GELAR TIDAK HANYA UNTUK ORANG PINTAR
Tanya: بسم الله Kapan
seseorang dikatakan sebagai syaikh?, dan apakah tidak boleh kita
mengatakan kepada seseorang sebagai syaikh kalau belum ada ulama
menyatakannya?, apakah antum sudah menyatakan ke seorang ustadz asal
Indonesia sebagai syaikh?.
Jawab:
الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفره، وبعد بسم الله الرحمن الرحيم
Penggunaan kata "syaikh" dikalangan Arob digunakan untuk tiga orang:
Pertama: Yang sudah berumur tua, seperti perkataan dua wanita sholihah tentang bapak mereka:
"وأبونا شيخ كبير".
"Dan bapak kami adalah syaikh yang tua".
Kedua:
Untuk orang terpandang (tokoh masyarakat dan yang semisalnya), seperti
perkataan Ali kepada Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
"إن عمك شيخ ضال قد مات "
"Sesungguhnya pamanmu adalah syaikh yang sesat telah mati".
Ketiga: Orang berilmu, seperti perkataan para salaf:
"سألت شيخنا...".
"Aku bertanya kepada syaikh kami".
Maka dengan ini tidak mengharuskan seseorang menunggu ulama menyatakan terhadap seseorang sebagai syaikh.
Bila
seseorang di suatu negri berda'wah dan masyarakatnya memanggilnya
sebagai syaikh maka tidak mengapa kita memanggilnya dengan syaikh, dan
ini masuk dalam bab penghormatan, para da'i di zaman Al-Imam Al-Wadi'iy
Rohmatulloh 'Alaih yang masyarakat menganggap mereka sebagai para
masyayikh (syaikh-syaikh) bila datang di Dammaj maka Al-Wadi'iy menyeru
mereka pula dengan menggunakan lafazh syaikh, diantara mereka adalah
masyayikh yang dipuja dan dipuji oleh para hizbiyyun di zaman ini,
padahal mereka kalau dibandingkan dengan thullab pilihan Dammaj jauh
berbeda dalam keilmuan, namun Al-Wadi'iy menganggap mereka sebagai para
masyayikh itu masuk dalam bab menghormati, sebagaimana Rosululloh
Shollallohu 'Alaihi wa Sallam di dalam suratnya:
" من محمد عبد الله ورسوله إلى عظيم روم".
"Dari Muhammad hamba Alloh dan utusan-Nya untuk pembesar Romawi".
Beliau
menyebutkan lafazh "'azhim" sebagai penyesuaian dengan kebiasaan
masyarakat Romawi bila menyeru raja dengan seruan "azhim", padahal kalau
secara logikanya lafazh itu adalah termasuk nama dari nama-nama Alloh,
bila seperti itu keadaannya maka boleh kita mengatakan syaikh kepada
siapa saja yang disyaikhkan baik dia itu sebagai syaikh pada bidang ilmu
atau syaikh pada tokoh masyarakat, atau yang sesat maupun yang
istiqomah, adapun bila orangnya sesat dan tidak disebut gelar syaikhnya
maka masuk dalam bab jarh dan perendahan padanya, adapun untuk hukum
memanggilnya dengan syaikh maka tidak mengapa.
Adapun
kalau dikatakan kami menganggap ustadz di Indonesia sebagai syaikh maka
kami tidak katakan ini, yang pantas untuk dikatakan adalah ustadz
karena ini yang digunakan di sana.
Dan
pernah tersebar bahwa kami pernah menyatakan kepada seseorang da'i
dengan perkataan "syaikhuna" ini tidak benar, memang pernah ada yang
menyampaikan langsung ke kami menyebutkan ada di pengantar terjemah
Mabadiul Mufidah namun yang menyampaikan itu tidak memahami perkataan
kami yang tertulis "muadzdzin syaikhina" ini seperti perkataan para
tabi'in tentang Bilal "muadzdzin Rosulillah", maka amat salah difahami
kalau Bilal itu adalah Rosululloh, yang pernah mengenal bahasa Arob
tentu memahami ini, Alhamdulillah pengantar buku itu telah kami hapus.
Dan
perlu diketahui bahwa kami tidak akan mengatakan kepada seseorang
sebagai Syaikhuna kecuali setelah kami belajar (berhadapan) langsung
dengannya dan gelar syaikh itu telah diserukan untuknya, sama saja yang
menyerunya ulama' atau masyarakat di tempat da'wahnya semisal Syaikhuna
Riyadh Al-Udainiy Rohmatulloh 'Alaih, ketika keluar da'wah masyarakat
menganggapnya sebagai syaikh, sedangkan orang yang dimaksud "muadzdzin
syaikhina" maka bagaimana mungkin kami mengakuinya sebagai syaikhuna
sementara kami tidak belajar kepadanya?!.
Adapun
kalau kami pernah belajar langsung di Indonesia dengan para da'i maka
kami katakan sebagai "ustadzuna" sesuai kebiasaan di sana menyeru mereka
dengan ustadz, dan kalaupun ada yang diseru sebagai syaikh maka tidak
masalah. Wallohu 'Alam.
Ditulis Oleh : Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al Limbory
Tidak ada komentar:
Posting Komentar