apakah ini
benar dan sesuai syar'i?.
Jawaban:
Dari bentuk
pertanyaan menunjukan bahwa sebelum dijalankannya usaha atau kerja sama sudah
ada persyaratan, bila persyaratan itu ada maka keduanya berjalan sesuai
kesepakatan yang dipersyaratkan, si B berkewajiban untuk menunaikan apa yang
dipersyaratkan oleh si A selama persyarat tersebut halal (boleh):
«وَالمُسْلِمُونَ
عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»
"Dan
orang-orang Islam di atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat mengharomkan
yang halal atau menghalalkan yang harom". Diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan At-Tirmidziy, dan ini adalah lafadz At-Tirmidziy, dan beliau berkata: Ini
adalah hadits hasan shohih.
Bila ada hasil
atau keuntungan dari usaha tersebut maka si B memberikan atau mengembalikan
modal kepada si A dengan cara cicil, Alloh (تعالى) berkata:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} [المائدة: 1]
"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad (perjanjian-perjanian) kalian". (Al-Maidah: 1).
Dan kami tidak mengetahui ada bentuk kerja sama seperti itu, ya'ni bila bangkrut harus mengembalikan modalnya
secara utuh, di dalam Al-Qur'an telah Alloh jelaskan model kerja sama yang
syar'i, ketika ada orang sholih menawarkan modal kepada Musa (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
maka tidak ada ketentuan seperti itu:
{أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا
فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ} [القصص: 27]
"Kamu bekerja untukku delapan tahun dan jika
kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku
tidak hendak memberatkanmu". (Al-Qoshshosh: 27).
Ayat ini sebagai dalil tentang bolehnya bekerja sama atau berserikat
antara dua orang, yang satunya menanam modal berupa harta dan yang satunya lagi
dengan mengeluarkan tenaga.
Dengan kerja sama tersebut tentu sama-sama menanggung resiko, bila mendapatkan
hasil (ada keuntungan) maka keduanya sama-sama meni'matinnya, dan bila ada
kerugian maka keduanya sama-sama merasakannya.
Dan pada kisah tersebut tidak disebutkan kalau pekerjaan Musa (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) gagal atau rugi maka Musa (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) harus mengganti secara utuh.
Bila kerja sama tersebut sudah berjalan namun bangkrut, kemudian
setelah itu, si A meminta kepada si B untuk mengembalikan modalnya secara utuh
maka si A telah terjatuh ke dalam pelanggaran:
{وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ} [المائدة: 2]
"Dan janganlah kalian tolong menolong di atas
dosa dan pelanggaran". (Al-Maidah: 2).
Dan perbuatannya bukan dalam bentuk kerja sama dalam usaha akan tetapi
berbentuk memberi pinjaman dengan mengambil keuntungan dari pinjamannya, jika
seperti ini keadaannya maka dia masuk dalam kategori riba':
«كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا»
"Setiap pinjaman yang mengalirkan manfaat
maka dia adalah riba". Diriwayatkan oleh Al-Harits Ibnu Abi Usamah dari hadits Ali,
dengan sanad sangat dhoif, walaupun hadits ini dhoif namun dia memiliki syawahid
(penopang-penopang atau penguat-penguat) yaitu hadits Fadholah bin Ubaid
di dalam "Sunan Al-Baihaqiy" dan atsar Abdulloh bin Salam di
dalam "Ash-Shohih".
Pertanyaan:
Apa hukumnya
menuduhkan ke orang lain dengan tuduhan dusta? Karena kami mendengar bahwa ada orang-orang
yang mengatakan bahwa ustadz adalah mansus, ada lagi yang lain
mengatakan ustadz kesurupan jin, ustadz gila, ustadz goblok, ustadz pembuat
kerusakan dan berbagai tuduhan dusta dan jorok lainnya?.
Jawaban:
Tuduhan
seperti itu tidak lain, melainkan hanya suatu ujian hidup bagi kami, semoga itu
sebagai penghapus dosa-dosa kami, Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
"وَلَا
يَزَالُ الْمُؤْمِنُ يُصِيبُهُ الْبَلَاءُ".
"Dan
senantiasa bagi seorang mu'min akan ditimpakan bala'". Diriwayatkan
oleh Muslim dari Abu Huroiroh.
An-Nawawiy Rohimahulloh
berkata:
"قال
العلماء معنى الحديث أن المؤمن كثير الآلام في بدنه أو أهله أو ماله وذلك مكفر
لسيئاته ورافع لدرجاته".
"Berkata
para ulama: Ma'na hadits adalah sesungguhnya seorang mu'min banyak merasakan
ujian pada badannya, keluarganya dan hartanya, semua itu adalah penghapus
kejelekan-kelekannya dan pengangkat derajatnya".
Semoga dengan
tuduhan seperti itu, atau kezholiman yang lainnya, yang orang-orang timpakan
kepada kami, semoga akan memberikan manfaat kepada kami di dunia ini dan di akhirat
kelak.
Di dunia ini mereka
bisa menuduh, bisa berbuat zholim kepada kami kemudian mereka mendustakan
perbuatan itu semuanya atau mereka "lempar batu sembunyi tangan" atau
mencari pendukung untuk pembenaran tingkah laku mereka namun di akhirat nanti mereka
akan merasakan akibat perbuatan mereka.
Di dunia mulut
mereka bisa mengingkari atau berkelit dan berdusta namun di akhirat mereka akan
benar-benar terjepit:
{وَقَالُوا
لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي
أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
(21) وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا
أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ
كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ (22) وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ
أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ (23)} [فصلت: 21 - 23]
"Dan mereka berkata kepada kulit-kulit
mereka: "Mengapa kalian menjadi saksi terhadap kami?", kulit-kulit
mereka menjawab: "Alloh yang menjadikan kami berbicara dan Dia menjadikan segala
sesuatu (pula) berbicara, dan Dia-lah yang menciptakan kalian pada kali pertama
dan hanya kepada-Nya lah kalian dikembalikan". Kalian sekali-sekali tidak
dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran-pendengaran, penglihatan-penglihatan
dan kulit-kulit kalian bahkan kalian mengira bahwa Alloh tidak mengetahui
kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah sangkaan
kalian yang telah kalian sangka kepada Robb kalian, Dia telah membinasakan kalian,
maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi". (Fushilat: 21-23).
Tidak hanya kami sebagai insan yang penuh dosa yang mereka menzholimi
kami, kami dituduh gila, mansus atau kesurupan jin atau tuduhan dusta dan keji
lainnya namun orang yang mulia seperti para Nabi saja telah dizholimi oleh
kaum-kaum mereka, Alloh berkata:
{وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ (13) ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ
وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ (14)} [الدخان: 13 - 15]
"Dan sungguh telah datang kepada mereka
seorang Rosul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling darinya dan mereka
berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi
pula dia adalah seorang yang gila". (Ad-Dukhon: 13-15).
{كَذَلِكَ
مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ
مَجْنُونٌ} [الذاريات: 52]
"Demikianlah
tidak seorang Rosul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka,
melainkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang
gila". (Adz-Dzariyat: 52).
{كَذَّبَتْ
قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ وَازْدُجِرَ
(9) فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ (10)} [القمر: 9، 10]
"Sebelum
mereka, kaum Nuh telah mendustakan (pula), maka mereka mendustakan hamba Kami
(Nuh) dan mengatakan: "Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi
ancaman. Maka dia berdoa kepada Robbnya: "Bahwasanya aku ini adalah orang
yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku)".
(Al-Qomar: 9-10).
Dan sungguh kami telah tahu bahwa
sebenarnya yang membuat mereka benci kepada kami dikarenakan kami di atas
kebenaran, setiap kami berbuat maka mereka langsung meributkan dan
mempermasalahkan hingga sampai mereka berbuat dosa, dosa ditambah dosa, dosa di
atas kesalahan ditambah lagi dosa di atas kezholiman, mereka di atas kesalahan
dan kezholiman ditambah lagi mereka menuduhkan kepada kami dengan kesurupan,
mansus dan gila maka persis perbuatan mereka dengan orang-orang yang memusuhi
Rosululloh (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ):
{أَمْ يَقُولُونَ بِهِ جِنَّةٌ بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ
وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ} [المؤمنون: 70]
"Atau
(apakah patut) mereka berkata: "Padanya (Rosululloh) ada jin (penyakit
gila)", sebenarnya dia (Rosululloh) telah membawa kebenaran kepada mereka,
dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu".
(Al-Mu'minun: 70).
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ
أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، الْأَحَدُ اَلصَّمَدُ، الَّذِي لَمْ
يَلِدْ، وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، اللّهُمَّ مَنْ أرَادَ
بِنَا أوْ بِدَعْوَتِنَا سُوْءًا أوْ مَكْرًا فَاجْعَلْ كَيْدَهُ فِيْ نَحْرِهِ وَمَزِّقْهُ
كُلَّ ُممَزَّقٍ.
وصَلَّى
اللَّهُ على مُحَمَّد وَآلِهِ وَصَحْبِه وَسَلِّم.
والحمد
لله رب العالمين.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar