Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

BENTUK RISYWAH YANG MENYERUPAI HADIAH

g-gif-updatecatsr
TANYA: Seseorang mengalami kesulitan dalam mengurus urusannya di suatu kantor, lalu ada pegawai kantor membantu sampai selesai, setelah selesai maka yang dibantu memberikan hadiah sebagai ongkos capek, apakah boleh menerimanya?, apakah ini masih termasuk risywah?.

JAWAB:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده
أما بعد:
Untuk menerima pemberian seperti itu ada dua pendapat:
Pendapat pertama: 
Boleh, yang mengambil pendapat ini berdalil dengan perkataan Alloh Ta’ala:
(إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ)
“Sesungguhnya sedekah-sedekah hanyalah untuk orang-orang faqir, miskin, orang-orang yang mengurusinya, para muallaf yang dikuat-kuatkan hatinya (kepada Islam), untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Alloh, dan orang yang sedang dalam safar, itu adalah suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Alloh, dan Alloh adalah Al-‘Alim dan Al-Hakim”. 
Perkataan-Nya:
(وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا)
“Dan orang yang mengurusinya”.
Al-Imam Ibnu Bazz Rohimahulloh menjelaskan:
“العاملون عليها هم العمال الذين يوكلهم ولي الأمر في جبايتها والسفر إلى البلدان والمياه التي عليها أهل الأموال حتى يجبوها منهم، فهم جباتها وحفاظها والقائمون عليها، يُعطوْن منها بقدر عملهم وتعبهم على ما يراه ولي الأمر”
“Orang-orang yang mengurusinya mereka adalah para pekerja yang mereka ditugaskan oleh pemerintah pada penggalangannya dan dalam melakukan perjalanan ke setiap negri dan di perairan yang ada padanya pemilik harta-harta sampai dikumpulkan dari mereka, mereka yang mengumpulkannya dan menjaganya serta mereka yang mengurusinya, mereka diberikan dari harta-harta tersebut sesuai amalan mereka dan rasa capek mereka, atas apa yang dilihat oleh pemerintah (sekehendak pemerintah)”.
Syaikhuna Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh berpendapat pula seperti ini ketika menjelaskan ayat tersebut, pada pertanyaan seputar hukum-hukum zakat, dan beliau juga memiliki pendapat semisal itu, ketika beliau ditanya:
رجل موظف أعطي أموالًا بسبب تسهيل بعض المعاملات، فذهب عمرة من هذا المال، فما حكم هذه العمرة؟
“Seorang bekerja, lalu diberikan harta-harta, dengan sebab mempermudah pada sebagian muamalah-muamalah, maka dia pergi umroh dari harta ini maka apa hukum umrohnya ini?.
Beliau Hafizhohulloh menjawab:
إن كانت مقابل أعماله وأتعابه كأن يكون سمسارًا أو يقوم ببعض الجهود فيجوز أن يأخذ مقابل أتعابه، فيعتمر من هذا المال أو يصنع به ما شاء من الخير، وأما إذا كانت رشوة فلا يجوز أن يأخذها، ولا أن يأكلها، فهي حرام، وأما حجه وعمرته من هذا المال ففيه خلاف، والراجح أن حجه وعمرته صحيحة، ويكون آثمًا على اكتساب الحرام
“Jika keberadaannya adalah imbalan perbuatan-perbuatannya dan kecapekannya seperti keadaannya dia adalah perantara atau dia melakukan terhadap sebagian upaya maka boleh baginya untuk mengambil imbalan upah capeknya tersebut, lalu dia melakukan umroh dari harta ini atau dia mempergunakannya terhadap apa yang dia kehendaki dari suatu kebaikan, dan adapun jika dia adalah risywah maka tidak boleh untuk dia mengambilnya, dan tidak boleh pula untuk memakannya dan dia adalah harom, dan adapun haji dan umrohnya dari harta ini maka padanya perbedaan (pendapat para ulama), yang benar bahwasanya hajinya dan umrohnya adalah sah, dan keberadaan dia adalah berdosa atas pekerjaan harom(nya)”.
Pendapat kedua: 
Tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang terkuat dan yang benar, dengan dalil hadits Abu Humaid As-Sa’idiy Rodhiyallohu ‘Anhu yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan seseorang sebagai pekerja atau pengurus zakat, lalu dia datang dengan harta, kemudian diberikan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sambil berkata:
هذا مالكم، وهذه هدية أهديت لي
“Ini adalah harta milik kalian, dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan untukku”.
Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
أفلا قعدت في بيت أبيك وأمك فتنظر أهدي إليك أم لا؟
“Tidakkah sebaiknya kamu duduk di rumah bapakmu atau rumah ibumu, lalu kamu perhatikan apakah diberi hadiah kepadamu ataukah tidak?”.
An-Nawawiy Rohimahulloh membuat bab khusus di dalam “Shohih Muslim”:
باب تحريم هدايا العمال
“Bab haromnya hadiah untuk para pekerja”.
Beliau menyebutkan bab ini di atas hadits tersebut.
Dan An-Nawawiy Rohimahulloh ketika menjelaskan hadits tersebut beliau mengatakan:
وفي هذا الحديث بيان أن هدايا العمال حرام وغلول، لأنه خان في ولايته
“Dan pada hadits ini ada penjelasan bahwasanya hadiah-hadiah untuk para pekerja adalah harom dan ghulul (khianat), karena sesungguhnya dia adalah khianat pada kekuasaannya (sebagai pekerja)”.
Beliau mengatakan demikian itu karena para pekerja, pegawai atau para pengurus mereka telah disewa atau diberi gaji pada pekerjaannya, maka tidak boleh lagi bagi mereka untuk mengambil dari orang yang mereka bantu, karena tugas mereka adalah memberi pelayanan.
Dan diperjelas dengan dalil perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
هدايا العمال غلول؟
“Hadiah untuk para pekerja adalah ghulul (khianat)”.
Dan Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin Rohimahulloh menyebutkan pula yang semisal itu, beliau berdalil dengan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
«من استعمل رجلا من عصابة – أي من طائفة – وفيهم من هو أرضى لله منه فقد خان الله ورسوله والمؤمنين»
“Barang siapa mempekerjakan seseorang dari suatu kompi -ya’ni dari suatu kelompok- dan pada mereka ada orang yang dia lebih mencukupi bagi Alloh darinya maka sungguh dia telah khianat kepada Alloh dan Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman. Diriwayatkan oleh Al-Hakim.”
Dengan penjelasan tersebut bertambah jelaslah tentang tidak bolehnya mengambil pemberian pada pekerjaan, sama saja dinamai dengan ongkos capek atau hadiah, An-Nawawiy Rohimahulloh menyebutkan pula:
السبب في تحريم الهدية عليه، وأنه بسبب الولاية، بخلاف الهدية لغير العامل، فإنها مستحبة
“Sebab pada pengharoman hadiah pada pekerja, dan bahwasanya dia adalah karena sebab kekuasaan (pekerjaan), berbeda dengan hadiah untuk selain pekerja maka dia adalah sunnah”.
Disamping dia termasuk dari ghulul, dia juga termasuk dari risywah, ketika Asy-Syaikh Al-Fauzan Hafizhohulloh ditanya tentang ma’na hadits:
هدايا العمال غلول؟
“Hadiah untuk para pekerja adalah ghulul (khianat)”.
Maka beliau menjawab:
نعم، الرشوة هذه هي الرشوة، والعمال المراد بهم الموظفون، فلا يُعطون هدايا من المراجعين ومن لهم قضايا، لا يُعطون
“Iya, risywah ini dia adalah risywah, dan “‘ummal” yang dimaksud dengan mereka adalah para pegawai (para pekerja), maka tidak boleh diberikan hadiah dari orang yang dikonsultasikan (diuruskan), dan kepada orang yang mereka memiliki permasalahan (kesulitan), tidak boleh diberikan mereka”.
Dan beliau Hafizhohulloh mengatakan lagi:
وكذلك الذين يقبضون الزكوات، العمال الذين يقبضون الزكوات من الناس لا يُعطون هدايا، لأن هذا من الرشوة
“Dan demikian pula orang-orang memegang zakat-zakat, (ya’ni) para pekerja yang mereka mengurusi zakat-zakat dari manusia, maka mereka tidak diberi hadiah, karena ini termasuk dari risywah”.
Dan beliau Hafizhohulloh berdalil dengan hadits Abu Humaid As-Sa’idiy Rodhiyallohu ‘Anhu yang diriwayatkan oleh Muslim yang telah kami sebutkan.
Kemudian beliau Hafizhohulloh mengatakan:
واعتبر هذا صلى الله عليه وسلم من الغلول
“Dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menganggap ini termasuk dari ghulul (khianat)”.
Kemudian beliau Hafizhohulloh memberikan nasehat:
فالواجب على الموظفين في أي مجالٍ كانوا أن لا يقبلوا الهدايا من المراجعين ومن الناس ومن أصحاب القضايا لأن هذه رشوة، وقد لعن النبي صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي ، وهي السحت الذي حرمه الله سبحانه وتعالى
“Maka wajib atas para pekerja pada pekerjaan apapun, hendaknya keberadaan mereka tidak menerima hadiah-hadiah dari orang-orang yang memiliki kebutuhan dan dari manusia serta dari orang-orang yang memiliki masalah, karena sesungguhnya ini adalah risywah, dan sungguh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mela’nat orang yang menyogok dan yang disogok, dan dia adalah harta harom yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mengharomkannya”.
Wallohu A’lam.
Dijawab oleh
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Ayyadahulloh wa Saddadah (Rabu/14/4/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar