Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Nomor Pertama Dalam Memutar Balikkan Realita

TANYA: Bismillah, Ana mau bertanya sama Abu Ahmad Hafidzahullah… Ada seorang ikhwan bertanya kepada Abu Arqom tentang TN, pembicaraannya, ana hanya mengambil apa yang penting dari pembicaraannya tersebut. Abu Arqom mengatakan bahwa pondok bagi laki-laki tidak ada salafnya?. Pondok/markiz juga tidak ada salafnya?. Dia mengatakan bahwa tidak setiap dalil ada salafnya, dan tidak setiap salaf ada dalilnya?. Wanita yang mondok dia samakan sebagai seorang yang safar… Apakah benar pemahaman seperti ini.  Mohon penjelasannya ustadz… semoga Allah memberikan keistiqomahan sama antum. Jazakumullahikhoiro. (Pertanyaan dari Jambi). 


JAWAB:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده
 أما بعد
Dari apa yang dipaparkan oleh penanya -semoga Alloh memberikan hidayah kepada kami dan kepadanya- nampak jelas kalau Abu Arqom Mushlih Magetan adalah terlalu cerdas sampai dengan keterlaluan cerdasnya membuatnya bingung dan ragu dalam menetapkan suatu perkara, teringatkan kami dengan apa yang dikatakan oleh orang Ambon: “Paling banyak makan ikan sampai bodoh”, ya’ni dengan sangat banyaknya ikan yang dia makan membuatnya tidak bisa menghingga berapakah ikan yang sudah dia makan?.
Bila kita melihat kepada ustadz besar ini, dengan terlalu pintarnya sehingga membuat dia bingung tentang masalah salaf, akhirnya dia pun kaburkan dan rubah realita yang ada, Allohul Musta’an.
Perkataannya “Tidak ada salafnya” maka perlu untuk kita sebutkan apakah yang dimaksud dengan salaf itu?.
Para ulama telah menjelaskan tentang defenisi salaf, dan defenisi yang paling bagus adalah apa yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Bazz Rohimahulloh:
إن السلف هم أهل القرون المفضلة فمن اقتفى أثرهم وسار على منهجهم فهو سلفي، ومن خالفهم في ذلك فهو من الخلف
“Sesungguhnya salaf mereka adalah orang-orang yang hidup pada generasi yang utama (para shohabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in) dan siapa saja yang mengikuti atsar mereka dan berjalan di atas manhaj mereka maka dia adalah salafiy, dan barang siapa yang menyelisihi mereka pada demikian itu maka dia termasuk dari kholaf”.
Dan Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin Rohimahulloh katakan pula:
حتى المتأخر إلى يوم القيامة إذا كان على طريقة النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه فإنه سلفي
“Sekalipun orang yang hidup belakangan sampai hari kiamat, jika keberadaannya di atas metode Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shohabatnya maka sesungguhnya dia adalah salafiy”.
Dari keterangan tersebut dapat kita ketahui bahwa perkataan Abu Arqom ternyata sangat tidak bermutu “bahwa pondok bagi laki-laki tidak ada salafnya”, bahkan ini menunjukan kejahatan dia terhadap salaf, kita akan sebutkan dari zaman ke zaman, diantaranya:
* Al-Imam Al-Wadi’iy Rohimahulloh, tidak diragukan lagi bahwa beliau adalah salaf bagi kita, karena beliau telah mendahului kita (telah meninggal dunia) dalam keadaan di atas manhaj salaf, dan beliau memiliki pondok laki-laki.
* Al-Imam Malik bin Anas Rohimahulloh memiliki markiz, dan disebutkan ada salah seorang muridnya datang ke markiznya dengan meninggalkan istrinya yang sedang hamil, sepuluh tahun lebih kemudian datang putranya menyusulnya di markiz Al-Imam Malik bin Anas.
Dua Imam ini cukup sebagai sampel bagi yang mau mengambil pelajaran, dan perlu diketahui bahwasanya ini memiliki ushul dari zaman Rosulillah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, jangan mengira bahwa para lelaki yang tinggal di teras masjid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam semua mereka tidak memiliki rumah?!, bahkan ada dari mereka memiliki rumah namun lebih senang di masjid, lihat pada diri Abu Huroiroh, beliau termasuk salah seorang dari mereka, beliau memiliki rumah bersama ibunya, dan Abu Huroiroh pernah meminta kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk mendoakan ibunya supaya memeluk Islam ketika kembali ke rumahnya beliau mendapati ibunya sedang mandi di rumahnya karena sudah memeluk Islam, bersamaan dengan itu beliau lebih senang di masjid bersama para shohabatnya Ahlushsufah, sampai beliau katakan sendiri:
“وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لَا يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لَا يَحْفَظُونَ”.
“Dan sesungguhnya Abu Huroiroh keberadaannya selalu menyertai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan kekosongan perutnya, beliau menghadiri majelis Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak dihadiri oleh mereka (para shohabat Muhajirin dan Anshor), dan beliau menghafal (apa yang disampaikan oleh Rosululloh) yang tidak dihafal oleh mereka (para shohabat Muhajirin dan Anshor)”.
Tidaklah anda akan dapati ada dari wanita salafiyyah melakukan rihlah untuk menuntut ilmu lalu tidur di masjid atau tidur disembarangan tempat yang bukan rumahnya, karena lantaran ingin mendapatkan ilmu bermudah-mudahan dalam perkara ini, tidak akan anda dapati hal ini melainkan anda akan dapati dari wanita dari kaderan Abu Hazim dan Abu Arqom.
Adapun para lelaki maka mudah bagi mereka untuk rihlah, datang ke ulama, mereka bisa tidur di masjid, bisa di asrama, bisa di tempat jaga dan bahkan di bawah pohon pun mereka bisa, para salaf telah melakukan hal ini, bahkan lantaran ingin mendapatkan ilmu ada dari mereka menunggu di depan rumah syaikhnya, maka tidak bisa keadaan seperti ini disamakan dengan para wanita.
Adapun perkataan Abu Arqom “pondok/markiz juga tidak ada salafnya” maka perlu kita ketahui bagaimana gambaran pondok itu menurut dia, karena istilah “pondok” atau dalam bahasa Arob “markiz” ini bisa dipakai pada tempat perkumpulan belajar, sama saja di masjid atau pun di selainnya, seseorang dari ulama ia hanya memiliki masjid kecil lalu datang para thullab belajar kepadanya, dan thullab tersebut menginap di masjid, tidur dan makan di masjid dan kesehariannya di masjid maka masjid dengan keadaan seperti ini sudah cukup untuk dikatakan sebagai markiz.
Tidak diragukan lagi ini ada di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, juga di zaman ini ada, markiz As-Sunnah Sa’awan Sana’a itu hanya satu bangunan masjid dengan berlantai dua, para thullab belajar dan tidur serta beraktivitas kesehariannya di dalamnya, ini masuk kategori markiz.
Adapun anggapan Abu Arqom bahwa “wanita yang mondok dia samakan sebagai seorang yang safar” maka kita katakan bahwa Abu Arqom sendiri adalah orang yang safar, bahkan kita semua ini adalah orang-orang yang sedang safar sebagaimana yang disebutkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, bersamaan dengan itu Alloh Ta’ala perintahkan:
(وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ)
Dan persiapkanlah perbekalan oleh kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kalian kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal”.
Kalau wanita ingin safar maka hendaknya dia persiapkan bekalnya, begitu pula kita semua diperintahkan mempersiapkan bekal, terutama bekal taqwa ini, kalau seseorang tidak memiliki bekal ini maka tentu di dalam safarnya dia akan bergampang-gampangan, tidak peduli lagi benar perbuatannya ataukah salah?.
Adapun perkataannya “bahwa tidak setiap dalil ada salafnya” maka ini menampakan kalau dia ini memorinya sedang kacau, mungkin karena sebab terlalu cerdasnya dia.
Dia (Abu Arqom) katakan seperti itu, terus dalil-dalil dari mana dia dapatkan?, kita mengetahui dalil baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah terus dari mana?, apakah Abu Arqom mendapatkan dalil dari kholaf atau dari salaf atau dia mendapatkan dalil dari hasil memasang roqm (nomor atau angka) seperti para pemain kartu?.
Alhamdulillah kita sebagai Ahlussunnah memperoleh dalil melalui para shohabat, dengan itu kita dituntut untuk senantiasa mempelajari dalil sehingga kita berkata dan berbuat berdasarkan dalil, Asy-Syaikh Al-Albaniy Rohimahulloh mengatakan:
وليكون المرء على منهج الصحابة، لهذا يطلب العلم بالكتاب والسنة
“Dan hendaknya keberadaan seseorang adalah di atas manhaj para shohabat, oleh karena ini dia hendaklah menuntut ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah”.
Demikian sifat Ahlussunnah, memulai dulu dengan dalil, Al-Imam Al-Bukhoriy Rohimahulloh membuat bab khusus di dalam “Shohih”nya:
باب العلم قبل القول والعمل
“Bab berilmu sebelum berkata dan beramal”.
Berbeda dengan Abu Hazim Muhsin dan adiknya Abu Arqom Mushlih yang telah memberi fatwa tersebut, meyakini dan berbuat dulu, berkaitan dengan dalilnya belakangan, maka tidak heran muncul anggapan batil seperti itu, sungguh benar apa yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syathibiy Rohimahulloh tentang para pengekor hawa nafsu:
قدموا أهواءهم واعتمدوا على آرائهم، ثم جعلوا الأدلة الشرعية منظورا فيها من وراء ذلك
“Mereka mendahulukan hawa-hawa nafsu mereka, dan mereka bersandar kepada pendapat-pendapat mereka, kemudian mereka menjadikan dalil-dalil syar’i sebagai perspektif padanya dari belakang demikian itu”.
Dan Al-Imam Asy-Syathibiy Rohimahulloh berkata pula:
المبتدع جعل الهوى أول مطالبه، وأخذ الأدلة بالتبع
“Mubtadi’ adalah dia menjadikan hawa nafsu sebagai awal pengklaiman dan memgambil dalil-dalil sebagai suksesi”.
Adapun perkataannya “dan tidak setiap salaf ada dalilnya” maka dengan pengertian salaf yang kami paparkan itu sudah cukup untuk menangggapi kebingungan Abu Arqom ini, karena sifat salaf adalah berpegang kepada dalil, yang berpendapat dan berbuat dari kalangan mereka dengan tanpa memiliki dalil maka perbuatan dan pendapat mereka adalah tidak boleh diikuti, karena Alloh Ta’ala telah katakan:
(وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ)
“Dan apa saja yang Ar-Rosul datangkan kepada kalian maka terimalah oleh kalian, dan apa saja yang beliau larang kalian darinya maka tinggalkannya, dan bertaqwalah kalian kepada Alloh”.
Dan ini termasuk dari sifat utama bagi Ahlussunnah, yaitu menerima dalil dari para salaf, Al-Imam Ibnu Hazm Rohimahulloh mengatakan:
وأهل السنة الذين هم أهل الحق ومن عداهم فأهل البدعة فإنهم الصحابة رضي الله عنهم، وكل من سلك نهجهم من خيار التابعين رحمة الله عليهم ثم أصحاب الحديث ومن اتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى يومنا هذا ومن اقتدى بهم من العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم
“Dan Ahlussunnah yang kita menyebutkan mereka Ahlulhaq dan selain mereka adalah ahlulbid’ah, karena sesungguhnya Ahlulhaq adalah para shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum, dan setiap orang yang menempuh prosedur mereka dari orang-orang pilihan para tabi’in Rohmatullohi ‘Alaihim kemudian para pengikut hadits dan orang yang mengikuti mereka dari para fuqoha dari generasi ke generasi sampai pada hari kita ini, dan siapa saja yang meneladani mereka dari kalangan awamm di bagian timur dunia dan bagian baratnya Rohmatullohi ‘Alaihim”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afahullohu (5/4/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar