Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم Tidak bisa dimutlakkan seperti itu, namun perlu dirinci: Kalau dia melihat suatu kemungkaran seperti perkara muhdats, lalu dia ingkari, dengan pengingkaran ini kemudian muncul perpecahan, maka orang tersebut tidak bisa dikatakan sebagai mubtadi’, bahkan yang pantas untuk dikatakan sebagai mubtadi’ adalah orang yang membuat perkara muhdats itu.
Diantara contoh seperti ini adalah apa yang pernah dilakukan oleh Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuriy Hafizhohulloh, ketika beliau melihat kemungkaran berupa perkara muhdats yang dilakukan oleh Abdurrohman Al-Adniy dan jaringannya berupa pendataan nama-nama dan upaya penarikan (pemindahan) thullab dengan tanpa adab yang syar’iy, maka Syaikhuna langsung mengingkarinya karena perbuatan itu adalah termasuk sebab munculnya keonaran dan kekacauan.
Pengingkaran beliau tersebut malah dibalas dengan menambah kemungkaran berupa pencarian dukungan dari para ulama, baik yang di Yaman ataupun yang di Saudi, karena Syaikhuna merasa di atas al-haq maka beliau tetap mempertahankan pendiriannya, hingga muncul perpecahan yang berkepanjangan dan meluas ke mana-mana.
Yang tidak mengetahui hakekat kejadian itu, merekapun termakan dengan syubhat para ahlu ahwa’ semisal Usamah ‘Athoyya, mereka bergampang-gampangan mengatakan bahwa Syaikhuna Yahya adalah mubtadi’, karena memecahkan barisan ahlussunnah dan mencela Ubaid Al-Jabiriy, merekapun terapkan kaedah Prof. DR. Robi’ bahwa salah satu sifat Haddadiy adalah mencela Asy-Syaikh Ubaid.
Dengan itu, merekapun membela Ubaid mati-matian, siapa yang menganggap Ubaid sebagai hizbiy maka langsung divonis mubtadi’, pemecah barisan ahlussunnah.
Dengan itu, Syaikhuna Yahya dan siapa saja yang bersamanya dicap sebagai Haddadiyyun.
Prinsip inipun diterapkan oleh jaringan Abdurrohman Al-Adniy di Indonesia, siapa yang mengingkari perkara muhdatsaat mereka dan menjelaskan kejelekan mereka maka mereka katakan sebagai provokator, Sururiyyun, Hajuriyyun.
Hujjah mereka hanya ucapan “karena memecah belah persatuan ahlussunnah”.
Nasehat Prof. DR. Robi’ dan putranya ditebar meluas, fatwa-fatwa ulama tentang pembolehan dan pembelaan terhadap ke-muhdatsaat-an yang mereka adakan mereka sebar luas, yang tidak mengindahkan nasehat itu dikatakan sebagai “Sufaha’, Hajuriyyun, Sururiyyun”.
Para maling tulisan/terjemahan dan para pengemis ikut menyuarakan: “Sufaha’…….”.
Maka sangat tidak dibenarkan kalau kemudian mereka menuduhkan Syaikhuna Yahya Al-Hajuriy dan orang-orang yang bersamanya sebagai Ahlul Bi’dah atau Haddadiyyun karena memecahkan barisan mereka, justru mereka itulah lebih pantas untuk menyandang sebutan “Haddadiyyun” atau “Ahlul Bid’ah” karena terdapat pada mereka:
1. Perkara ke-muhdatsaat-an yang mereka adakan.
2. Membela pembuat perkara muhdats seperti Abdurrohman Al-Adniy dan kawan-kawannya.
1. Perkara ke-muhdatsaat-an yang mereka adakan.
2. Membela pembuat perkara muhdats seperti Abdurrohman Al-Adniy dan kawan-kawannya.
Dengan penjelasan ini maka jelaslah bahwa kaedah memutlakkan setiap orang yang memecahkan barisan suatu kesatuan sebagai mubtadi’ adalah salah, namun perlu dirinci seperti yang telah kami sebutkan, karena keberadaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah sebagai pemecah antara al-haq dan al-bathil, antara Ahlut Tauhid dan Ahlus Syirk, Al-Bukhoriy meriwayatkan dari hadits Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu ‘anhu, beliau berkata:
ومحمد صلى الله عليه وسلم فرق بين الناس
“Dan Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah pemecah (pemisah) di antara manusia”.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy -semoga Alloh merohmatinya-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar