MENTAATI KEDUA ORANG TUA DENGAN SENANTIASA MENTAUHIDKAN ALLOH
Edisi: 14/Jum’at/2/Robiuts Tsaniy/1436.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله، وأشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا عبد الله ورسوله
:أما بعد
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata:
(وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا)
“Dan Robbmu telah mewajibkan supaya kalian tidak menyembah kecuali Dia, dan kepada kedua orang tua berbuatlah dengan sebaik-baiknya, jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut maka janganlah sekali-kali kamu berkata kepada keduanya dengan perkataan “ah”, dan janganlah kamu membantah keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia”.
Pada ayat tersebut Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi setiap orang untuk mentaati kedua orang tua, bahkan Dia gandengkan kewajiban tersebut setelah kewajiban mentauhidkan-Nya.
Mentauhidkan Alloh ‘Azza wa Jalla adalah kewajiban secara mutlak, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia, adapun mentaati kedua orang tua maka dia adalah kewajiban yang tidak mutlak, jika melakukan kewajiban ini mengakibatkan penyelisihan terhadap hak-hak Alloh atau pelanggaran terhadap batasan-batasan yang telah Alloh tetapkan maka tidak boleh untuk dilakukan, Alloh ‘Azza wa Jalla berkata:
(وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ)
“Dan Kami telah mewajibkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku terhadap apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu mentaati keduanya, hanya kepada-Ku tempat kembali kalian, dan Aku akan kabarkan terhadap apa yang kalian kerjakan”.
Bukan berarti kalau keduanya memerintahkan kita kepada kesyirikan atau kebid’ahan atau kema’siatan kemudian kita lari dari keduanya atau kita langsung berlepas diri dari keduanya dan tidak mau lagi berhubungan lagi dengan keduanya, namun kita diperintahkan oleh Alloh Ta’ala untuk tetap berbakti kepada keduanya dalam perkara kebaikan, Alloh Ta’ala berkata:
(وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ)
“Dan jika keduanya memaksamu supaya kamu tidak menyekutukan-Ku dengan apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu mentaati keduanya, dan pergaulilah keduanya dengan baik, dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, dan hanya kepada-Ku tempat kembali kalian, dan Aku akan kabarkan terhadap apa yang kalian kerjakan”.
Al-Imam Al-Qurthubiy Rohimahulloh mengatakan:
لا تشرك بالله ولا تطع في الشرك والديك فإن الله وصى بهما في طاعتهما مما لا يكن شركا ومعصية
“Janganlah kamu berbuat syirik kepada Alloh, dan janganlah kamu mentaati kedua nya dalam kesyirikan, karena sesungguhnya Alloh mewasiatkan terhadap keduanya dalam mentaati keduanya dari apa-apa yang keberadaannya bukan suatu kesyirikan dan bukan pula kema’siatan”.
Al-Imam Al-Bukhoriy Rohimahulloh telah membuat bab khusus di dalam kitabnya “Al-Adabul Mufrod”:
باب يبر والدينة ما لم يكن معصية
“Bab mentaati kedua orang tua selama ketaatan tersebut keberadaannya bukan ma’siat”.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق».
“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam mema’siati Al-Kholiq”.
TANYA: Apakah ana berdosa bila menuntut ilmu tanpa keridhaan ibu bapak ana?.
JAWAB: Para ulama telah membuatkan rincian, mereka menjelaskan:
إن لم يحتَجْ له أبواه فله أن يطلب العلم
“Jika ibu bapaknya tidak membutuhkannya maka baginya untuk menuntut ilmu”.
Bila kita melihat kepada orang tua di zaman ini maka kita dapati mereka memiliki banyak anak-anak, ada yang sudah menjadi pegawai negri, aparat negara dan pengusaha namun ketika ada dari salah seorang anak mereka ingin menuntut ilmu agama maka mereka melarangnya, dengan alasan bagaimana masa depannya?, atau bahkan ada dari kalangan masyarakat mencegah, bila keadaannya seperti ini maka tidak boleh bagi para anak untuk mentaati kedua orang tua mereka dan masyarakat mereka, para anak tidak berdosa bila tidak mentaati kedua orang tua mereka dalam masalah ini, bahkan mereka berkewajiban untuk menuntut ilmu agama, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«طلب العلم فريضة على كل مسلم»
“Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim”. Hadits hasan dengan penguat-penguat dan pendukung-pendukung lainnya, Ibnu Abdil Barr telah menyebutkannya di dalam “Jami’u Bayanil ‘Ilmi Wafadhlih”.
Al-Imam Al-Wadi’iy Rohimahulloh mengatakan:
المجتمع لا يساعد على الخير، المدرسة أيضا لا تساعد على الخير، الأسرة أيضا لا تساعد على الخير، ولو أطعنا أسرنا أو أقرباءنا ما طلبنا العلم، ينبغى أن تغمض وتقدم على طلب العلم
“Masyarakat tidaklah mendukung kepada kebaikan, sekolah juga tidak mendukung kepada kebaikan, keluarga juga tidak mendukung kepada kebaikan, dan kalaulah kita mentaati keluarga kita dan kerabat-kerabat kita maka kita tidak akan menuntut ilmu, selayaknya bagimu menutup sebelah mata dan kamu mengedepankan menuntut ilmu”.
Berbeda halnya kalau kedua orang tuamu benar-benar membutuhkanmu, keduanya memiliki anak-anak yang banyak, namun semuanya sibuk dengan dunia dan durhaka kepada kedua orang tuamu maka wajib bagimu berbakti kepada keduanya dalam perkara kebaikan, tidak dibenarkan bagimu berusaha mendalam-dalami ilmu yang selain diwajibkan bagimu dengan cara menterlantarkan kedua orang tuamu, Syaikhuna An-Nashihul Amin -‘Afanallohu wa Iyyah- mengatakan tentang orang yang ingin menuntut ilmu namun masalahnya dengan kedua orang tua:
وإن كان يطلب مزيدًا على العلم المفروض الذي يعرف كيف يعبد الله به؛ فطاعة الوالدين مقدمة، إلا إذا علم أنهما يشغلانه بغير حاجتهما في شيء من أمور الدنيا، فطلبه للعلم بغير إذنهما أولى
“Jika keberadaannya menuntut ilmu adalah tambahan atas ilmu yang diwajibkan yang dia mengetahui bagaimana beribadah kepada Alloh dengannya, maka mentaati kedua orang tua adalah dikedepankan, kecuali jika diketahui bahwasanya keduanya akan menyibukannya dengan tanpa kebutuhan keduanya dari sesuatu pada perkara-perkara dunia, maka menuntut ilmu dengan tanpa izin keduanya adalah lebih utama”.
TANYA: Ustadz berikan penjelasan kepada kami bagaimana hukum menggunakan nama kunyah. Disyari’atkannya dan tuntunan memilih nama-namanya. Jazakumullahukhoiro.
JAWAB: Nama kuniyah adalah nama yang diawali dengan “abu” bagi pria, dan “ummu” bagi wanita.
Penggunaan kuniyyah ini tidak hanya bagi mereka yang memiliki anak, namun yang belum memiliki anak atau bahkan anak kecil sekalipun boleh menggunakan kuniyah, penggunaan kuniyah ini boleh diambil dari nama anak sendiri atau pun nama yang bukan nama anak sendiri.
Menggunakan kuniyah ini merupakan sunnah dari sunnah-sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menggunakan kuniyah Abul Qosim, nama putra pertama beliau dari istrinya Khodijah adalah Qosim Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau adalah saudara kandung Fathimah Rodhiyallohu ‘Anha.
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghimbau untuk menggunakan kuniyah dengan ketentuan tidak sama dengan kuniyahnya semasa hidupnya, beliau berkata:
سموا باسمي، ولا تكنوا بكنيتي
“Namailah kalian dengan namaku dan janganlah kalian berkuniyah dengan kuniyahku”.
Ummul Mu’minin Aisyah bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq kuniyahnya adalah Ummu Abdillah, dalam keadaan ia tidak memiliki putra, begitu pula Umar Ibnul Khoththob Rodhiyallohu ‘Anhu memiliki anak-anak diantaranya Abdulloh namun beliau menggunakan kuniyah Abu Hafsh.
Dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam banyak memberikan kuniyah kepada para shohabatnya, baik itu sesuai dengan nama anak mereka atau dengan bentuk pemberian julukan, Al-Mughiroh bin Syu’bah Rodhiyallohu ‘Anhu berkuniyah dengan Abu Isa, beliau berkata:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كناني
“Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan kuniyah (Abu Isa) kepadaku”.
Juga Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kuniyah kepada Ali bin Abi Tholib dengan kuniyah Abu Turob, padahal beliau memiliki anak-anak diantaranya Hasan dan Husain, juga Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kuniyah kepada shohabatnya Abdurrohman dengan Abu Huroiroh.
Dengan keterangan tersebut boleh bagi seseorang berkuniyah dengan kuniyah selain dari nama-nama Islam. Asalkan tidak masuk pada kuniyah yang dilarang seperti Abu Setan, Abu Hantu atau Abu Salib dan yang semisalnya.
Boleh bagi seseorang menggunakan kuniyah dari nama bahasa daerah misalnya Abu Intan, Abu Silat atau Abu Jaka atau yang semisalnya, namun yang lebih utama adalah menggunakan kuniyah seperti kuniyah para salafush sholih (pendahulu kita yang sholih).
Kuniyah ini adalah termasuk simbol pemuliaan, bila seseorang menyeru orang lain dengan menggunakan kuniyah maka ini menunjukan pemuliaan baginya, bahkan ketika seseorang memanggil orang lain dengan panggilan menyebut namanya langsung maka ini teranggap kurang beradab dan tidak sopan, lebih-lebih memanggil orang tua dengannya.
Menggunakan kuniyah ini adalah adat kebiasaaan yang dicocoki oleh Islam, Alhamdulillah kebiasaan ini masih kami dapati di Limboro, termasuk pemuliaan dan penghargaan kepada orang tua bila dipanggil dengan kuniyahnya, biasa masyarakat kalau memanggil Abu Harmin maka mereka panggil dengan Ama Harmi, ama berma’na Abu, dan Ummu Harmin dipanggil dengan Ina Harmi, ina berma’na Ummu.
PERMATA SALAF
* Al-Imam Abu Abdirrohman Muqbil bin Hadiy Al-Wadi’iy Rohimahulloh wa Rodhiya ‘Anhu mengatakan:
فإذا أردتم أن تخرجوا أجيالا تدافع عن الدين الإسلامي فعليكم أن تجتهدوا في تعليم أبنائكم كتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Jika kalian menginginkan supaya kalian memunculkan komunitas yang membela agama Islam maka harus bagi kalian bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anak kalian dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosulillah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
* Ustadzuna Abul Abbas Harmin bin Salim Al-Limboriy Rohimahulloh wa Rodhiya ‘Anhu:
أحب أن أشد الرحال إلى دار الحديث بدماج، ولكن أخاف على إخواني الصغار أن يكونوا من المنحرفين مثل أصحاب المدارس، وإذا تركتُهم فمن يربيهم؟
“Aku senang untuk memfokuskan perjalanan (untuk menuntut ilmu) ke Darul Hadits Dammaj, akan tetapi aku khawatir atas saudara-sadariku yang masih kecil-kecil akan menjadi orang-orang yang menyimpang semisal anak-anak sekolahan, dan jika aku meninggalkan mereka siapakah yang akan membimbing mereka?”.
Ditulis oleh
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Afahullohu’anhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar