Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

BERBEKAM DIHARI RABU ?


  BERBEKAM DIHARI RABU ?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Apa derajat hadits larangan berbekam pada hari rabu itu dhoif?  
Jawab:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أما بعد:
                Adapun lafadz haditsnya:
فَاحْتَجِمُوا عَلَى بَرَكَةِ اللهِ يَوْمَ الْخَمِيسِ , وَاجْتَنِبُوا الْحِجَامَةَ يَوْمَ الأَرْبِعَاءِ , وَالْجُمُعَةِ , وَالسَّبْتِ , وَيَوْمَ الأَحَدِ
Berbekamlah kalian atas berkahnya Alloh pada hari Kamis dan berbekamlah pada hari Senin dan Selasa. Dan jauhilah kalian berbekam pada hari Rabu dan Jum’at dan Sabtu dan Ahad.
                Maka hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah di dalam “Sunan”nya, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana di dalam “Shohihu Ibni Majah” dan di dalam “Al-Misykah” beliau mendhoifkannya.
                Kami katakan:
                وقد صرَّح بضعفها الإمام ابن حجر في “الفتح“.
                Dan sungguh Al-Imam Ibnu Hajar di dalam “Al-Fath” telah memperjelas kedho’ifan hadits tersebut. Beliau –semoga Alloh merahmatinya- berkata:
وقد ورد في تعيين الأيام للحجامة حديث لابن عمر عند ابن ماجة رفعه في أثناء حديث وفيه فاحتجموا على بركة الله يوم الخميس واحتجموا يوم الإثنين والثلاثاء واجتنبوا الحجامة يوم الأربعاء والجمعة والسبت والأحد.
                Dan sungguh telah ada hari-hari tertentu tentang hijamah (berbekam) diantaranya hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Ibnu Majah, beliau me-rofa’-kannya (mengangkat haditsnya sampai kepada Nabi) pada pertengahan haditsnya, yang pada hadits tersebut: “Berbekamlah kalian atas berkahnya Alloh pada hari Kamis dan berbekamlah pada hari Senin dan Selasa. Dan jauhilah kalian berbekam pada hari Rabu dan Jum’at, Sabtu dan Ahad”.
أخرجه من طريقين ضعيفين وله طريق ثالثة ضعيفة أيضا عند الدارقطني في الأفراد وأخرجه بسند جيد عن بن عمر موقوفا ونقل الخلال عن أحمد أنه كره الحجامة في الأيام المذكورة وإن كان الحديث لم يثبت.
                Hadits ini diriwayatkan dari dua jalur, yang keduanya dho’if, dan pada hadits tersebut ada jalur yang ketiga, yang dia juga dhoif, yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny di dalam “Al-Afrod”. Dan diriwayatkan dengan sanad yang bagus dari Ibnu ‘Umar secara mauquf (berhenti pada Ibnu ‘Umar/tidak sampai kepada Nabi). Dan telah menukilkan Al-Khollal dari Ahmad bahwasanya beliau membenci berbekam pada hari-hari yang telah disebutkan walaupun hadits tidak tsabit (tidak shohih).
                Jadi ringkasan dari keterangan tersebut bahwa kapan saja seseorang ingin berbekam maka boleh baginya untuk memilih hari yang dia inginkan, yang dilarang hanya ketika dia berpuasa karena akan membatalkan puasanya, Al-Imam Ibnu Majah berkata di dalam “Sunan”nya:
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ ، وَدَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ ، قَالاَ : حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ بِشْرٍ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ.
“Telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Muhammad Ar-Ruqay dan Dawud bin Rusyaid keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Mu’ammar bin Sulaiman, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Bisyr dari Al-A’masy dari Abi Sholih dari Abu Huroiroh, beliau berkata: Rosululloh (صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ) berkata: “Telah batal puasa orang yang membekam dan dibekam”.
                Jika ada yang berkata bahwa berbekam tidak membatalkan puasa dengan berdalil perkataan Abdulloh bin ‘Abbas –semoga Alloh meridhoi keduanya- sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhory di dalam “Shohih”nya:
إنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ
Sesungguhnya Nabi (صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ) berbekam dan beliau muhrim(melakukan ihrom/ibadah haji) dan beliau berbekam sedangkan beliau berpuasa.
                Maka kita katakan: Apa yang beliau katakan ini telah diselisihi banyak para shahabat diantaranya Abdulloh bin ‘Umar yang beliau memilih pendapat tentang batalnya puasa bagi orang yang berbekam dan yang membekam, sebagaimana Al-Imam Al-Bukhory meriwayatkannya secaramu’allaq (tanpa menyebutkan sanad) dengan shighoh jazm (bentuk pasti/shohih):
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ تَرَكَهُ فَكَانَ يَحْتَجِمُ بِاللَّيْلِ
Dan dahulu Ibnu ‘Umar –semoga Alloh meridhoi keduanya- berbekam dan dia puasa, kemudian beliau meninggalkannya, dan beliau berbekam pada malam hari.
                Dan Al-Imam Al-Bukhory menyebutkan pula:
وَاحْتَجَمَ أَبُو مُوسَى لَيْلاً.
Dan Abu Musa (Al-Asy’ary –semoga Alloh meridhoinya-) berbekam pada malam hari.
                Pada dua atsar ini tidak ada penjelasan pada malam tertentu maka diambil hukum bahwasanya bekam boleh pada waktu kapan pun selain waktu berpuasa.
            والله أعلم.
                Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limborypada hari Jum’at 1 (satu Romadhon) 1433 Hijriyyah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar