Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Baktiku Untuk Ayah Bunda

anigif Baktiku untuk ayah dan bundaPENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ. أَمَّا بَعْدُ
Dengan melihat banyaknya perubahan dan keanehan di dalam kehidupan umat manusia dan banyaknya bermunculan berbagai bentuk penyelewengan dan penyelisihan terhadap syari’at Islam yang suci, maka pada kesempatan ini kami bersengaja untuk meluangkan waktu kami guna memberikan suatu penjelasan yang berkaitan dengan hal itu.

Diantara penyelewengan itu adalah adanya bentuk penyelisihan terhadap fitroh manusia yang memiliki kecocokan dengan syari’at Islam yaitu berbakti kepada kedua orang tua.
Seseorang dilahirkan dari sejak masa kebergantungannya dengan ASI (air susu ibu) hingga masa dewasanya sudah memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada kedua orang tuanya, terkhusus ibunya, namun sangat disayangkan fitroh yang bersih ini terkadang hilang begitu cepat karena lantaran syubhat dan syahawat, banyak kita dapati manusia meninggalkan kedua orang tuanya atau menjauhi keduanya dengan alasan “agama”.
Petaka ini tidak hanya menimpa kaum Adam namun kaum Hawa-pun ikut berandil dalam masalah ini, mereka menjauhi kedua orang tua mereka dengan alasan kedua orang tua mereka adalah awam, tidak mengerti agama, keras dan fanatik kepada adat dan berbagai macam alasan yang digembar-gemborkan, dengan itu merekapun menjauhi keduanya dengan mengikuti bujukan dan rayuan para “pemangsa syahwat dan syubhat”.
Sesungguhnya para pemangsa itu memiliki banyak cara dalam rangka untuk menjauhkan seorang wanita dari pangkuan dan kasih sayang kedua orang tuanya, mereka menyediakan sarana dan prasarana dalam rangka untuk menarik hati para wanita, bila mereka sudah tertarik maka sedikit demi sedikit mereka mulai melangkahkan kaki-kaki mereka untuk menjauhi kedua orang tua mereka.
Kedua orang tua di atas keawamannya tidak menyadari kalau itu adalah bentuk dari upaya “penjauhan” dari mereka, putri-putri mereka pergi jauh ke kota dalam rangka untuk sekolah atau kuliah, mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh putri-putri mereka di kota?. Terkadang mereka terkagetkan dengan berita bahwa putri mereka sudah tidak diketahui kemana pergi?.
Sarana untuk menarik hati para wanita itu tidak hanya dalam masalah yang bernilai “kesosialan” namun adapula sarana yang dirancang dengan bernilai “keagamaan”.
Ketahuilah bahwa diantara sarana itu adalah TN atau dikenal “pondok pesantren wanita”, para santriwatinya dari berbagai latar belakang, ada dari mereka pelarian dari pangkuan kedua orang tua dengan alasan berbagai macam alasan yang dibuat-buat, belum lagi adanya pendukung dari ustadz-ustadz TN dengan berbagai macam syubhat yang ditanamkan ke dalam hati para santriwatinya.
Bila disampaikan hadits atau hujjah tentang larangan bagi para wanita untuk menanggalkan pakaiannya diselain rumahnya maka merekapun memberikan kerancuan berpikir dan penjelasan yang rusak bahwa hadits itu khusus yang sudah menikah adapun yang “gadis” maka tidak masuk dalam larangan.
Kerancuan berpikir dan penjelasan yang rusak seperti ini tidak ada bedanya dengan sikap para penentang “hijab”, bahwasanya hijab itu adalah khusus untuk para istri nabi adapun selain mereka boleh tanpa berhijab.
Dengan adanya kerancuan berpikir dan penjelasan yang rusak seperti ini mengakibatkan para kaum Hawa banyak yang tertipu, pada akhirnya merekapun menipu kedua orang tua mereka.
Telah kita sebutkan bahwa terkadang kedua orang tua terkagetkan dengan berita bahwa putri mereka sudah tidak diketahui kemana pergi?, atau minimalnya mereka melihat kelainan pada prilaku putri mereka, hal demikian itu karena ketidak tahuan mereka dari sebelumnya.
Merupakan suatu kesalahan yang nyata bila kemudian muncul seorang anak wanita dengan tidak menyebutkan kedua orang tuanya di hadapan orang lain melainkan dengan menjelekan keduanya, baik dengan sebutan orang tuanya akan menzholiminya, menyakitinya, mengusirnya atau bahkan sebutan yang lebih mengerikan lagi “akan membunuh”nya, padahal “sejahat-jahatnya singa tidak akan pernah memakan anaknya sendiri.
Tindakan atau prilaku orang tua seperti itu dengan memberikan berbagai ancaman atau bentuk rasa kezholiman maka semua itu adalah monum atau solusi untuk menyelesaikan masalah dengan cara terus menerus merendah kepada keduanya dan mendoakan kebaikan untuk keduanya, karena doa orang yang terzholimi adalah terkabulkan, maka doakanlah kebaikan untuk kedua orang tua ketika mereka murka atau membuat kezholiman kepadamu, ini adalah perintah dari Robbmu Yang Maha Membolak-balikan hati:
{وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا} [الإسراء : 24].
“Dan rendahkanlah dirimu kepada keduanya dengan penuh perendahan dan kasih sayang serta berdoalah: Wahai Robbku rahmatilah keduanya sebagaimana keduanya telah merawatku semasa kecilku”. (Al-Isro’: 24).
Dengan melihat kepada hal tersebut maka pada kesempatan ini kami akan menyebutkan diantara dari giat-giat seorang anak dalam mencari keridhoaan kedua orang tua atau dengan istilah lainnya “mengambil hati orang tua”.
BERAKHLAQ MULIA DI HADAPAN KEDUA ORANG TUA
Agama Islam adalah agama yang penuh dengan rahmat dan kasih sayang, AllohTa’ala mengutus Rosul-Nya dengan tujuan yang mulia ini:
{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ} [الأنبياء: 107]
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan hanya sebagai rahmat untuk alam semesta”. (Al-Anbiya’: 107).
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dari masa kecilnya hingga beliau diangkat sebagai nabi dan diutus sebagai seorang rosul beliau telah memiliki akhlaq yang mulia, Alloh Subhanahu wa Ta’ala katakan di dalam Al-Qur’an:
{وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ} [القلم: 4]
“Sesungguhnya kamu benar-benar berada di atas akhlaq yang agung”. (Al-Qolam: 4).
Dengan akhlaq beliau yang mulia ini, mewajibkan bagi setiap orang untuk mengikutinya dan berakhlaq dengan akhlaqnya, Alloh Ta’ala berkata:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ} [الأحزاب: 21].
“Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rosululloh suatu teladan yang baik”. (Al-Ahzab: 21).
Diantara akhlaq beliau adalah:
MENJALIN HUBUNGAN SEROHIM
Sebagaimana telah kita singgung tentang prilaku muda-mudi, terkadang orang tua mereka langsung mendengar atau melihat kelainan pada prilaku mereka, hal demikian itu karena ketidak tahuan mereka dari sebelumnya.
Orang tua tentu sangat menyesalkan bila melihat anak-anak mereka yang pergi jauh untuk sekolah atau kuliah tiba-tiba datang menampakan prilaku yang “dianggap lain” dikalangan mereka, hal seperti ini karena tidak adanya hubungan dengan mereka dari sebelumnya (silaturrohim), seorang anak bila dia senantiasa menjalin hubungan (silaturrohim) dan berakhlaq dengan akhlaq yang mulia maka tentu kedua orang tuanya akan meridhoinya atau minimalnya memberikan toleransi dalam mengikuti manhaj dan aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah.
Merupakan kesalahan dan kemungkaran bagi para wanita yang masih gadis menjauhi rumah kedua orang tua mereka dan memilih untuk lari ke TN atau “pondok pesantren putri” hingga tinggal di asrama putri dengan alasan karena di rumah orang tuanya banyak kemungkaran seperti musik-musikan, gambar-gambar dan banyak tekanan mental, padahal semua itu dia bisa ingkari dengan berbagai tahapan yang dibangun di atas hikmah dan kelembutan.
Seorang wanita terkadang lari dari rumah orang tuanya dengan alasan di rumahnya banyak kema’siatan, foto-foto bergantungan di dinding rumah, ada televisi, musik-musikan dan adapula dengan alasan banyak tekanan, jilbabnya digunting dan dizholimi serta berbagai macam alasan yang sangat nampak menjatuhkan nama baik kedua orang tuanya di hadapan “mubtadi’” pemilik TN, padahal telah kita ketahui bahwa para wanita memiliki kamar tersendiri di dalam suatu rumah orang tuanya, di kamar itulah dia bisa menenangkan dirinya dengan terus berdoa dan mengaduhkan apa yang dia hadapi kepada Robbnya yang Ar-Rohman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rohim (Maha Penyayang), juga membersihkan kamarnya dari berbagai macam penyimpangan dan kema’siatan, serta terus berbuat kebaikan dan mentaati kedua orang tuanya dalam kema’rufan.
Kalau pun sebagaimana yang dikatakan “jilbabnya digunting” maka tidak memudhoratkannya, selama dia masih bisa sholat lima waktu dan bisa melakukan bakti kepada kedua orang tuanya, karena wanita tidaklah membutuhkan jilbab melainkan hanya ketika keluar rumah atau ketika berhadapan dengan yang bukan mahromnya, kalau dia di dalam rumahnya terus, beribadah dan berbakti kepada kedua orang tuanya maka ini adalah “pintu pembuka” dan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalahnya.
Adapun larinya dia dari rumah kedua orang tuanya menuju TN atau “pondok pesantren putri” maka ini lebih besar kemungkarannya:
Pertama: Terjatuh ke dalam kedurhakaan kepada kedua orang tua.
Telah kita dapati banyak dari para wanita lari dari rumahnya menuju TN atau “pondok putri” lalu kemudian dinikahkan setelah itu tidak diketahui lagi entah dikemanakan oleh suaminya, kedua orang tuanya sudah benar-benar kehilangan dan mereka terkadang menyangka bahwa anak wanita mereka telah mati karena sudah tidak ada lagi hubungan, ternyata anak wanitanya itu menjadi “ibu guru” di TN atau di pondok wanita, sibuk mengajar dan mentaati suaminya dengan melupakan kedua orang tuanya. Suaminya sebagai “bapak guru” di TN memiliki sikap egois yang sangat tinggi, yang penting istrinya mentaatinya diapun tidak perdulikan nasib orang tua  istrinya.
Kita telah ketahui bahwa hak suami lebih besar dan lebih tinggi dari pada hak kedua orang tua, namun tidak rugi bagi seorang anak untuk menyambung hubungan dengan kedua orang tuanya di sela-sela kesibukannya melayani suami, Asy-Syaikhon meriwayatkan di dalam “Shohih” keduanya dari hadits Asma’ bintu Abi Bakr, ia berkata:
“قَدِمَتْ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى قَدِمَتْ عَلَىَّ وَهِىَ رَاغِمَةٌ مُشْرِكَةٌ أَفَأَصِلُهَا قَالَ: «نَعَمْ فَصِلِى أُمَّكِ»”.
“Datang kepadaku ibuku dan dia adalah seorang wanita yang musyrik pada masa perjanjian Quroisy, maka aku berkata: Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku datang kepadaku dan dia adalah senang lagi musyrik, apakah aku menyambung hubungan dengannya?, beliau berkata: “Iya sambunglah hubungan dengan ibumu“.
Adapun wanita sekarang karena merasa di rumah orang tuanya ada kema’siatan dan berbagai penyimpangan maka dia pun menjauhi orang tuanya, tidak ada hubungan untuk dia hubungkan, tidak ada bingkisan yang bisa dia hadiahkan dan tidak ada pula ucapan yang lembut dan kasih sayang yang dia haturkan, dia benar-benar melupakan orang tuanya, seakan-akan dia dia lahir dari “bambu” atau lahir dari tulang rusuk “monyet” sehingga melupakan kedua orang tuanya.
Terkadang kita dapati orang tua sudah sangat tua, yang sangat mengharapkan bantuan dan bakti dari anak-anaknya, jika kita bertanya: “Kemana putra-putrinya?”, terkadang jawaban yang sampai kepada kita membuat hati menangis dan jiwa merintih: “Anak wanitanya kabur dari rumah sudah sepuluh tahun dan tidak diketahui kemana perginya?!”, ternyata anak wanitanya tersebut ada di TN atau di “pondok wanita”, betapa tegahnya meninggalkan kedua orang tua dan menterlantarkan kedua orang tuanya karena alasan “kema’siatan” di rumah orang tuanya dahulu, padahal orang tua kalau sudah lanjut usia tentu merasa sangat membutuhkan bakti dari orang lain, pada usia seperti ini hati mereka mudah untuk disentuh namun apalah gunanya kalau memiliki anak-anak yang egois, yang mereka tidak memanfaatkan kesempatan berharga untuk mencari Jannah dibawah ketaatan mereka kepada kedua orang tua mereka, Al-Bukhoriy meriwayatkan di dalam “Al-Adabul Mufrod” dari hadits Jabir bin Abdillah:
“أن النبي صلى الله عليه و سلم رقى المنبر فلما رقى الدرجة الأولى قال آمين ثم رقى الثانية فقال آمين ثم رقى الثالثة فقال آمين فقالوا يا رسول الله سمعناك تقول آمين ثلاث مرات قال لما رقيت الدرجة الأولى جاءني جبريل صلى الله عليه و سلم فقال شقي عبد أدرك رمضان فانسلخ منه ولم يغفر له فقلت آمين ثم قال شقي عبد أدرك والديه أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة فقلت آمين ثم قال شقي عبد ذكرت عنده ولم يصل عليك فقلت آمين”.
“Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam naik mimbar, tatkala naik ke tingkat satu beliau berkata: “Aamiin”, kemudian naik ke tingkat ke dua, beliau berkata:“Aamiin”, kemudian naik ke tingkat ke tiga, beliau berkata: “Aamiin”, maka mereka (para shohabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, kami mendengarmu mengatakan:“Aamiin” tiga kali, beliau menjawab: “Tatkala aku menaiki tingkat pertama, datang kepadaku Jibril Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata: “Celaka bagi seorang hamba yang mendapati Romadhon lalu selesai Romadhon dan dia belum diampuni (dosa-dosa)nya, maka aku berkata: “Aamiin”, kemudian Jibril berkata: “Celaka seorang hamba mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya namun tidaklah keduanya memasukannya ke dalam Jannah, maka aku katakan: “Aamiin”, kemudian Jibril berkata lagi: “Celaka seorang hamba disebutkan namaku di sisinya dan dia tidak bersholawat untukmu, maka aku katakan: “Aamiin”.
Kedua: Memutus Hubungan Silaturrahim 
Asy-Syaikhon meriwayatkan dari hadits Jubair bin Muth’im, bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ».
“Tidak akan masuk Jannah (surga) orang yang memutus hubungan serohim”.
Memutus hubungan dengan saudara yang masih ada hubungan rohim sudah termasuk dosa terbesar maka bagaimana kalau memutus hubungan dengan kedua orang tua?.
CARILAH KERIDHOAN ROBBMU DENGAN BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUAMU
Semua orang telah mengetahui bahwa orang tua memiliki rasa senang dan memiliki rasa benci, bila seorang anak melakukan pendekatan kepada kedua orang tuanya dengan cara melakukan segala perkara yang keduanya senangi (yang tentunya perkara yang tidak bertentangan dengan syari’at Alloh) dan meninggal segala perkara yang keduanya benci maka tentu hal ini akan menambah kasih sayang kedua orang tua kepadanya.
Sekadar contoh orang tua senang atau kebiasaan keduanya kalau pagi adalah minum kopi maka seorang anak siap menyajikan untuk keduanya, membantu pekerjaan ibunya baik memasak, mencuci, menyapu dan pekerjaan rumah lainnya, dan juga menjauhi segala perkara yang kedua orang tua benci, seperti tidur pagi dan bermalas-malasan.
Bila seorang anak melakukan ketaatan-ketaatan ini maka tentu orang tua akan muncul rasa kasih sayang terhadap anaknya tersebut, atau sebagaimana yang kita katakan “minimalnya memberikan toleransi”.
Dan termasuk watak keras orang tua adalah tidak mau dibantah dalam ucapan dan argumennya serta tidak mau kalah dalam pendapatnya, maka jangan sekali-kali seorang anak membantah dan mendebatinya:
{فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا} [الإسراء : 23].
“Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan ucapan uff (ah) dan jangan sekali-kali membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia (lembut)”.
Hendaknya seorang anak memunculkan sikap yang terbaik dalam prilaku kesehariannya, memberikan ketaatan kepada ibu-bapaknya, tidak rugi kalau seorang anak menjadikan dirinya di sisi ibu-bapaknya seakan-akan pembantu rumah tangga, jika dia niatkan untuk “birrul walidain” (berbuat baik kepada kedua orang tua) maka dia akan mendapatkan pahala yang banyak dan tujuannya supaya mendapatkan perlakuan baik dari kedua orang tuanya Insya Alloh akan tercapai.
Sungguh betapa indah perkataan seorang penuntut ilmu di negri Yaman yang beliau adalah berkebangsaan Indonesia, dia berkata dalam nasehatnya kepada saudaranya:
Sekarang kita hidup di tengah-tengah fitnah, kema’siatan, penyelewengan dan pelanggaran terhadap syari’at ada dimana-mana, jika kamu merasa khowatir terhadap keselamatan agamamu maka lihatlah kepada seorang wanita yang dia hidup bersendirian di tengah-tengah linkungan yang penuh dengan berbagai kema’siatan dan penyelewengan namun dia bisa istiqomah di atas manhaj dan aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah.
Ditulis oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar