Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Hukum Meminjam Perhiasan Emas

Hukum Meminjam Perhiasan Emas
TANYA: Bismillah Ustadz bagaimana jika seseorang hutang emas kepada saudaranya. Misal ia meminjam kalung emas, kemudian pinjaman kalung tersebut dijual untuk keperluan sang peminjam. Pemilik kalung meminjamkannya dan hanya setuju dengan syarat harus dikembalikan dalam bentuk kalung lagi. Sekian tahun lamanya barulah bisa mengembalikan kalung emas itu. Ketika meminjam kalung tersebut dijual seharga 60 ribu, namun setelah 10th kemudian, ketika harus mengembalikan ia membelinya seharga 600 ribu. Apakah ini termasuk riba?. Mohon penjelasan ilmunya. Jazakallahukhoiro.
(Pertanyaan dari Cilacap).
JAWAB: Bila gambarannya seperti itu maka tidak boleh baginya menyelisihi apa yang telah dipersyaratkan, dia harus mengganti dengan emas yang senilai dengan emas yang pernah dipinjamkan kepadanya, karena:  

المؤمنون عند شروطهم
“Orang-orang yang beriman pada syarat-syarat mereka”.
Harus baginya untuk mengembalikan dengan emas, sama saja kalau diuangkan harganya menurun atau meningkat tetap baginya mengembalikan dengan emas, dan tidak boleh dikembalikan dengan selainnya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«الذهب بالذهب، والفضة بالفضة….»
“Emas dengan emas, dan perak dengan perak…”.
Memgembalikan dengan emas seperti yang dia pinjam berupa emas itu lebih baik dan lebih terbebaskan dari riba, adapun kalau diukur dengan uang atau dilihat dari harganya maka dia tidak mempengaruhi emasnya, yang penting emasnya dia kembalikan senilai emas ketika dia meminjamnya.
Pada zaman sepuluh tahun yang lalu uang senilai Rp. 60.000,- teranggap besar dan di zaman ini teranggap sangat sedikit, bila dikira-kirakan dengan nilai uang sekarang maka tidak bisa pas kira-kira berapa? bisa jadi kurang dari Rp 600.000,- atau mungkin lebih.
Dengan melihat hal tersebut maka mengembalikan dengan emas senilai seperti ketika dia meminjamnya itu lebih selamat dan lebih baik. Wallohu A’lam.
Asy-Syaikh Al-Allamah Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh ketika ditanya dengan pertanyaan yang hampir mirip dengan pertanyaan tersebut maka beliau menjawab:
الذي تطمئن له النفس أنه إن اقترض ذهبًا يعيده ذهبًا؛ فإن أعاد ما استدانه بعملة ورقية مقابل الذهب فلا بأس نظرًا؛ لأنه ليس بيعًا، وإنما هو قرض.
“Yang lebih menengkan hati baginya, bahwa jika pinjamannya adalah emas maka dia kembalikan dengan emas, dan jika dia mengembalikan pinjamannya dengan mata uang senilai emas maka tidak mengapa dengan penyesuaian, karena dia bukan jualan, hanya saja dia adalah pinjaman”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Ghofarollohu Lahu (7 Jumadil Ula 1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar