Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Sunnah Dalam Menyampaikan Dakwah

بسم الله الرحمن الرحيم
Tanya: Ustadz apakah dituntunkan setiap penyampaikan ilmu atau pembicaraan diin dalam satu majelis walau kecil bentuk majelisnya, misal cuma ada dua orang kemudian dibuka dengan khutbatul hajjah dan ditutup dengan kafaratul majlis. images (11)A
Jawab: Tidak ada tuntunan khutbatul hajjah pada majelis seperti itu, namun cukup memulai dengan mengucapkan:
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ)
“Dengan nama Alloh yang Ar-Rohman lagi Ar-Rohim”.
Baru kemudian memulai pembicaraan.
Ketika Rosululloh (utusan Alloh) Jibril Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada Nabiulloh Abul Qosim Muhammad bin Abdillah ‘Alaihishsholatu Wassalam di Gua Hiro maka Jibril berkata: 

(اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ)
“Bacalah dengan (menyebut) Robbmu yang Dia telah menciptakan”.
Dari keterangan ini kita akan mampu membedakan mana yang masuk kategori memberi ceramah dengan majelis biasa, bila seseorang memahami masalah ini maka dia akan mengetahui bahwasanya menyampaikan ceramah di kuburan itu tidak memiliki dasar, karena yang namanya ceramah membutuhkan adanya khutbatul hajjah atau yang biasa disifati awal khutbah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
فخطب الناس، فحمد الله وأثنى عليه
“Maka beliau berkhutbah kepada manusia, beliau memuji Alloh, dan menyanjungnya”.
Ketika tidak ada pengutipan bahwa beliau membaca khutbatul hajjah ketika mengkhabarkan dan mengingatkan shohabatnya saat di kuburan maka dapat diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika dikuburan tersebut bukanlah menyampaikan ceramah atau berkhutbah, karena kalau beliau berkhutbah atau berceramah maka akan dikutip ada khutbatul hajjahnya atau memulai dengan memuji Alloh dan menyanjungnya lalu mengucapkan:
أما بعد
“Kemudian dari pada itu”.
Karena tidak adanya kutipan seperti ini maka kita katakan bukanlah termasuk dari sesuatu yang dituntut untuk setiap pembicaraan harus memulai dengan khutbatul hajjah.
Adapun yang berkaitan dengan kafarotul majlis maka dia dituntut pada setiap majlis yang berkaitan dengan permasalahan agama, baik dalam musyawarah, khutbah, ceramah, ta’lim atau seseorang duduk dengan temannya dalam membahas atau berdiskusi maka dituntut pada akhir pembicaraan mereka dengan mengucapkan:
سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
“Maha Suci Engkau Ya Alloh, dengan pujian-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Alloh, aku beristighfar kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.
Atau yang semisal itu dari lafazh-lafazh yang diajarkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana datang dalam suatu riwayat dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha yang menjelaskan masalah ini.
TANYA: Apakah dituntunkan juga ketika hendak mengadakan pembicaraan yang serius dalam permasalahn agama yang itu melalui HP dengan pembuka majles dan kafaratul majlis, atau bagaimana adab-adab yang baik dalam pembicaraan agama yang sesuai sunnah?.
JAWAB: Kalau pembicaraannya hanya dua orang atau beberapa orang maka cukup yang menghubungi dengan mengucapkan salam kepada yang dihubungi, setelah itu memulai pembicaraan.
Berbeda kalau berbicara lewat HP tersebut dalam rangka untuk menyampaikan ceramah atau muhadhoroh kepada suatu kaum yang berkumpul maka dia dituntut untuk memulai dengan khutbatul hajjah, sebagaimana keberadannya ketika berhadapan langsung.
PENANYA: Ada juga kami dapatkan seorang guru, yang ia mengajar rutin anak-anak mengajar membaca Al-Qur’an. Sebelum dimulai biasanya guru tersebut mewajibkan agar mereka yang datang duduk rapi atau tenang, kemudian setelah tenang baru dibuka dengan khutbatul hajjah dan kemudian mereka membaca Al-Qur’an satu persatu didepan gurunya. Mohon penjelasannya. Jazakallahukhoiro.
JAWAB: Kalau membuka dengan membaca khutbatul hajjah karena akan memberikan nasehat atau pengarahan kepada anak-anak didiknya maka ini bagus dan sesuai tuntutan syari’at, namun kalau setiap memulai mengajar membaca Al-Qur’an harus dengan membaca khutbatul hajjah terlebih dahulu sebagaimana dilakukan sebagian orang sebelum membaca Al-Qur’an maka memulai dengan membaca Al-Fatihah maka ini adalah penyelisihan terhadap tuntunan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan sunnahnya:
وخير الهدي هدي رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ;  أي: عن حكمه وشرعه
“Maka hendaknya orang-orang yang mereka menyelisihi perkaranya”, yaitu hukumnya dan syari’atnya.
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Takut akan ditimpahkan kepada mereka suatu fitnah atau ditimpakan kepada mereka azab yang pedih”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Al-Limboriy (9/2/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar