Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Penyebutan "Asy-Syaikh" untuk Orang Yang Teranggap Ilmunya

GELAR TIDAK HANYA UNTUK ORANG PINTAR

Tanya:  بسم الله Kapan seseorang dikatakan sebagai syaikh?, dan apakah tidak boleh kita mengatakan kepada seseorang sebagai syaikh kalau belum ada ulama menyatakannya?, apakah antum sudah menyatakan ke seorang ustadz asal Indonesia sebagai syaikh?.

Jawab:
  الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفره، وبعد   بسم الله الرحمن الرحيم
Penggunaan kata "syaikh" dikalangan Arob digunakan untuk tiga orang:
Pertama: Yang sudah berumur tua, seperti perkataan dua wanita sholihah tentang bapak mereka:

"وأبونا شيخ كبير".

"Dan bapak kami adalah syaikh yang tua".

Kedua: Untuk orang terpandang (tokoh masyarakat dan yang semisalnya), seperti perkataan Ali kepada Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:

"إن عمك شيخ ضال قد مات "

"Sesungguhnya pamanmu adalah syaikh yang sesat telah mati".

Ketiga: Orang berilmu, seperti perkataan para salaf:

"سألت شيخنا...".

"Aku bertanya kepada syaikh kami".
Maka dengan ini tidak mengharuskan seseorang menunggu ulama menyatakan terhadap seseorang sebagai syaikh.
Bila seseorang di suatu negri berda'wah dan masyarakatnya memanggilnya sebagai syaikh maka tidak mengapa kita memanggilnya dengan syaikh, dan ini masuk dalam bab penghormatan, para da'i di zaman Al-Imam Al-Wadi'iy Rohmatulloh 'Alaih yang masyarakat menganggap mereka sebagai para masyayikh (syaikh-syaikh) bila datang di Dammaj maka Al-Wadi'iy menyeru mereka pula dengan menggunakan lafazh syaikh, diantara mereka adalah masyayikh yang dipuja dan dipuji oleh para hizbiyyun di zaman ini, padahal mereka kalau dibandingkan dengan thullab pilihan Dammaj jauh berbeda dalam keilmuan, namun Al-Wadi'iy menganggap mereka sebagai para masyayikh itu masuk dalam bab menghormati, sebagaimana Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam di dalam suratnya:

" من محمد عبد الله ورسوله إلى عظيم روم".

"Dari Muhammad hamba Alloh dan utusan-Nya untuk pembesar Romawi".
Beliau menyebutkan lafazh "'azhim" sebagai penyesuaian dengan kebiasaan masyarakat Romawi bila menyeru raja dengan seruan "azhim", padahal kalau secara logikanya lafazh itu adalah termasuk nama dari nama-nama Alloh, bila seperti itu keadaannya maka boleh kita mengatakan syaikh kepada siapa saja yang disyaikhkan baik dia itu sebagai syaikh pada bidang ilmu atau syaikh pada tokoh masyarakat, atau yang sesat maupun yang istiqomah, adapun bila orangnya sesat dan tidak disebut gelar syaikhnya maka masuk dalam bab jarh dan perendahan padanya, adapun untuk hukum memanggilnya dengan syaikh maka tidak mengapa.

Adapun kalau dikatakan kami menganggap ustadz di Indonesia sebagai syaikh maka kami tidak katakan ini, yang pantas untuk dikatakan adalah ustadz karena ini yang digunakan di sana.
Dan pernah tersebar bahwa kami pernah menyatakan kepada seseorang da'i dengan perkataan "syaikhuna" ini tidak benar, memang pernah ada yang menyampaikan langsung ke kami menyebutkan ada di pengantar terjemah Mabadiul Mufidah namun yang menyampaikan itu tidak memahami perkataan kami yang tertulis "muadzdzin syaikhina" ini seperti perkataan para tabi'in tentang Bilal "muadzdzin Rosulillah", maka amat salah difahami kalau Bilal itu adalah Rosululloh, yang pernah mengenal bahasa Arob tentu memahami ini, Alhamdulillah pengantar buku itu telah kami hapus.
Dan perlu diketahui bahwa kami tidak akan mengatakan kepada seseorang sebagai Syaikhuna kecuali setelah kami belajar (berhadapan) langsung dengannya dan gelar syaikh itu telah diserukan untuknya, sama saja yang menyerunya ulama' atau masyarakat di tempat da'wahnya semisal Syaikhuna Riyadh Al-Udainiy Rohmatulloh 'Alaih, ketika keluar da'wah masyarakat menganggapnya sebagai syaikh, sedangkan orang yang dimaksud "muadzdzin syaikhina" maka bagaimana mungkin kami mengakuinya sebagai syaikhuna sementara kami tidak belajar kepadanya?!. 

Adapun kalau kami pernah belajar langsung di Indonesia dengan para da'i maka kami katakan sebagai "ustadzuna" sesuai kebiasaan di sana menyeru mereka dengan ustadz, dan kalaupun ada yang diseru sebagai syaikh maka tidak masalah. Wallohu 'Alam.
Ditulis Oleh : Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al Limbory

Tidak ada komentar:

Posting Komentar