TASAWWUL
TERMASUK DOSA BESAR
Ditulis oleh:
Abu Ziyad Syu'aib bin
Ishaq Al-Johory
-semoga
Alloh memberi kepadanya ilmu yang bermanfaat-
Disertai
dengan Tanya Jawab Bersama Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy tentang
Hukum-hukum Seputar Wanita
assaabiquunalawwaluuna.blogspot.com
Maktabah ASSABIQIINAL AWWALIIN
1434
Pertanyaan:
بسم الله
الرحمن الرحيم
Pertanyaan: Tasawwul itu harom, bagaimana dengan orang yang
bersedekah kepada orang yang meminta untuk pembinaan masjid? Jika jawabannya boleh,
apakah dia tidak termasuk orang yang ta`awun (bantu) pada perkara yang
dilarang?.
Abu Ziyad -semoga Allah menjaganya- menjawab:
الحمد لله و
الصلاة و السلام على رسول الله وعلى آله وصحبه و سلَّم تسليماً مزيداً.
أمَّا بعد:
Tasawwul adalah harom, dan dia
termasuk sebesar-besarnya dosa. Orang yang bertasawwul akan mendapatkan azab di
dunia atau di akhirat kelak, dari Hamzah bin Abdullah bin Umar,
bahwasanya beliau telah mendengar ayahnya berkata: Rosululloh (صلى
الله عليه وسلّم) berkata:
«مَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ
فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ»
"Senantiasa
seseorang meminta-minta hingga hari kiamat dan dia tidak ada di mukanya sekumpal
daging pun". Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy.
Hadits ini menunjukkan bahwa
tasawwul adalah termasuk sebesar-besarnya dosa, dan perkara ini adalah perbuatan
yang terhina dalam agama Islam ini, kerana demikian itu adalah memakan duit saudara
kaum muslimin dengan cara yang buruk dan zholim.
Banyak lagi dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa tasawwul adalah perkara yang sangat besar dosanya seperti telah
disebutkan dalam hadits Mughirah bin Syu`bah, Abu Huroiroh Abdurrohaman
bin Shokhr, dan Sa`d bin Abi Waqqosh Rodhiyallohu`anhum.
Kalau ingin lagi rincian, lihatlah
tafsir ayat pada Surat Al-Baqoroh ayat: 273, dan di “Shohihul Bukhariy”
pada "Kitabuz Zakat", bab ke 51, 52 dan ke 53).
Dan ma'na tasawwul
adalah meminta harta orang lain dengan cara yang tidak disyari`atkan.
Adapun memberi sumbangan kepada
orang yang datang meminta kita, untuk pembinaan atau pembangunan masjid maka
hukum asalnya adalah kita boleh memberinya jika kita memiliki, bila kita tidak
memliki maka kita menghimbau saudara atau teman kita untuk memberi dan ini
termasuk memberi syafa'at.
Dari Abu Burdah bin Abi
Musa dari Ayahnya Rodhiyallohu `anhu, beliau berkata:
"كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَهُ السَّائِلُ أَوْ
طُلِبَتْ إِلَيْهِ حَاجَةٌ قَالَ: «اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا وَيَقْضِي اللَّهُ عَلَى لِسَانِ
نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ»".
"Dahulu Rosululloh (صلى
الله عليه وسلّم), jika seseorang datang kepadanya meminta atau diminta sesuatu
kepadanya, beliau berkata: "Berilah syafaat niscaya kalian akan diberi
pahala. Dan Alloh yang menentukan di atas lisan Nabi-Nya (صلى الله عليه وسلّم) apa
yang Dia hendaki". Diriwayatkan
oleh Al-Bukhariy.
Dan ini masuk dalam keumuman perkataan Alloh (تعالى):
{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى}
[المائدة: 2]
"Dan tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa". (Al-Maidah: 2).
Adapun kalau kita ketahui
secara jelas bahwa yang meminta tersebut
untuk pembangunan atau pembinaan masjid yang di bangun di atas kuburan
atau masjid untuk bid'ah atau masjid diadakan kema'siatan di dalamnya maka
tidak boleh bagi kita untuk memberi sumbangan, karena dia termasuk tolong
menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, Alloh (تعالى) berkata:
{وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ} [المائدة: 2]
"Dan jangan kalian tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kalian kepada Alloh, sesungguhnya
Alloh amat berat siksa-Nya". (Al-Maidah: 2).
Dan jauhilah harta
kalian dari memberi sedekah kepada orang yang tidak berhak diberi, seperti memberi
sumbangan untuk membangunkan masjid ahlul bid`ah, karena pemberian itu adalah
harom dan dia termasuk membantu dalam perbuatan dosa.
Demikian jawaban
kami, Walhamdulillah.
Pertanyaan:
بسم الله
الرحمن الرحيم
Bolehkah seorang akhwat
menghadiri majelis ilmu syar'i tanpa di temani mahromnya di masjid Ahlussunnah
yang dekat dari rumahnya yang hanya melewati tiga desa dengan naik angkutan
umum, dimana materi yang di bahas di masjid tersebut adalah materi aqidah yang
wajib di ketahui kaum muslimin?, Tetapi seperti yang telah kita ketahui
bersama, jasa angkutan umum di negara kita tidaklah aman dari fitnah kerena di
dalamnya terdapat ikhtilath.
Abu Ahmad
Muhammad bin Salim menjawab:
بِسم الله الرَّحمنِ
الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Bila disediakan tempat
khusus atau disebut masjid (tempat sholat) khusus untuk para wanita maka
seperti ini boleh bagi para wanita untuk hadir, baik untuk sholat atau pun
untuk mendengarkan ta'lim, dan Al-Bukhoriy semoga Alloh merahmatinya
membuat bab khusus tentang masalah ini di dalam "Shohih"nya,
beliau berkata:
"بَابُ
اسْتِئْذَانِ المَرْأَةِ زَوْجَهَا بِالخُرُوجِ إِلَى المَسْجِدِ"
"Bab
minta izinnya wanita kepada suaminya untuk keluar ke masjid".
Setelah membuat bab
tersebut, beliau berkata: "Telah menceritakan kepada kami Musaddad, beliau
berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zuroi', dari Ma'mar, dari
Az-Zuhriy, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya Ibnu 'Umar,
dari Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), beliau
berkata:
«إِذَا
اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا»
"Jika
seorang wanita diantara kalian meminta izin maka janganlah mencegahnya".
Dan Al-Bukhoriy semoga
Alloh merahmatinya meriwayatkan dalam suatu riwayat dari Salim, dari bapaknya
Abdulloh bin Umar Ibnil Khoththob, dari Nabi (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), beliau berkata:
«إِذَا
اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا»
"Jika
salah seorang wanita dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah
mencegah (melarang)nya".
Pada hadits tersebut keadaannya
dalam satu kota yaitu di Madinah, masjid berdekatan dengan rumah-rumah mereka,
mereka ke masjid tidak membutuhkan kendaraan, adapun kalau seperti yang
disebutkan oleh penanya maka hendaknya dia (si wanita) tetap di rumahnya, karena
sebab sebagaimana yang disebutkan adalah tidak aman dari fitnah baik ikhtilath
atau yang semisalnya.
Adapun kajian aqidah
yang perlu untuk diketahui oleh setiap muslim maka cukup baginya memesan
rekaman atau dia mendengarkan lewat telpon, sampaikan ke temannya atau ke
pengurus/panitia kajian lalu dihubungkan ke meja ustadz atau cara mudah lainnya
yang bisa dia tempuh dengan tanpa harus berbuat dosa dan ma'siat.
Pertanyaan:
Kami
mendengar bahwa ada sebagian orang mengatakan bahwa para wanita ta'limnya di
rumah-rumah adapun kalau ta'limnya di masjid maka ini tidak ada salafnya, apakah
benar demikian? Apakah para wanita yang mengikuti ta'lim di masjid khusus
tempat wanita berdosa dan termasuk melakukan bid'ah?
Abu Ahmad
Muhammad bin Salim menjawab:
Hadits yang barusan kami
sebutkan tentang hadirnya wanita di masjid itu menunjukkan tentang bolehnya sekaligus
mendengarkan ta'lim atau mengikuti pengajian di masjid dengan syarat jika
masjid tersebut ada tempat khusus untuk para wanita, yang jauh dari fitnah dan iktilath,
lebih diperjelas tentang kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon
dan beberapa Ashhabussunan dari hadits Sahl bin Sa'd ketika Rosululloh (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) memberikan nasehat kepada para wanita yang menghadiri
sholat jama'ah:
«لاَ
تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا»
"Janganlah
kalian mengangkat kepala-kepala kalian sampai para lelaki benar-benar dalam
keadaan duduk".
Dan ini jelas sebagai bentuk
pengajaran Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) kepada para wanita di
masjid, orang yang berakal tentu tidak akan mengingkari ini.
Adapun yang menjadi titik
perselisihan adalah kalau terjadi penyelisihan syari'at di dalamnya seperti ikhtilath,
saling memandang antara pria dan wanita, maka bila seperti ini keadaannya tidak
diperkenankan bagi para wanita untuk menghadiri ta'lim di masjid dan hendaknya
mereka menghadiri majelis ta'lim di rumah-rumah bersama para wanita, dan ini afdhol
(lebih utama).
Dan yang termasuk dalam
kategori bid'ah adalah bila para wanita berkumpul di masjid khusus atau di
asrama khusus para wanita, mereka berdiam (menginap) di tempat-tempat tersebut
maka ini benar bid'ah dan tidak ada salafush sholih-nya melainkan hanya
salaf dari wanita-wanita Nasroni yang disebut dengan para biarawati.
Pertanyaan:
Ustad, kami mempunyai isykal,
di dekat tempat tinggal kami terdapat masjid Ahlussunnah yang bisa di tempuh
dalam waktu 10 menit dengan mengendarai kendaraan bermotor, kami biasa diantar
mahrom untuk sholat 'ied di lapangan masjid tersebut, namun, terkadang mahrom
kami tidak bisa menjemput sehingga terpaksa pulang sendiri dengan naik angkot
yang ikhtilath, dengan sebab tersebut, bolehkah kami sholat ied di
masjid yang paling dekat dengan rumah bersama orang 'awwam, yang pelaksanaanya
di jalan raya di mana jama'ah wanita berjejer dengan jama'ah laki-laki dan
tidak ada pembatasnya hanya berjarak 1 meter, apakah shalat kami sah?
Atau bolehkah kami mengendarai sepeda ontel menuju masjid Ahlussunnah
agar kami dapat melaksanakan shalat ied sesuai syari'at dan pulang tanpa takut ikhtilath?
Akan tetapi sampai kepada kami fatwa tentang larangan wanita berkendaraan tanpa
mahrom. Maka tempat manakah yang harus kami pilih yang lebih aman dari fitnah? mohon
nasihatnya. Jazaakumullohu khoiro.
Abu Ahmad
Muhammad bin Salim menjawab:
Jika mahrom kalian bisa
mengantar dan bisa menjemput maka itu lebih baik dan afdhol bagi kalian,
akan tetapi kalau seperti itu keadaannya maka hendaknya kalian memilih untuk
sholat bersama kaum muslimin walaupun mereka awwam.
Adapun mengenai pengaturan
shof yaitu jama'ah wanita berjejer dengan jama'ah laki-laki maka ini
menyelisihi sunnah, bila seperti ini keadaanya maka kalian sebagai para wanita
salafiyyah yang telah mengetahui sunnah untuk membuat shof tersendiri di
belakang shof para lelaki, kalian sebagai para wanita bertugas mengajak para
wanita lain dari kaum muslimah untuk membuat shof di belakang jama'ah kaum
lelaki, karena ini adalah sunnah, dan dalilnya adalah hadits yang telah kami
sebutkan pada jawaban sebelumnya, yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon dan
beberapa Ashhabus Sunan dari hadits Sahl bin Sa'd ketika Rosululloh (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) memberikan nasehat kepada para wanita yang menghadiri
sholat jama'ah:
«لاَ
تَرْفَعْنَ رُءُوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا»
"Janganlah
kalian mengangkat kepala-kepala kalian sampai para lelaki benar-benar dalam
keadaan duduk".
Difahami dari hadits ini
bahwa para wanita berada di belakang shof para lelaki, kalau seandainya mereka
berjejer maka tentu Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tidak mengkhawatirkan
mereka akan melihat aurat-aurat para lelaki yang masih sujud.
Tentang masalah ini,
Al-Bukhoriy membuat bab khusus di dalam "Ash-Shohih":
"بَابُ
صَلاَةِ النِّسَاءِ خَلْفَ الرِّجَالِ".
"Bab
sholatnya para wanita di belakang para lelaki".
Setelah beliau membawakan
bab tersebut beliau meriwayatkan hadits dari Yahya bin Quza'ah, dari Ibrohim
bin Sa'd, dari Az-Zuhriy, dari Hind Bintil Harits, dari Ummu Salamah Rodhiyallohu
'anha, dia berkata:
"كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ
حِينَ يَقْضِي تَسْلِيمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيرًا قَبْلَ أَنْ
يَقُومَ".
"Dahulu Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ) jika beliau selesai dari salamnya maka
berdirilah para wanita, dan beliau berdiam sejenak di tempat duduknya (dengan
tidak mengahadapkan wajahnya ke belakang) sebelum beliau berdiri".
Seorang
perowi hadits berkata:
"نَرَى
- وَاللَّهُ أَعْلَمُ - أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ، قَبْلَ
أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجَالِ".
"Kami berpendapat –Wallohu a'lam- bahwasanya yang
demikian itu supaya para wanita berpaling (pergi) sebelum dilihat oleh para
lelaki".
Ini
dalam proses pengaturan jama'ah yang berjumlah banyak, yang berjumlah sedikit
saja wanita tetap posisi jama'ahnya di belakang, Al-Bukhoriy berkata:
"Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, beliau berkata: Telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah, dari Ishaq bin Abdillah, dari Anas
bin Malik semoga Alloh meridhoinya, beliau berkata:
"صَلَّى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ، فَقُمْتُ
وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا".
"Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sholat di rumah Ummu Sulaim, lalu aku dan seorang anak
yatim di belakangnya dan Ummu Sulaim di belakang kami".
Dengan
berpijak kepada dalil-dalil tersebut maka kami nasehatkan kepada para wanita
juga kepada para panitia penyelenggara sholat 'Ied untuk menyiapkan shof para
wanita di belakang shof para lelaki.
Demikian
jawaban ringkas kami, semoga bermanfaat.
وصَلَّى
اللَّهُ على مُحَمَّد وَآلِهِ وَصَحْبِه وَسَلِّم.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar