Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

TANYA JAWAB 20 Rojab 1433 Hijriyyah ” Menyibukkan diri ditengah munculnya fitnah “



MENYIBUKAN DIRI DI TENGAH MUNCULNYA FITNAH

Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الرحيم
          Di zaman ini fitnah semakin bertambah dahsyat, maka bagaimana cara mengatasinya?
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبعد:
          Mengatasinya dengan cara:
  • Menyibukan diri dengan ibadah, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamberkata:
«الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ»
“Ibadah di waktu fitnah itu seperti hijroh kepadaku” (HR. Muslim dan Ibnu Majah dari Ma’qil bin Yasar).
  • Menyibukan diri dengan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, berkata Al-Imam Ahmad Rohimahulloh: “Telah menceritakan kepada kami Rouh, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, beliau berkata: Telah mengabarkan kepadaku Hushoin, beliau berkata: Aku mendengar Mujahid mengisahkan dari Abdulloh bin ‘Amr, beliau berkata: Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي، فَقَدْ أَفْلَحَ، وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ»
“Setiap perbuatan itu ada masa semangatnya dan setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan)nya, maka barang siapa yang masa futurnya (dialihkan) kepada sunnahku maka sungguh dia telah beruntung dan barang siapa yang masa futurnya (dialihkan) kepada selain sunnahku maka sungguh dia telah binasa”.
          Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori –Hafizhahulloh-pada 18 Rojab 1433 Hijriyyah di Ghurfah Abi Saif Firman Al-Amboni- depan masjid Ahlus Sunnah Darul Hadits Dammaj-Yaman.

MAULID NABI TIDAK ADA DALILNYA!

Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الرحيم
قال الحسن البصري، قدس الله سره: وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لانفقته على قراءة مولد الرسول 
 “Seandainya aku memiliki emas seumpama gunung Uhud, niscaya aku akan menafkahkannya (semuanya) kepada orang yang membacakan Maulid ar-Rasul”. (“Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 415).
Bagaimana penjelasan hadits di atas tentang masalah maulid? Apakah hadits di atas shohih ataukah haditsnya dho’if, mohon penjelasanya. Barokallofu fikum.
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبعد:
          Dia bukan dikatakan hadits (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) akan tetapi dia adalah perkataan yang disandarkan kepada Al-Hasan Al-Bashry Rohimahulloh.
          Bila kita kembali kepada rujukan kitab yang disebutkan maka kita dapati bahwa itu hanya penisbatan kepadanya, karena kita tidak melihat sanad (rantai periwayatan) sampai kepadanya.
          Sudah merupakan bagian dari ilmu hadits adalah mengetahui shohih tidaknya suatu hadits atau atsar (perkataan salaf) maka meninjau kepada matan (lafadz hadits)nya atau sanad (rantai periwatan)nya, contohnya:
          Berkata Al-Imam Ibnu Majah Rohimahulloh:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عُثْمَانَ الدِّمَشْقِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو الْأَسْوَدِ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ بَنَى مَسْجِدًا مِنْ مَالِهِ لِلَّهِ، بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ»
“Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbas bin Utsman Ad-Dimasqy, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim dari Ibnu Lahi’ah, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul Aswad dari Urwah dari ‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata: Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Barang siapa yang membangun masjid dari hartanya karena Alloh maka Alloh membangunkannya baginya istana di dalam jannah”.
          Hadits ini tidak bisa kita langsung menerimanya, akan tetapi perlu kita lihat: Apakah sanadnya shohih ataukah tidak? Apakah matannya shohih ataukah tidak?.
          Pada sanadnya memiliki kecacatan yaitu terdapat dua orang perowi yangdho’if (lemah) yaitu Al-Walid bin Muslim adalah mudallis (bersilat lidah) dan meriwayatkan dari Syaikh (guru)nya dengan lafadz ‘an (dari) sedangkan syaikh-nya (Ibnu Lahi’ah) adalah dho’if (lemah), maka dari keterangan ini jelaslah bahwa hadits tersebut dho’if.
          Akan tetapi kita perlu tinjau dari segi matan (lafadz hadits)nya maka kita dapati bahwa dia teranggap shohih karena ada asalnya di dalam “Ash-Shohihain” dari hadits Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ مِثْلَهُ»
“Barang siapa yang membangun masjid karena Alloh maka Alloh membangunkan untuknya di Jannah semisal itu”.
          Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa hadits tersebut bisa diamalkan karena ada asalnya yang shohih, adapun perkataan yang disandarakan kepada Al-Hasan Al-Bashry Rohimahulloh maka dia tidak memiliki sanad (rantai periwayatan) dan pada matan (lafadz perkataan)nya tidak pula memiliki penguat atau pendukung tentang kebenarannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Wallohu A’lam.
          Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori –Hafizhahulloh-pada 18 Rojab 1433 Hijriyyah di Ghurfah Abi Saif Firman Al-Amboni- depan masjid Ahlus Sunnah Darul Hadits Dammaj-Yaman.

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT 

Pertanyaan:        
بسم الله الرحمن الرحيم
Apakah boleh bagi anak angkat menisbatkan namanya kepada nama bapak angkatnya?
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبعد:
          Tidak boleh bagi seseorang menasapkan namanya kepada bapak angkatnya, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim di dalam “Ash-Shohihain” dan Ibnu Majah di dalam “Sunannya” dari Abu Bakroh Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ»
“Barang siapa mengakui seseorang yang dia bukan bapaknya dan dia mengetahui bahwa itu bukan bapaknya maka harom baginya Jannah”.
          Di dalam “Sunan Ibni Majah” dari Abdulloh bin ‘Abbas datang pula dengan lafadz:   
«مَنِ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ تَوَلَّى غَيْرَ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
“Barang siapa yang menasbkan kepada selain bapaknya atau berwali kepada selain walinya maka Alloh, malaikat dan manusia seluruhnya atasnya mela’nat”.
          Nabi Musa ‘Alaihis Salam adalah anak angkatnya Asiyah Ash-ShiddiqahRodhiyallahu ‘Anha akan tetapi beliau tidak menisbatkan namanya kepada Ibu angkatnya tersebut, tidak dikatakan “Musa bin Asiyah Ash-Shiddiqah”, juga tidak dikatakan “Zaid bin Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, Alloh Ta’ala berkata:
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ} [الأحزاب: 40]
“Dan tidaklah Muhammad adalah bapak dari seseorang dari orang-orang kalian akan tetapi dia adalah Rosululloh dan penutup para Nabi”. (Al-Ahzab: 40).
          Dahulu Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memelihara Zaid bin Haritsah dari sejak kecilnya, kemudian orang-orang memanggilnya dengan nama Zaid bin Muhammad sebagaimana dijelaskan di dalam “Ash-Shohihain” dari Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma:
أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ القُرْآنُ، {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ} [الأحزاب: 5]
“Bahwasanya Zaid bin Haritsah –bekas budaknya Rosululloh Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam- tidaklah kami menyerunya melainkan (dengan seruan) Zaid bin Muhammad, sampai turun Al-Qur’an: “Serulah mereka dengan (nisbat) kepada bapak-bapak mereka, dia lebih adil di sisi Alloh (Al-Ahzab: 5).
          Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori –Hafizhahulloh-pada 19 Rojab 1433 Hijriyyah di Ghurfah Abi Saif Firman Al-Amboni- depan masjid Ahlus Sunnah Darul Hadits Dammaj-Yaman.

MENISBATKAN DIRI KEPADA KAKEK

Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الرحيم
Bolehkah seseorang menisbatkan namanya kepada kakeknya dengan meloncati bapaknya?
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبعد:
          Boleh, dengan syarat dia lakukan itu bukan karena kebencian kepada bapaknya, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبْ، أَنَا ابْنُ عَبْدِ المُطَّلِبْ»
“Saya adalah nabi, bukan pendusta. Saya adalah ibnu (anak)nya Abdul Muththollib”. (HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Baro’ Rodhiyallahu ‘Anhu). Wallohu A’lam.
          Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori –Hafizhahulloh-pada 19 Rojab 1433 Hijriyyah di Ghurfah Abi Saif Firman Al-Amboni- depan masjid Ahlus Sunnah Darul Hadits Dammaj-Yaman.
  

MENUDUH ORANG YANG BERIMAN DENGAN TUDUHAN DUSTA

Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الرحيم
          Diakhir-akhir ini banyak dari orang-orang bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan dosa berupa menuduh seorang mu’min dengan tuduhan dusta seperti zina, luthi (homosex), lesbianfree sex dan yang semisalnya.
          Apakah tuduhan-tuduhan seperti itu termasuk dari dosa besar ataukah hanya dosa kecil?
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبعد:
          Menuduh seorang mu’min dengan suatu tuduhan yang tidak ada padanya adalah termasuk dari dosa-dosa benar, Alloh Ta’ala berkata:
{إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ } [النور: 23]
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita suci, yang menjaga kehormatan, yang beriman dengan tuduhan zina, maka mereka akan dila’nat di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.(An-Nuur: 23).
          Setiap dosa bila ancamannya dengan la’nat atau azab yang pedih maka dia termasuk dari dosa-dosa besar, adapun perbuatan ini (menuduh seorang mu’min dengan tuduhan dusta) maka dia jelas sebagai dosa besar, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ»
“Jauhilah oleh kalian tujuh al-muubiqaat (dosa-dosa besar)!”. Para shahabat bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟
“Ya Rosulallah apa saja dosa-dosa besar itu?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamberkata: -diantaranya-:
«وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ»
“Menuduh wanita suci, yang menjaga kehormatan, yang beriman dengan tuduhan zina”. (HR. Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu).
          Dan orang yang melakukan tuduhan terhadap seseorang dengan tuduhan zina, homosex, lesbian, atau perbuatan keji lainnya bila si penuduh tidak memiliki bukti maka dia mendapatkan hukuman dari hakim (penguasa) dan persaksiannya tidak diterima, Alloh Ta’ala berkata:
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ } [النور: 4]
“Dan orang-orang yang menuduh orang-orang yang menjaga kehormatannya (dengan tuduhan zina) lalu (si para penuduh) tidak mendatangkan empat orang saksi maka cambuklah (si para penuduh) tersebut dengan 80 (delapan puluh) cambukan, dan janganlah kalian menerima persaksian-persaksian mereka selama-lamanya dan mereka itulah adalah orang-orang yang fasiq (pecandu dosa)”. (An-Nuur: 4).
          Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori –Hafizhahulloh-pada 20 Rojab 1433 Hijriyyah di Ghurfah Abi Saif Firman Al-Amboni- depan masjid Ahlus Sunnah Darul Hadits Dammaj-Yaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar