Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Hukum Seputar Babi

Penanya: Apakah babi itu najis? Misal pakaian kita menyentuh babi, apa perlu dicuci?. Dan juga makan dengan bekas piringnya?.
Jawab: Kalau seseorang berpegang kepada mazhab Jumhur ulama maka hukumnya seperti hukum anjing, Al-Imam An-Nawawiy mengemukakan mazhabnya ya’ni mazhab Asy-Syafi’iy:
وأما الخنزير فحكمه حكم الكلب
“Dan adapun babi maka hukumnya adalah hukum anjing”.
Jumhur ulama dari mazhab Al-Imam Ahmad, Asy-Syafi’iy dan Abu Hanifah menganggap babi adalah najis, namun mazhab mereka ini tidak didasari dalil-dalil yang jelas, oleh karena itu An-Nawawiy mengatakan: 

وليس لنا دليل واضح على نجاسة الخنزير في حياته
“Dan tidak ada bagi kami dalil yang jelas atas najisnya babi ketika hidupnya”.
Adapun pendalilan jumhur dengan perkataan Alloh Ta’ala:
(لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ)
“….daging babi, maka sesungguhnya dia adalah rijs (kotor)”,maka ayat ini memberikan beberapa faedah diantaranya:
* Menjelaskan tentang keharoman memakan babi, telah kita ketahui bahwa tidak setiap yang harom itu najis, kucing adalah harom bila dimakan namun tidaklah dia najis, dan contoh yang semisal ini sangat banyak.
* Perkataan-Nya pada ayat tersebut “rijs” berma’na kotor atau jorok, dan tidak setiap yang rijs adalah najis, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah disebutkan pada banyak perkara, diantaranya: Khomr, berhala, alat untuk mengundi nasib, berjudi dan keledai, semua ini disebut rijs (jorok/kotor) namun untuk menyebutkannya najis maka membutuhkan dalil penjelas lainnya.
Dan pendapat yang benar tentang babi ini adalah pendapat dari mazhab Malik bahwasanya babi tidak najis selama hidupnya.
Dengan keterangan ini, bila pakaian atau benda-benda disentuh babi yang masih hidup maka tidak perlu mencucinya, Nabi dan para shohabat menyentuh berhala dan bahkan naik keledai, namun tidak ada riwayat menyebutkan bahwa mereka mencuci pakaian atau anggota badan mereka yang tersentuh oleh berhala dan keledai yang rijs tersebut.
Adapun yang berkaitan dengan bejana atau nampan atau piring dari bekas babi atau anjing dan yang semisalnya maka kita diperintah untuk mencucinya sebelum menggunakannya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata tentang menggunakan bejana-bejana orang kafir:
لا تأكلوا فيها، إلا أن لا تجدوا غيرها، فاغسلوها، وكلوا فيها
“Janganlah kalian makan padanya, kecuali kalian tidak mendapati selainnya, maka cucilah dia, dan makanlah padanya”.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mencucinya terlebih dahulu, karena tidak menutup kemungkinan orang-orang kafir menggunakan bejana tersebut untuk daging atau lemak babi atau anjing dan yang semisalnya dari sesuatu yang harom dan yang najis lainnya.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (9/2/1436).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar