بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه، وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُ الله ورَسُولُه. أمّا بعدُ:
Ketika kami masih di Tanah Air, pernah kami mendengar bahwa ada seorang da’i hizbiy mengadakan debat dengan seorang da’i sufiy, seorang da’i sufiy menyebutkan “lihat orang Wahhabiy tidak membolehkan para prempuan menyetir mobil”
Dengan melihat hal tersebut, juga dengan adanya pertanyaan tentang hukum bagi wanita mengendarai sepeda motor atau sepeda ontel maka pada kesempatan ini kami akan menjelaskan permasalahan tersebut.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
“خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الْإِبِلَ نِسَاءُ قُرَيْشٍ”.
“Sebaik-baik para wanita yang mereka menunggangi onta adalah para wanita Quroisy”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dan Muslim, dari Abu Huroiroh.
Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“ولم تركب مريم ابنة عمران بعيرا قط”.
“Dan tidaklah Maryam putri Imron menunggangi onta sama sekali”.
Wanita Quroisy dan Maryam putri Imron masing-masing mereka memiliki keutamaan-keutamaan tersendiri, wanita-wanita Quroisy menaiki (menunggangi) onta atau kendaraan berkaki empat bukan dalam keadaan bersendirian akan tetapi ada yang menemani mereka, hal ini sebagaimana telah kita dapatkan diantaranya:
Di dalam kisah keluarnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersama prajurit kaum muslimin. Merupakan kebiasaan beliau, bila hendak keluar (safar) maka beliau mengundi siapa dari para istrinya yang ikut keluar bersama beliau.
Pada suatu saat beliau keluar yang menyertai beliau adalah istri tercintanya yaitu Ash-Shiddiqah bintu Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘anhuma.
Asy-Syaikhon meriwayatkan di dalam “Shohih” keduanya, bahwasanya Ash-Shiddiqoh berkata:
“كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ أَزْوَاجِهِ فَأَيُّهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا رَسُولُ اللهِ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ مَعَهُ، فَأَقْرَعَ بَيْنَنَا فِي غَزْوَةٍ غَزَاهَا فَخَرَجَ فِيهَا سَهْمِي فَخَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ بَعْدَ مَا أُنْزِلَ الْحِجَابُ فَكُنْتُ أُحْمَلُ فِي هَوْدَجِي”.
“Dahulu Rosululloh jika menginginkan untuk safar, maka beliau mengundi di antara istri-istri beliau, siapa diantara mereka yang jatuh undian padanya maka RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersamanya. Beliau mengundi diantara kami pada suatu peperangan yang beliau berperang padanya, maka jatuh undiannya padaku, akupun keluar bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam setelah diturunkannya ayat hijab, dan aku ketika itu dibawah di dalam haudaj (tandu)ku”.
Haudaj adalah tandu yang biasa ditempati oleh para raja atau permaisuri atau tuan putri raja, dan “haudaj” ini bentuknya ada dua:
Pertama: Dipikul oleh prajurit atau para pengawal di atas pundak-pundak mereka.
Kedua: Diletakan di atas onta atau yang semisalnya kemudian dibawa, dan para pengawal berjalan di sekelilingnya.
Pada kelanjutan kisah tersebut Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘anha keluar dari “haudaj“nya untuk menunaikan hajatnya, kemudian balik ke “haudaj“nya ternyata prajurit sudah membawa “haudaj“nya, Ash-Shiddiqoh berkata:
“الَّذِينَ كَانُوا يَرْحَلُونَ لِي فَاحْتَمَلُوا هَوْدَجِي فَرَحَلُوهُ عَلَى بَعِيرِي الَّذِي كُنْتُ رَكِبْتُ وَهُمْ يَحْسِبُونَ أَنِّي فِيهِ”.
“Mereka (para prajurit) yang mereka awalnya membawaku maka mereka membawa tanduku, mereka membawanya di atas ontaku yang aku naik di atasnya, mereka menyangka bahwa aku berada di dalamnya”.
Dengan pristiwa itu, Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘anha ditinggal di perjalanan, Ash-Shiddiqoh kemudian menceritakan:
“فَبَيْنَا أَنَا جَالِسَةٌ فِي مَنْزِلِي غَلَبَتْنِي عَيْنِي فَنِمْتُ وَكَانَ صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ الذَّكْوَانِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْجَيْشِ فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِيفَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ فَعَرَفَنِي حِينَ رَآنِي وَكَانَ رَآنِي قَبْلَ الْحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي وَوَاللهِ مَا تَكَلَّمْنَا بِكَلِمَةٍ وَلَا سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً غَيْرَ اسْتِرْجَاعِهِ وَهَوَى حَتَّى أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ فَوَطِئَ عَلَى يَدِهَا فَقُمْتُ إِلَيْهَا فَرَكِبْتُهَا فَانْطَلَقَ يَقُودُ بِي الرَّاحِلَةَ حَتَّى أَتَيْنَا الْجَيْشَ”.
“Ketika aku duduk di tempat peristrahatanku, maka rasa ngantuk mengalahkanku, akupun tertidur, dan Shofwan Ibnul Mu’aththol As-Sulamiy Adz-Dzakwaniy termasuk dari belakang prajurit, maka menjadilah beliau berada di tempatku, beliau melihat sosok hitam dari manusia yang tidur, beliau mengenalku ketika beliau melihatku, dan beliau sudah pernah melihatku sebelum turunya ayat hijab, maka aku terbangun karena mendengar ucapan “istirjaa’” (Innaa Lillaahi Wainnaa Ilaihi Rooji’un), setelah beliau mengenalku aku menutupkan wajahku dengan jilbabku, dan demi Alloh beliau tidak mengajak bicara kami dengan sekatapun, dan aku tidak mendengar darinya sekatapun melainkan hanya “istirjaa’“nya, dan beliau sampai menundukan kendaraannya lalu didudukan tangannya akupun berdiri padanya lalu menungganginya, kemudian beliau berjalan kaki dengan membawa tali kendali (tunggangan) yang aku mengendarainya sampai kami mendapati prajurit”.
Dari kisah tersebut kita dapat mengambil beberapa hukum yang berkaitan dengan wanita mengendarai kendaraan:
Awal perjalanan Ash-Shiddiqoh adalah naik di atas haudaj yang diletakan di atas onta, Ash-Shiddiqoh mengikuti kemana onta diarahkan, yang berjalan kaki di sekeliling onta merekalah yang mengarahkan (menyetir) onta, Ash-Shiddiqoh keadaannya selaku “permaisuri” berdiam diri di dalam haudaj-nya.
Keadaan Ash-Shiddiqoh ini diselisihi oleh para “tuan putri” umat ini, mereka berbondong-bondong mengendarai mobil, sepeda motor, sepeda ontel atau bahkan mengendarai perahu kole-kole dalam keadaan bersendirian tanpa ada yang mengontrol, mengawal dan memantau.
Adapun Ash-Shiddiqoh selaku “permaisuri” maka suaminya berada di depannya dan disekelilingnya adalah para shohabat Nabi yang mereka adalah para prajurit yang Alloh Ta’ala telah menjaga keimanan mereka:
{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ} [البقرة: 137].
“Jika mereka beriman seperti apa yang kalian (para shohabat Nabi) beriman padanya maka sungguh mereka mendapat hidayah, namun apabila mereka berpaling maka sesungguhnya mereka berada di dalam kedurhakaan”. (Al-Baqoroh: 137).
Para “tuan putri” umat ini bermudah-mudahan dalam menyelisih salafiyyah mereka, dengan alasan biar berilmuatau mendapatkan ilmu merekapun mengayuhkan kaki-kaki mereka dalam mendorong roda sepeda ontel, atau bahkan mengendarai sepeda motor atau mobil dalam keadaan bersendirian menuju TN “taman noda-noda dosa“.
Para wanita di dunia Islam adalah sangat dimuliakan, mereka diperlakukan seperti “tuan putri” atau “permaisuri” di dalam suatu kerajaan, keluar dari istana dijaga dan diawasi, melakukan safar wajib dikawal, mengendarai suatu kendaraan maka disetirkan.
Seorang suami berkewajiban untuk memenuhi hak-hak istrinya, begitu pula seorang bapak berkewajiban memenuhihak-hak putri-putrinya, bila mereka ingin menghadiri suatu pengajian khusus para wanita, maka diantar kemudian dijemput untuk pulang, tidak dibiarkan menginap di suatu tempat yang bukan “istana”nya, RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«مَا مِنَ امْرَأَةٍ تَخْلَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِهَا إِلَّا هَتَكَتْ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ
اللَّهِ تَعَالَى».“Tidaklah dari dari seorang wanita menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya melainkan dia telah menyobek apa yang diantaranya dan diantara Alloh Ta’ala”. Hadits ini adalah shohih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baghowiy.
اللَّهِ تَعَالَى».“Tidaklah dari dari seorang wanita menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya melainkan dia telah menyobek apa yang diantaranya dan diantara Alloh Ta’ala”. Hadits ini adalah shohih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baghowiy.
“قَولهُ: «مَا مِنَ امْرَأَةٍ تَخْلَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِهَا» يَشملُ الحماماتِ وغيرَها، حتَّى لَوْ خلعتهَا فِي أَماكنَ أخرَى، لكن -كما هو معلوم- إذا كان الخلع فِي بيت سكنته مع أهلها أو كانوا في مكان وهم مسافرون واستأجروا شقة أو ما شابه ذلك؛ فهذا يعتبر بيتهم، وَكذلك إذا كَانت فِي بيت أهلها وخلعته للحاجة -كالاستحمام مثلاً- فَلا بأس”.
“Perkataannya: “Tidaklah dari seorang wanita menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya”, ini mencakup tempat-tempat pemandian (kamarmandi) dan yang selainnya, sampai walaupun menanggalkannya di tempat-tempat yang lain, akan tetapi sebagaimana telah diketahui, jika keberadaan menanggalkan itu di suatu rumah yang dia tempat bersama keluarga (ya’ni mahrom)nya atau dia di tempat yang mereka adalah orang-orang yang safar dan mereka menyewah apartemen (hotel) atau yang semisal itu, maka ini teranggap rumah mereka, dan demikian pula jika keberadaannya di rumah mahromnya dan dia menanggalkan pakaiannya karena hajat seperti mandi misalnya maka ini tidak mengapa”. Diambil dari kitab “Tarbiyatun Nisa“, dari hasil kutipan penjelasan Asy-Syaikh Al-’Abbad di dalam “Syarhu Sunani Abi Dawud”.
Dari keterangan ini maka menunjukan batilnya da’wah para da’i yang menyerukan kepada “TN”, bagaimanapun hujjah mereka, bagaimanapun alasan mereka, baik karena dibangun di atas perasaan ataupun anggapan batil atau ta’wilan rusak tetap mereka telah salah besar.
Da’wah mereka berupa TN itu adalah da’wah yang bersumber dari negri Barat, yang mereka berusaha untuk melepaskan kehormatan para “tuan putri” umat ini supaya hidup sesat semisal mereka, mereka bersengaja menyediakan sarana-sarana untuk memancing para “tuan putri” umat ini supaya terpikat yang pada akhirnya mereka mampu meni’mati atau merusak kehormatan para “tuan putri ” umat ini.
Dengan ini kita katakan dengan seterang-terangnya dan sejelas-jelasnya, bila masih didapati ada dari da’i yang mengaku sebagai Ahlissunnah namun menda’wahkanTN atau membelanya atau bekerjasama untuk kepentingan TN itu maka sungguh dia adalah “mufsid” (pembuat kerusakan), “shohibu hawa” (pengekor hawa nafsu) dan “mubtadi’” (pembuat kebid’ahan), walaupun dia mengaku berdiri di belakang ulama atau merasa memiliki ulama atau walaupun dia ditazkiyah dan didukung oleh ulama tetap keadaannya seperti itu:
{فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ} [يونس : 32]
“Maka tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan”. (Yunus: 32).
Pertanyaan:
Bagaimana kalau seorang wanita yang memiliki mahrom namun mahromnya tidak sempat mengantarnya untuk menghadiri pengajian khusus para wanita?.
Jawaban:
Dia berdiam di dalam rumahnya sebagaimana yang dikatakan oleh Abu HuroirohRodhiyallohu ‘anhu tentang Maryam putri Imron Rodhiyallohu ‘anhuma:
“ولم تركب مريم ابنة عمران بعيرا قط”.
“Dan tidaklah Maryam putri Imron menunggangi onta sama sekali”.
Alloh Ta’ala telah perintahkan para “permaisuri” dan “tuan putri” umat ini untuk menetap di dalam rumah mereka:
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ}[الأحزاب: 33]
“Dan menetaplah kalian di dalam rumah-rumah kalian”. (Al-Ahzab: 33).
Adapun yang berkaitan tentang tidak diperkenankannya bagi wanita mengendarai kendaraan sendirian maka telah ada fatwa para ulama Rohimahumulloh, diantara mereka adalah Al-Imam Al-Wadi’iy, Ibnu Bazz, Ibnul Utsaimin. Walhamdulillah.
Ditanggapi oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy. ‘Afallohu ‘anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar