Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Derasnya Air Hujan Dapat Mematikan Api Fitan

Air Hujan Deras
بسم الله الرحمن الرحيم
قَالَ البُخَارِيُّ رَحِمَهُ الله: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ قَالَ: مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ.
Al-Bukhoriy Rohimahullohberkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibnul ‘Ala’, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Buroid bin ‘Abdillah, dari Abi Burdah, dari Abu Musa, dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau berkata: “Permisalan apa-apa yang Alloh mengutusku dengannya dari al-huda (petunjuk) dan al-ilmu seperti permisalan air hujan yang banyak, yang menimpa bumi (tanah), ada yang keberadaan dari tanah itu adalah subur, dia menerima air, maka dia menumbuhkan rumput-rumputan dan tumbuh-tumbuhan yang banyak. Dan ada pula yang keberadaan dari tanah itu gersang, dia menahan (menampung) air, Alloh memberikan manfaat dengannya terhadap manusia, mereka meminum dan memberi minum serta menyirami kebun-kebun mereka. Dan keberadaan air (hujan) itu menimpa darinya sekelompok yang lain, hanyalah keberadaan dia adalah lembah yang tidak menampung air dan tidak menumbuhkan rumput-rumputan. Demikian itu semisal orang yang mempelajari agama Alloh dan memberikan manfaat kepadanya terhadap apa-apa yang Alloh mengutusku dengannya, dia mempelajari dan mengajarkannya. Dan permisalan bagi orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap demikian itu dan dia dia tidak menerima petunjuk Alloh yang aku diutus dengannya“.

FAEDAH DARI JALUR PERIWAYATAN HADITS:
Perkataan kami:
(Al-Bukhoriy Rohimahulloh berkata)
Al-Bukhoriy beliau adalah Muhammad bin Isma’il Abu Abdillah berasal dari Bukhoro. Beliau termasuk salah satu ulama yang bukan berkebangsaan Arob, beliau termasuk ulama Ahlissunnah wal Jama’ah yang paling dibenci oleh Hutsah-Rofidhoh, alasan mereka membenci Al-Bukhoriy karena beliau adalah Isroil-Amerika, bukan dari Arob dan bukan pula dari Ahlil bait.
Dari keterangan ini kita dapat mengambil suatu pelajaran bahwasanya “kebencian dengan tanpa kebenaran adalah sumber segala kerusakan”, kaum Hutsah-Rofidhoh dengan kebencian mereka terhadap Al-Bukhoriy mengakibatkan mereka menolak kebenaran, betapa banyak kebenaran di dalam kitab “Shohih Al-Bukhoriy” mereka tolak karena bersumber dari kebencian mereka kepada Al-Bukhoriy.
Prilaku seperti kaum kafir ini bila ada yang mengikutinya maka kita khawatirkan akan terjerumus ke dalam kesesatan, tidaklah membuat orang-orang menyimpang bertambah jatuh ke dalam penyimpangan dan kesesatan melainkan karena mereka tidak menerima kebenaran yang disampaikan oleh selain mereka, dengan sebab mereka merasa lebih baik, lebih berpengalaman dan lebih berilmu dengan itu membuat mereka menolak kebenaran, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«الْكِبْرُ مَنْ بَطَرَ الْحَقَّ وَغَمَطَ النَّاسَ».
“Kibr (sombong) adalah orang yang menolak kebenaran dan meremehkan manusia”.Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Huroiroh.
Kemudian diantara pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan hidup Al-Bukhoriy Rohimahulloh adalah kesabaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi fitnah, beliau terkenal sebagai penuntut ilmu sejati, beliau menimba ilmu dari negri ke negri, tidaklah beliau menuntut ilmu di suatu negri melainkan beliau bisa memberi manfaat dengan ilmunya kepada umat.
Ketika beliau datang ke suatu negri yang di negri tersebut salah seorang syaikhnya memiliki banyak thullab, karena beliau sudah dikenal sebagai orang yang ‘alim, maka thullab dari syaikhnya berbondong-bondong menghadiri majelis beliau, dengan itu menimbulkan penyakit hati bagi yang tidak suka, beliaupun diuji dengan pertanyaan yang diinginkan dengannya suatu fitnah, dengan pristiwa itu mengharuskan beliau untuk meninggalkan negri tersebut.
Jika kita melihat keadaan beliau, ketika diberikan suatu fitnah lalu dituduhkan dengan suatu tuduhan, tidaklah membuat beliau membalas membuat fitnah yang serupa atau membuat provokasi massal, jika kita melihat terhadap keadaan beliau maka sungguh beliau memiliki pengaruh yang besar di tengah umat, namun beliau tabah dan sabar atas fitnah itu.
Dengan bersikap seperti ini tidaklah menjatuhkan nama baik beliau, bahkan beliau bertambah terangkat derajatnya sebagaimana yang kita dapati sekarang ini, siapakah yang lebih harum namanya dan lebih tinggi keutamaannya?, apakah mereka yang membuat fitnah terhadap beliau ataukah beliau yang lebih harum namanya dan lebih tinggi keutamaannya?!, sungguh benar janji Alloh Ta’ala:
{ إِنَّ اللَّهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ} [الحج: 38].
“Sesungguhnya Alloh membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai setiap orang yang berkhianat lagi mengingkari ni’mat”. (Al-Hajj: 38).
Demikianlah keadaan seseorang kalau merasa diri di atas al-haq, walaupun dia dituduh dengan suatu tuduhan, difitnah dan dizholimi tidaklah membuatnya terbalik atau terjungkir. Dengan kekokohannya di atas al-haq maka kita perumpamakan seperti yang Alloh Ta’ala katakan:
{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِتُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ . وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ . يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ} [إبراهيم: 24-27].
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Robbnya. Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka memikirkan. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Alloh mengokohkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Alloh menyesatkan orang-orang yang zholim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (Ibrohim: 24-27).
Berbeda dengan orang yang di atas kebimbangan, bila dituduhkan dengan suatu tuduhan atau diberikan fitnah maka diapun murka dan dendam hingga melakukan perbuatan yang serupa atau bahkan lebih zholim, baik dengan mengeluarkan kalimat-kalimat yang buruk dari lisanya atau prilaku-prilaku yang terpuruk, dengan perumpamaan di atas cukup sebagai bahan renungan:
{وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ} [العنكبوت: 43].
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak memahaminya melainkan hanya orang-orang yang memiliki ilmu”. (Al-’Ankabut: 43).
Al-Bukhoriy Rohimahulloh keberadaannya di atas al-haq dan beliau dalam keadaan dizholimi, tidak kita dengarkan atau tidak pula kita dapati bahwa beliau menuntut kepada orang-orang yang menzholimi beliau untuk datang kepada beliau meminta maaf.
Orang yang sadar kalau merasa dirinya berbuat salah kepada orang lain maka dia akan meminta maaf dengan tanpa harus dituntut.
Adapun kalau dituntut atau dipaksauntuk meminta maaf maka tidaklah akan membuahkan ketenangan jiwa, berbeda dengan yang ikhlas dan tulus datang meminta maaf maka setelah itu hatinya akan tenang dan legah.
Adapun kalau ada yang bersalah kepada orang lain atau menzholiminya namun tidak meminta maaf maka sungguh kejelekan jiwanya telah menghiasi dirinya, sehingga dia menganggap bahwa dia di atas kebaikan:
{الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا} [الكهف: 104].
“Orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (Al-Kahfi: 104).

Perkataannya:
(Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibnul ‘Ala’).

Ibnu Hajr Rohimahulloh berkata tentangnya:
هو أبو كريب مشهور بكنيته أكثر من اسمه
“Beliau adalah Abu Kuroib, beliau lebih banyak dikenal dengan kuniyahnya dari pada namanya”.
Al-Bukhoriy Rohimahulloh menyebutkan beliau dengan menyebutkan nama disertai dengan nama bapaknya supaya para pembaca mampu membedakan, karena Al-Bukhoriy memiliki beberapa masyasyikh yang bernama Muhammad, dan bahkan beliau sendiri bernama Muhammad.
Dari keterangan ini memberikan pengajaran kepada kita untuk selalu jujur dalam segala hal, tidak dibenarkan bagi kita untuk menukil dari orang yang jelas kemudian kita tidak memperjelas orangnya.
Kita katakan demikian karena termasuk dari sebab munculnya fitnah di tengah-tengah umat karena munculnya penukilan-penukilan yang tidak jelas, baik tidak jelas dalam menikul atau tidak jelas pula kepada siapa yang dia nukil, sehingga terkadang dengan prilaku seperti ini memunculkan kesalah fahaman dan berujung kepada fitnah.
Dengan adanya pengetahuan kita tentang masalah ini maka hendaknya kita terapkan ya’ni memperjelas sumber penukilan dan kepada siapa yang kita nukil sehingga tidak menimbulkan fitnah, Alloh Ta’ala berkata:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ} [الحجرات: 6].
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu”. (Al-Hujarot: 6).
Perkataannya: (Muhammad Ibnul ‘Ala’ berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah), beliau menyebutkan Hammad disertai pula dengan nama bapaknya Salamah, hal demikian itu supaya para pembaca tidak mengira itu adalah Hammad bin Zaid, dan maksud hal ini telah kita jelaskan.

Penyebutan Al-Bukhoriy:
 (Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibnul ‘Ala’)
Jika kita melihat kitab-kitab hadits maka sangat jarang kita dapati dari mereka mengatakan: “Telah mengabarkan kepada kami Syaikhuna (guru kami)”, namun mereka menyebutkan langsung nama-nama dengan tanpa embel-embel “Syaikhuna”.
Kita dapat mengambil pelajaran dari sini, bahwa dengan tidak menyebutkan gelar seperti “syaikh” atau “ustadz” bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan, tidak dibenarkan dengan sebab ini kemudian memunculkan suatu fitnah dan makar, orang yang lebih baik dari kita semisal para shohabat dan tabi’in, tidaklah kita dapati setiap nama mereka ditulis dengan gelar-gelar, bahkan terkadang mereka diseru dengan tanpa menyebut gelar seperti itu, sebagaimana di dalam “Shohih Al-Bukhoriy“:
قَالَ سَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ الْأَزْدِيُّ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيهِ وَسَلّمَ يُصَلِّي فِي نَعْلَيْهِ قَالَ نَعَمْ
“Sa’id bin Yazid Al-Azdiy berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, apakah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dahulu sholat di atas ke dua sandalnya?, Beliau berkata: “Iya”.

Perkataannya:
(Dari Buroid bin ‘Abdillah, dari Abu Burdah, dari Abu Musa)
Ibnu Hajar Rohimahulloh berkata:
“Buroid (dengan mendhommah huruf al-ba’), Abu Burdah adalah kakeknya, yang dia adalah putra Abu Musa Al-Asya’riy”.
Dengan rentetan sanad ini kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya mengajari anak cucu, Abu Musa Al-Asy’ariy Rodhiyallohu ‘anhu adalah seorang shohabat mulia, beliau mengajarkan hadits ini kepada putranya sebagai bentuk pengamalan dari perkataan Alloh Ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا} [التحريم: 6].
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari neraka”. (At-Tahrim: 6).
Mengajari anak cucu adalah termasuk solusi yang paling tepat dalam menghindar dari fitnah.
Api fitnah akan terus berkobar pada setiap saat dan setiap zaman, yang tidak mengetahui keberadaan suatu fitnah maka dia dikhawatirkan akan terbakar oleh api fitnah.
Adapun bagi yang memiliki ilmu yang banyak mengambil pelajaran dari fitnah yang pernah terjadi maka dia akan berhati-hati dalam berkata, melangkah dan bersikap, dia akan menyabarkan dirinya dari ikut ke dalam fitnah karena mengharap keridhoaan Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya:
«إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ وَلَمَنِ ابْتُلِىَ فَصَبَرَ فَوَاهًا».
“Sungguh kebahagiaan adalah bagi siapa yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, sungguh kebahagiaan adalah bagi siapa yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, sungguh kebahagiaan adalah bagi siapa yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, dan barang siapa yang ditimpa (suatu fitnah) lalu dia bersabar maka sangat menakjubkan”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Al-Muqdad Ibnul Aswad.

FAEDAH DARI NASKAH HADITS
Perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
Permisalan apa-apa yang Alloh mengutusku dengannya dari al-huda (petunjuk) dan al-ilmu seperti permisalan air hujan yang banyak, yang menimpa bumi (tanah), ada yang keberadaan dari tanah itu adalah subur, dia menerima air, maka dia menumbuhkan rumput-rumputan dan tumbuh-tumbuhan yang banyak. Dan ada pula yang keberadaan dari tanah itu gersang, dia menahan (menampung) air, Alloh memberikan manfaat dengannya terhadap manusia, mereka meminum dan memberi minum serta menyirami kebun-kebun mereka. Dan keberadaan air (hujan) itu menimpa darinya sekelompok yang lain, hanyalah keberadaan dia adalah lembah yang tidak menampung air dan tidak menumbuhkan rumput-rumputan. Demikian itu semisal orang yang mempelajari agama Alloh dan memberikan manfaat kepadanya terhadap apa-apa yang Alloh mengutusku dengannya, dia mempelajari dan mengajarkannya. Dan permisalan bagi orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap demikian itu dan dia dia tidak menerima petunjuk Alloh yang aku diutus dengannya“.
Dari hadits tersebut dapat kita memetik beberapa faedah diantaranya:
Manusia terbagi kepada tiga kelompok:
Yang Pertama: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam permisalkan mereka dengan “air hujan yang banyak, yang menimpa tanah, ada yang keberadaan dari tanah itu adalah subur, dia menerima air, maka dia menumbuhkan rumput-rumputan dan tumbuh-tumbuhan yang banyak“.
Dari setiap permisalan itu memberikan ma’na tersendiri, air hujan adalah permisalan dari ilmu dan hidayah, tanah adalah permisalan dari hati yang berada di dalam dada.
Ketika ilmu dan hidayah datang kepadanya maka dia menerima, mengikuti dan mengamalkannya, dengan itu menjadikannya seakan-akan “tanah yang subur“, karena dia mampu memahami, menghafal dan menda’wahkannya.
Dengan apa yang dia miliki dari ilmu dan hidayah diapun memberikan manfaat kepada dirinya dan yang lainnya, dan apa yang dia miliki menjadi amal jariyah yang terus mengalir manfaatnya dari yang selainnya, hingga semuanya tumbuh subur sebagaimana dirinya.
Yang Kedua: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam permisalkan mereka dengan “tanah itu gersang, dia menahan (menampung) air, Alloh memberikan manfaat dengannya terhadap manusia, mereka meminum dan memberi minum serta menyirami kebun-kebun mereka”.
Pada kelompok ini dia diperumpakan hatinya seperti “tanah yang gersang” yaitu dia tidak memiliki kemampuan dalam memahami dan menghafal dan tidak pula mampu mengajarkannya, akan tetapi dia bisa menampung ilmu dan hidayah itu, lalu dia sebarkan kepada yang lainnya.
Dia tidak bisa berda’wah dengan lisan atau dengan tulisannya namun dia sanggup berda’wah dengan menyebarkan tulisan dari yang selainnya, jika dia mendapati ilmu dari saudaranya maka dia terima ilmu tersebut lalu dia menyebarnya kepada orang lain, baik dengan cara mencetaknya atau menyebarkannya lewat situs internet atau lewat sarana-sarana da’wah lainnya, maka “Alloh memberikan manfaat dengannya terhadap manusia”, dengan sebabnya manusiapun bisa hidup di atas cahaya ilmu dan hidayah, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ».
“Barang siapa menunjukan kepada kebaikan maka untuknya pahala semisal pahala orang yang melakukannya”. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshoriy.
Yang Ketiga: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam permisalkan mereka dengan “keberadaan air (hujan) itu menimpa darinya sekelompok yang lain, hanyalah keberadaan dia adalah lembah yang tidak menampung air dan tidak menumbuhkan rumput-rumputan“.
Pada kelompok ini adalah paling jelek, ilmu dan hidayah sampai kepadanya namun tidak menyentuh hatinya, hatinya keras dan tidak mau menerima ilmu dan hidayah.
Dia juga tidak mau menampung ilmu untuk kemudian menyebarkannya dan tidak pula membantu dalam menyampaikan ilmu, maka perumpamaan kelompok ini seperti yang Alloh Ta’ala permisalkan di dalam Al-Qur’an:
{وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ} [الأعراف: 176].
‘Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, akan tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dia mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya maka dia mengulurkan lidahnya (juga)”. (Al-A’rof: 176).
Alloh Ta’ala berkata tentang orang semisal itu:
{وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ} [الأعراف: 179].
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Alloh) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Alloh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alloh). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Al-A’rof: 179).
Demikian tulisan ringkas ini kami tuliskan semoga bermanfaat.
Ditulis oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar