Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Hukum Wanita Mengendarai Sepeda Motor

HUKUM WANITA MENGENDARAI SEPEDA MOTOR
TANYA: Afwan ana mau tanya Apa hukum seorang perempuan/akhwat, membawa motor?. (Pertanyaan dari Ambon).
JAWAB: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
“خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ”.
“Sebaik-baik para wanita yang mereka menunggangi onta adalah para wanita Quroisy”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dan Muslim, dari Abu Huroiroh.
Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu berkata:

“ولم تركب مريم ابنة عمران بعيرا قط”.
“Dan tidaklah Maryam putri Imron menunggangi onta sama sekali”.
Wanita Quroisy dan Maryam putri Imron Rodhiyallohu ‘Anhun masing-masing mereka memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, wanita-wanita Quroisy menaiki (menunggangi) onta atau kendaraan berkaki empat bukan dalam keadaan bersendirian akan tetapi ada yang menemani mereka, hal ini sebagaimana telah kita dapatkan diantaranya pada kisah keluarnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersama para shohabatnya.
Merupakan kebiasaan beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, bila hendak keluar (safar) maka beliau mengundi siapa dari para istrinya yang ikut keluar bersama beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada suatu saat beliau keluar yang menyertai beliau adalah istri tercintanya yaitu Ash-Shiddiqah bintu Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘anhuma.
Asy-Syaikhon meriwayatkan di dalam “Shohih” keduanya, bahwasanya Ash-Shiddiqoh berkata:
“كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ أَزْوَاجِهِ فَأَيُّهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ مَعَهُ، فَأَقْرَعَ بَيْنَنَا فِي غَزْوَةٍ غَزَاهَا فَخَرَجَ فِيهَا سَهْمِي فَخَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ بَعْدَ مَا أُنْزِلَ الْحِجَابُ فَكُنْتُ أُحْمَلُ فِي هَوْدَجِي”.
“Dahulu Rosululloh jika menginginkan untuk safar, maka beliau mengundi di antara istri-istri beliau, siapa diantara mereka yang jatuh undian padanya maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersamanya. Beliau mengundi diantara kami pada suatu peperangan yang beliau berperang padanya, maka jatuh undiannya padaku, akupun keluar bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam setelah diturunkannya ayat hijab, dan aku ketika itu dibawah di dalam haudaj (tandu)ku”.
Haudaj adalah tandu yang biasa ditempati oleh para raja atau permaisuri atau tuan putri raja, dan “haudaj” ini bentuknya ada dua:
Pertama: Dipikul oleh prajurit atau para pengawal di atas pundak-pundak mereka.
Kedua: Diletakan di atas onta atau yang semisalnya kemudian dibawa, dan para pengawal berjalan di sekelilingnya.
Pada kelanjutan kisah tersebut Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘anha keluar dari “haudaj“nya untuk menunaikan hajatnya, kemudian balik ke “haudaj“nya ternyata para shohabat sudah membawa “haudaj“nya, Ash-Shiddiqoh berkata:
“الَّذِينَ كَانُوا يَرْحَلُونَ لِي فَاحْتَمَلُوا هَوْدَجِي فَرَحَلُوهُ عَلَى بَعِيرِي الَّذِي كُنْتُ رَكِبْتُ وَهُمْ يَحْسِبُونَ أَنِّي فِيهِ”
“Mereka (para shohabat) yang mereka awalnya membawaku maka mereka membawa tanduku, mereka membawanya di atas ontaku yang aku naik di atasnya, mereka menyangka bahwa aku berada di dalamnya”.
Dengan pristiwa itu, Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘anha ditinggal di perjalanan, Ash-Shiddiqoh kemudian menceritakan:
“فَبَيْنَا أَنَا جَالِسَةٌ فِي مَنْزِلِي غَلَبَتْنِي عَيْنِي فَنِمْتُ وَكَانَ صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ الذَّكْوَانِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْجَيْشِ فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِيفَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ فَعَرَفَنِي حِينَ رَآنِي وَكَانَ رَآنِي قَبْلَ الْحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي وَوَاللهِ مَا تَكَلَّمْنَا بِكَلِمَةٍ وَلَا سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً غَيْرَ اسْتِرْجَاعِهِ وَهَوَى حَتَّى أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ فَوَطِئَ عَلَى يَدِهَا فَقُمْتُ إِلَيْهَا فَرَكِبْتُهَا فَانْطَلَقَ يَقُودُ بِي الرَّاحِلَةَ حَتَّى أَتَيْنَا الْجَيْشَ”
“Ketika aku duduk di tempat peristrahatanku, maka rasa ngantuk mengalahkanku, akupun tertidur, dan Shofwan Ibnul Mu’aththol As-Sulamiy Adz-Dzakwaniy termasuk dari belakang prajurit, maka menjadilah beliau berada di tempatku, beliau melihat sosok hitam dari manusia yang tidur, beliau mengenalku ketika beliau melihatku, dan beliau sudah pernah melihatku sebelum turunya ayat hijab, maka aku terbangun karena mendengar ucapan “istirjaa’” (Innaa Lillaahi Wainnaa Ilaihi Rooji’un), setelah beliau mengenalku aku menutupkan wajahku dengan jilbabku, dan demi Alloh beliau tidak mengajak bicara kami dengan sekatapun, dan aku tidak mendengar darinya sekatapun melainkan hanya “istirjaa’“nya, dan beliau sampai menundukan kendaraannya lalu didudukan tangannya akupun berdiri padanya lalu menungganginya, kemudian beliau berjalan kaki dengan membawa tali kendali (tunggangan) yang aku mengendarainya sampai kami mendapati prajurit”.
Dari kisah tersebut kita dapat mengambil beberapa hukum yang berkaitan dengan wanita mengendarai kendaraan:
* Awal perjalanan Ash-Shiddiqoh adalah naik di atas haudaj yang diletakan di atas onta, Ash-Shiddiqoh mengikuti kemana onta diarahkan, yang berjalan kaki di sekeliling onta merekalah yang mengarahkan (menyetir) onta, Ash-Shiddiqoh keadaannya selaku “permaisuri” berdiam diri di dalam haudaj-nya.
* Bila wanita hendak keluar rumah dengan membutuhkan naik kendaraan seperti naik sepeda motor atau yang semisalnya, maka dituntut bagi mahromnya untuk menemaninya, ia diboncen dan diantar jemput.
Adapun kalau dibiarkan wanita mengendarai sepeda motor sendirian maka ini akan menimbulkan banyak fitnah, diantaranya:
* Ketika kendaraannya macet atau ada kecelakaan atau ketika antri mengisi bensin mengharuskannya mendorong dan terkadang orang jahat memanfaatkan peluang ini.
* Tidak bisa menjaga pandangannya.
* Belum lagi kalau ada pemeriksaan di jalan-jalan.
Maka tidak sepantasnya bagi para wanita untuk mengendarai sepeda motor dan yang semisalnya dalam keadaan bersendirian.
Asy-Syaikh Ibnu Bazz, Ibnul Utsaimin dan selain keduanya menfatwakan tidak bolehnya bagi wanita mengendarai mobil dalam keadaan bersendirian.
Kami katakan: Bila wanita mengendarai mobil dalam keadaan sendirian sudah tidak dibolehkan maka tentu lebih tidak boleh lagi kalau wanita mengendarai sepeda motor dan yang semisalnya dalam keadaan bersendirian. 
Wallohu A’lam.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afahulloh (1/5/1436).
Wanita Mengendarai Kendaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar