AKIBAT DARI MENYELISIHI
PARA SHOHABAT NABI
SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum Khawarij adalah sekte (aliran) pertama yang menyimpang sebagaimana disebutkan di dalam sejarah Islam. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah menyebutkan kepada para shohabatnya tentang ciri-ciri kaum khawarij, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
تمرق مارقة على حين فرقة من أمتي يحقر أحدكم صلاته مع صلاتهم، وقراءته مع قراءتهم، يمرقون من الإسلام مروق السهم من الرمية، أينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجراً لمن قتلهم
“Mereka keluar saat terjadi perpecahan di antara umatku, salah seorang diantara kalian akan menganggap remeh shalatnya dibandingkan sholat mereka, menganggap remeh baca’an (Al Qur’an)nya dibanding bacaan (Al-Qur’an) mereka. Mereka itu keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya. Dimanapun kalian mendapati mereka maka bunuhlah mereka, karena sesungguhnya membunuh mereka itu mendapatkan pahala bagi yang membunuhnya”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (3611).
Diantara aqidah kaum khawarij adalah menganggap kafirnya pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin, dan mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar tersebut kekal di dalam neraka.
Diantara aqidah kaum khawarij adalah menganggap kafirnya pelaku dosa besar dari kalangan kaum muslimin, dan mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar tersebut kekal di dalam neraka.
Demikian ciri khas kaum khawarij, yaitu terlalu mudah memvonis kafir bagi setiap muslim yang melakukan dosa besar, bahkan di zaman Ali bin Abi Thalib dahulu, mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah dan juga mengkafirkan kaum muslimin yang tidak setuju dengan pendapat mereka, bahkan sebelumnya mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Amirul Mu’minin Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu yang menyebabkan terbunuhnya beliau.
Dan diantara salah satu sifat mereka adalah gemar mencari-cari kesalahan penguasa. Mereka juga berpendapat tentang wajibnya menggulingkan penguasa yang mereka anggap salah dan zhalim, sebagaimana ketika mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali telah berhukum dengan selain hukum Alloh yaitu berhukum kepada manusia, mereka berdalil dengan ayat:
Dan diantara salah satu sifat mereka adalah gemar mencari-cari kesalahan penguasa. Mereka juga berpendapat tentang wajibnya menggulingkan penguasa yang mereka anggap salah dan zhalim, sebagaimana ketika mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali telah berhukum dengan selain hukum Alloh yaitu berhukum kepada manusia, mereka berdalil dengan ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44).
Abdulloh bin ‘Abbas Rodhiyallohu ’Anhuma selaku salah seorang ulama yang faqih di kalangan para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam merasa perlu untuk berbicara dengan mereka dalam rangka mendebati mereka dan mematahkan argumen mereka, dengan tujuan supaya mereka kembali ke jalan yang benar. Diriwayatkan oleh Al-Imam An Nasa’iy di dalam “Kitab Al Khashaish Amiril Mu’minin Ali bin Abi Thalib” (190), dengan sanad yang hasan, beliau Rohimahulloh berkata: “Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin Ali, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Mahdi, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin ‘Ammar, beliau berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu Zamil, beliau berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata: “Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, maka mereka menyendiri di suatu kampung, ketika itu jumlah mereka 6000 (enam ribu) orang. Maka aku berkata kepada ‘Ali: “Wahai Amirul Mu’minin, akhirkanlah sholat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, supaya aku berbicara dengan kaum itu”. Ali berkata: “Aku mengkhawatirkan keselamatanmu”. Aku berkata: “Tidak perlu khawatir”. Lalu aku memakai pakaian yang bagus dan berdandan. Aku masuk di daerah mereka pada waktu tengah hari, dan mereka sedang makan. Mereka berkata: “Selamat datang, wahai Ibnu ‘Abbas, apa yang membuatmu datang ke sini?”. Aku berkata: “Aku datang kepada kalian dari sisi para sahabat Nabi; kaum Muhajirin dan Anshar dan dari sisi putra paman Nabi dan menantunya. Pada mereka Al Qur’an di turunkan dan merekalah yang paling memahami penafsirannya dari pada kalian, dan tidak ada pada kalian dari mereka seorang pun”. Aku akan sampaikan apa yang mereka katakan kepada kalian dan aku akan sampaikan kepada mereka apa yang kalian katakan”. Lalu menghadapiku sekelompok dari mereka. Aku berkata: “Datangkanlah apa yang membuat kalian murka kepada para sahabat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan putra pamannya?”. Mereka menjawab: “Ada 3 perkara”. Aku berkata: “Apa dia?”. Mereka menjawab: “Pertama: Dia telah menetapkan hukum manusia dalam urusan Alloh, Alloh Ta’ala berkata:
(إن الحكم إلا لله)
“Sesungguhnya yang menetapkan hukum itu hanyalah bagi Alloh”.
Apa perkaranya manusia dengan hukum!”. Aku berkata: “Ini adalah pertama?”. Mereka menjawab: “Kedua: Ia berperang namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil harta rampasan. Kalaulah keberadaan mereka itu adalah orang-orang kafir maka sungguh telah halal terhadap tawanan mereka, dan kalaulah keberadaan mereka adalah orang-orang mu’min maka tidak halal untuk menawan mereka dan tidak boleh memerangi mereka”. Aku berkata: “Ini adalah yang kedua, lalu apa yang ketiga?”. (Ketiga) mereka menyebutkan suatu perkataan yang ma’nanya mereka mengatakan: “Dia (Ali bin Abi Thalib) telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya, kalau keberadaannya bukan Amirul Mu’minin maka dia adalah Amirul Kafirin (pemimpin orang-orang kafir). Aku lalu berkata: “Apakah ada lagi pada kalian sesuatu selain ini?”. Mereka menjawab: “Cukup bagi kami yang ini”. Aku berkata kepada mereka: “Bagaimana menurut kalian jika aku membacakan kepada kalian Kitabulloh dan sunnah Nabi-Nya yang akan membantah perkataan kalian?. Apakah kalian akan ruju’ (kembali kepada kebenaran)?”. Mereka berkata: “Iya”. Aku katakan: “Adapun perkataan kalian “dia telah menetapkan hukum manusia dalam perkara Alloh”, maka sesungguhnya aku akan membacakan kepada kalian di dalam Kitabulloh bahwasanya Alloh telah mengalihkan hukum-Nya kepada manusia dalam seperdelapan seperempat dirham. Alloh Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan supaya mereka berhukum padanya. Tidakkah kalian melihat perkataan Alloh Tabaraka wa Ta’ala:
(يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya diantara kalian secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, sesuai hukum dua orang yang adil diantara kalian”.
Dan keberadaan hukum Alloh, bahwasanya Dia mengalihkan kepada manusia penghukumannya. Dan kalau Dia menghendaki berhukum padanya, namun Dia membolehkan berhukum kepada manusia. Demi Alloh aku bertanya kepada kalian, apakah penghukuman manusia dalam mendamaikan suami-istri yang berselisih dalam menjaga darah mereka itu lebih utama ataukah pada seekor kelinci?. Mereka menjawab: “Tentu ini yang lebih utama”. Dalam masalah perselisihan seorang istri dan suaminya:
(وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها).
“Dan bila kalian mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang yang menghakimi (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang yang menghakimi dari keluarga wanita”.
Demi Allah aku bertanya kepada kalian, apakah penghukuman manusia dalam mendamaikan suami-istri yang berselisih dan dalam menjaga darah mereka lebih utama dari pada hukum yang diputuskan beberapa wanita. Apakah telah selesai dari masalah ini? Mereka menjawab: “Iya”. Aku berkata: “Dan adapun perkataan kalian bahwa dia memerangi namun tidak menawan dan tidak mengambil harta rampasan perang, saya bertanya, apakah kalian akan menawan ibu kalian ‘Aisyah? Apakah kalian akan menghalalkannya sebagaimana kalian menghalalkan pada yang selainnya?. Dan jika kalian mengatakan kami menghalalkannya sebagaimana kami menghalalkan pada yang selainnya maka sungguh kalian telah kafir, atau jika kalian katakan ia bukan ibu kami maka sungguh kalian telah kafir:
(النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم)
“Nabi itu adalah lebih utama bagi orang-orang mu’min dari pada diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mu’minin)”.
Maka kalian berada di antara dua kesesatan, maka datanglah kalian padanya dengan memilih jalan keluarnya? Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”. Mereka menjawab: “Iya”. Dan adapun beliau menghapus gelar Amirul Mu’minin darinya, maka aku akan datangkan kepada kalian dengan apa-apa yang kalian ridhoi, sesungguhnya Nabiulloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Hudaibiyyah mengadakan perdamaian dengan kaum musyrikin. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Ali:
اكتب يا علي هذا ما صالح عليه محمد رسول الله
“Tulislah wahai Ali, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rosululloh”.
Mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Kalaulah kami meyakini bahwa kamu adalah Rosululloh, tentu kami tidak akan memerangimu”. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
امح يا علي اللهم انك تعلم إني رسول الله امح يا علي واكتب هذا ما صالح عليه محمد بن عبد الله
“Hapuslah wahai Ali, Ya Alloh, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rosulloh, hapuslah wahai Ali”. Dan tulislah: “Ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah”.
Demi Alloh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentu lebih utama dari pada Ali, dan beliau sendiri telah menghapus pada dirinya (gelar Rosululloh), namun penghapusan gelar tersebut ketika itu tidaklah menghapus kenabian beliau. Apakah kalian telah keluar dari masalah ini?”. Mereka berkata: “Iya”. Maka telah kembali (kepada kebenaran) diantara mereka sebanyak 2000 (dua ribu) orang, dan keluar (memberontak) yang tersisa dari mereka. Maka mereka diperangi di atas kesesatan mereka, kaum Muhajirin dan Anshar memerangi mereka”.
Ditulis oleh:
Al-Ustadz Abu ‘Iyyadh Sa’id bin Muhammad Al-Mulkiy Al-Limboriy Hafizhohulloh.
Al-Ustadz Abu ‘Iyyadh Sa’id bin Muhammad Al-Mulkiy Al-Limboriy Hafizhohulloh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar