BAGAIMANA WANITA MENUNTUT ILMU?
Tanya
Jawab Bersama:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim
Al-Limboriy
Semoga Alloh mengampuninya, mengampuni kedua orang tuanya
dan mengampuni saudara-saudarinya
Maktabah
Abil 'Abbas Rohimahulloh
1434
Pertanyaan:
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
يا أبا أحمد
سددك الله!
Ana seorang akhwat tidak pergi ke masjid, tidak juga mengikuti ta'lim
di masjid. Sedang ana tetap ta'lim namun dengan cara rilay dari seorang teman
(ta'lim yang berasal dari Dammaj, ta'lim dari Abu Fairuz, juga sekarang
mengikuti ta'lim Asy-Syaikh Abdulloh Al-Iryaniy), juga ana belajar
melalui buku buku aqidah yang shohih, juga risalah-risalah dari Dammaj. Hal ini
menurut ana itu lebih baik.
Setahu ana yang seperti ini syar’y. Namun seorang akhwat mengatakan bahwa
pendapat ana ini hawa semata.
Manakah yang benar? Setelah dapat perkataan, bahwa ana mengikuti
hawa, ana jadi ragu. Mohon dijelaskan ilmunya. Apakah boleh ana
mempelajari buku aqidah yang shohih sendiri di rumah?.
Jawaban:
وعليكم السلام
ورحمة الله وبركاته
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Sudah sering kita singgung bahwa hukum asal bagi wanita adalah
menetap di rumah-rumah mereka, mereka ke masjid untuk mengikuti ta'lim dengan
seorang ustadz tentu juga keadaannya di balik hijab, ini sama bentuknya dengan
dia mendengarkan dari rumahnya rekaman, lewat radio atau lewat telpon atau yang
semisalnya.
Berbeda halnya kalau di masjid itu yang mengajar adalah sesama
akhwat, di tempat khusus bagi mereka, maka tentu ini boleh baginya untuk hadir,
karena ada beberapa bidang ilmu mengharuskannya untuk praktek langsung seperti
gerakan atau posisi ketika sholat, wudhu, juga yang berkaitan dengan ilmu
tajwid bagaimana makhroj huruf? dan ilmu faroidh atau yang semisalnya, semua
itu tentu membutuhkan praktek langsung dengan pengajarnya.
Adapun bila pengajarnya seorang ustadz maka afdhol (lebih
utama)nya dia mendengarkan dari rumahnya sendiri jika hal itu memungkinkan
seperti kalau pengeras suara sampai ke rumahnya atau lewat radio FM atau lewat
telpon atau lewat internet dan yang semisalnya, sebagaimana yang semisal ini pernah
dilakukan oleh para wanita sholihah di zaman Nabi (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), dari Ummu Hisyam bintu Haritsah,
dia berkata:
"لَقَدْ
كَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَاحِدًا سَنَتَيْنِ أَوْ سَنَةً وَبَعْضَ سَنَةٍ وَمَا أَخَذْتُ {ق، وَالْقُرْآنِ
الْمَجِيدِ}، إِلَّا عَلَى لِسَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا
خَطَبَ النَّاسَ".
"Dahulu dapur kami dan dapurnya Nabi (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) adalah satu, ini berlangsung selama
dua tahun atau setahun lebih, dan tidaklah aku mengambil (menghafal surat)
"Qoof dan Al-Qur'an yang mulia" melainkan dari lisan
Rosululloh (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) ketika beliau membacanya pada setiap
hari Jum'at di atas mimbar, ketika beliau berkhutbah".
Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Ashhabussunan kecuali At-Tirmidziy.
Atsar
ini sangat jelas menunjukan bahwa Ummu Hisyam Rodhiyallohu 'anha
mendengarkan dari luar masjid, bila ada yang menyatakan bahwa perbuatan ini
adalah mengikuti hawa maka dia telah keliru dan salah.
Dan
boleh bagi seseorang mempelajari buku aqidah dengan sendirian, dan kita sebagai
kaum muslimin memiliki kebutuhan mendesak untuk belajar, baik belajar sendiri
dengan banyak membaca, mengkaji dan membahas atau belajar dengan bimbingan dari
para pengajar.
Adapun
belajar dengan bimbingan ustadz atau pengajar, maka kita terkadang terbatas
waktunya, oleh karena itu apa yang telah kita dapatkan dari setiap ustadz, kita
terapkan sendiri dan kita kembangkan dengan belajar sendiri, bukan berarti
kemudian kita tinggalkan belajar dengan ustadz, tetap kita mengikuti pelajaran
dengan ustadz dan mengambil dasar-dasar ilmu darinya kemudian kita kembangkan
sendiri.
Walaupun
seandainya kita sudah mumpuni pada ilmu-ilmu dasar namun jangan kemudian
membuat kita merasa enggan untuk terus duduk bermajelis dengan orang yang lebih
berilmu dari kita, sungguh benar perkataan seseorang: "Mumpung ustadz kita
masih ada maka kita manfaatkan, kita ambil ilmunya, nanti kalau dia sudah mati
atau sudah sesat (menyimpang) Na'udzubillah maka kita akan tercegah
mengambil ilmu darinya".
Dengan
duduknya kita bersama orang yang lebih berilmu dari kita maka kita akan terus
mendapatkan faedah ilmiyyah darinya.
Maka
kami nasehatkan kepada saudari tersebut semoga Alloh menjaganya dan
memudahkan urusannya untuk rajin-rajin belajar, baik dengan belajar sendiri
dengan banyak membaca, mendengarkan kajian berupa rekaman atau yang semisalnya
atau dengan menghadiri majelis ilmu jika memungkinkan baginya, jika tidak
memungkinkan maka:
{لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا} [الطلاق: 7]
"Tidaklah Alloh membebani suatu jiwa melainkan sesuai
dengan apa yang diberikan-Nya". (Ath-Tholaq: 7).
Pertanyaan:
Apakah benar bahwa tabligh
akbar itu tidak ada dalam sunnah? Apakah acara tabliq akbar itu
menyelisihi syar’i atau tidak? Ini termasuk alasan ana tidak ke masjid?.
Jawaban:
Tabligh akbar hanyalah suatu ungkapan atau istilah orang
Indonesia, dan istilah ini sama dengan istilah atau bahasa keseharian, dan ini
boleh-boleh saja diucapkan, karena pelaksanaanya sama dengan pelaksanaan dauroh
atau muhadhoroh.
Jika seseorang melarang manusia untuk tidak hadir dalam kegiatan
tersebut dengan alasan karena menggunakan istilah "tabligh akbar" maka
dia telah keliru, bagaimana mereka mengingkari itu sedangkan Rosululloh (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) telah menyeru manusia dengan menggunakan
ungkapan:
«يَا صَبَاحَاهْ»
"Wahai pasukan bersiap
siagalah".
Padahal kalimat ini hanya digunakan oleh komandan perang yang
sedang mengomando prajuritnya, bagaimana bisa digunakan untuk berda'wah?, maka
tentu penggunaan "tabligh akbar" dan "ya shobahah"
adalah bertujuan untuk menarik simpati dan perhatian kepada manusia dengan itu
mereka penasaran untuk menghadirinya.
Ketika Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) menyeru
dengan istilah "ya shobahah":
"فَاجْتَمَعَتْ إِلَيْهِ قُرَيْشٌ،
قَالُوا: مَا لَكَ؟ قَالَ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ العَدُوَّ
يُصَبِّحُكُمْ أَوْ يُمَسِّيكُمْ، أَمَا كُنْتُمْ تُصَدِّقُونِي؟» قَالُوا: بَلَى،
قَالَ: «فَإِنِّي نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ» فَقَالَ أَبُو
لَهَبٍ: تَبًّا لَكَ، أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {تَبَّتْ يَدَا
أَبِي لَهَبٍ} [المسد: 1]".
"Maka berkumpullah kepadanya orang-orang
Qurosiy, mereka berkata: "Ada apa denganmu?", beliau berkata: "Apa
pendapat kalian kalau aku beritakan kepada kalian bahwasanya musuh akan
menyerang kalian, apakah kalian akan membenarkanku?", mereka berkata:
"Tentu", beliau berkata: "Sesungguhnya aku adalah pemberi
peringatan bagi kalian tentang azab yang pedih", Abu Lahab berkata:
"Celakah kamu, apakah karena sebab ini kamu mengumpulkan kami?", lalu
Alloh turunkan ayat: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab".
Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon dari Abdulloh bin Abbas.
Dan kami nasehatkan kepada para panitia penyelenggara acara
tersebut walaupun penggunaan istilah "tabgligh akbar" boleh-boleh
saja akan tetapi hendaknya mereka menggunakan istilah yang biasa orang-orang
Arob menggunakannya, seperti muhadhoroh, dauroh, khutbah, atau ijtima'
atau ta'lim sehingga dengan itu manusia bisa mengenal bahasa atau
istilah Arob dengan benar.
Pertanyaan:
Apa dibenarkan pendapat "Ana tidak akan belajar kepada ustadz
yang tidak mandiri" yaitu ustadz yang dibiayai penghidupannya oleh para
muhsinin?.
Jawaban:
Anggapan itu tidak bisa dibenarkan secara total, akan tetapi
hendaknya dilihat ustadznya!, karena adakalanya seorang ustadz diundang di
suatu tempat untuk berda'wah dengan jaminan dari para pengundang untuk biaya
hidupnya ditanggung oleh mereka, bila keadaanya seperti ini maka tidak
dibenarkan bagi seseorang kemudian mentahdzir darinya dengan alasan karena
tidak mandiri atau tidak bekerja.
Berbeda halnya kalau ustadznya itu tidak ada jaminan dari para
pendukungnya, yaitu dia membangun da'wah sendiri dan bersamaan dengan itu dia
tidak mau bekerja untuk membiayai hidupnya namun dia menuntut atau mengharapkan
dari mad'unya berupa pemberian iuran untuk biaya hidupnya atau dia
meminta-minta kepada orang lain maka bila keadaannya seperti ini maka benar bagi
seseorang untuk tidak belajar dengannya:
"إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ،
فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ".
"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka
lihatlah oleh kalian kepada siapa kalian mengambil agama kalian!".
Pertanyaan:
Suami ana tidak mengizinkan ta’lim ke masjid, tapi dia mengizinkannya
agar tholabul ilmi-nya dengan rilay Hp, atau baca-baca buku di rumah.
Ana mengikuti perintah suami. Apakah alasan ana tidak ke masjid itu syar’iy?, mohon
ilmunya.
Jawaban:
Jika bentuknya seperti yang telah kami sebutkan yaitu ke masjid
belajarnya dengan seorang ustadz yang tentunya di balik hijab maka sama
keadaannya dengan belajar lewat Hp, rekaman atau mendengarkan lewat radio, bila
seperti ini keadaannya maka afdhol (lebih utama)nya kamu mengikuti
perintah suamimu yaitu belajar di rumah.
Namun apabila pengajarnya adalah dari kalangan wanita yang dia
mengajar dengan sekaligus mempraktekkan langsung seperti gerakan atau posisi
ketika sholat, wudhu, juga yang berkaitan dengan ilmu tajwid bagaimana makhroj
huruf? dan ilmu faroidh atau yang semisalnya maka bila seperti ini keadaanya
boleh bagimu untuk ke masjid selama tidak ada unsur kema'siatan ketika
diperjalanan dan ketika di masjid.
Bila ta'lim itu bersama para wanita dan yang mengajar adalah
wanita maka afdhol-nya mereka adakan di rumah-rumah, hal ini sebagaimana
para pendahulu kita lakukan, yaitu mereka berbondong-bondong datang ke rumah Ummul
Mu'minin Ash-Shiddiqah bintu Ash-Shiddiq untuk belajar dan menanyakan
berbagai permasalahan agama, setelah selesai ta'lim atau selesai permasalahan
yang ditanyakan mereka kembali ke rumah masing-masing, namun bila mereka
mengadakannya di masjid khusus tempat wanita maka tidak mengapa, dan hukumnya
boleh-boleh saja sebagaimana telah kami jelaskan permasalahan ini dalam tulisan
kami yang lain.
Dan kami nasehatkan kepada para suami untuk mengizinkan
istri-istri mereka jika ingin ke masjid, baik dalam rangka sholat atau
menghadiri ta'lim bila keadaannya aman dari fitnah ketika di perjalanan atau
ketika di masjid, karena Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«إِذَا
اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا»
"Jika
seorang wanita diantara kalian meminta izin maka janganlah mencegahnya". Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dari hadits Salim bin Abdillah,
dari bapaknya Ibnu 'Umar.
Pertanyaan:
Ana tidak ta'lim karena tidak punya mahrom, dan masjidnya jauh.
Jawaban:
Jika seperti itu keadaannya maka kamu diberi udzur, dan kamu
mendapatkan pahala karena niatmu, akan tetapi hendaknya kamu tetap berusaha
sebagaimana yang telah kami sebutkan, baik dengan mengikuti ta'lim lewat
telpon, radio, rekaman atau yang semisalnya, dan hendaknya kamu tidak merasa
cukup dengan itu namun kamu banyak membaca, membahas dan mengkaji sendiri.
Pertanyaan:
Ana ingin mempersatukan dua orang bersahabat yang sedang bersengketa,
jadi ana ana tidak ta'lim, apakah alasan ana ini syar’i?.
Jawaban:
Tentu itu termasuk alasan syar'iy, Alloh (تعالى)
berkata:
{وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)} [العصر: 1 - 3]
"Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran". (Al-Ashr:
1-3).
Dan Alloh (تعالى) berkata:
{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ
إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا
عَظِيمًا} [النساء: 114]
"Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia, dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keridhoan Alloh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar". (An-Nisa': 114).
Dan untuk menyelesaikan persengkataan saudara-saudara kita tentu
tidak membutuhkan atau tidak menguras semua waktu kita, namun persengketaan itu
tentu memiliki waktu dan batasan waktu, jika sudah selesai dari persengketaan
atau di sela-sela ada waktu untuk ta'lim maka manfaatkan waktunya.
Demikian jawaban singkat ini, semoga Alloh memberi manfaat dengan
jawaban ini untuk kami, untuk kedua orang tua kami dan untuk siapa saja yang
menyebarkannya, mengambil faedah darinya dan menjaganya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar