Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

MELATIH ANAK-ANAK UNTUK BERIBADAH



MELATIH ANAK-ANAK UNTUK BERIBADAH

بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
Abu Ahmad saya pernah taklim di masjid Ashhabul Hadits saat itu yang  ceramah Abdul Wahid Al-Jakarty (Abu Qilabah) dia mengatakan bahwa shohabiyyah melatih bayi yang menyusu berpuasa, apakah benar? benarkah Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) menyuruh hal tersebut dan ibunya saja ada keringanan.


Muhammad bin Salim menjawab:
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه، وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Mungkin Al-Ustadz Abdul Wahid Al-Jakartiy semoga Alloh memberikan kefaqihan kepada kami dan kepadanya keliru dalam memahami makna hadits, karena di dalam hadits itu dengan lafadz shibyan atau shobiy. Mungkin beliau membawa makna tersebut kemakna bayi, sebagaimana Alloh (تعالى) katakan tentang kisah Ash-Shiddiqah Maryam semoga Alloh meridhoinya:
{فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا} [مريم: 29]
"Lalu dia mengisyaratkan kepada (bayi)nya, maka mereka berkata: Bagaimana kami akan mengajak bicara orang dalam buayan yang masih keadaan bayi". (Maryam: 29).
Pada ayat tersebut jelas bahwa makna shobiy adalah bayi yang membutuhkan ASI (air susu ibu), dan makna shobiy terkadang umum; mencakup bayi dan juga mencakup anak-anak yang belum baligh, Alloh (تعالى) berkata tentang Nabi-Nya Yahya:
{وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا} [مريم: 12]
"Dan Kami memberinya Al-Hukm (Al-Kitab) dalam keadaan masih anak-anak". (Maryam: 12).
Dan tentang permasalahan makna shobiy yang berkaitan dengan melatihnya untuk puasa maka yang dimaksud adalah anak-anak yang sudah terlepas dari ketergantungan kepada ASI (air susu ibu), sebagaimana hal ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhoriy semoga Alloh merahmatinya di dalam "Ash-Shohih", beliau berkata:
"بَابُ صَوْمِ الصِّبْيَانِ".
"Bab puasanya anak-anak". Kemudian beliau berkata:
وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِنَشْوَانٍ فِي رَمَضَانَ: "وَيْلَكَ، وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ، فَضَرَبَهُ".
"Dan telah berkata Umar semoga Alloh meridhoinya kepada orang yang mabuk pada bulan Romadhon: "Celaka kamu, anak-anak kecil kami (saja) berpuasa, lalu beliau memukulnya".
Kemudian beliau (Al-Bukhoriy) membawakan hadits Ar-Rubayyi' bintu Mu'awwidz bahwasanya dia berkata:
"فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ".
"Dahulu kami berpuasa, dan kami (melatih) anak-anak kecil kami berpuasa, dan kami menjadikan untuk mereka mainan-mainan dari bulu-bulu, jika salah seorang dari mereka menangis untuk makan maka kami memberikannya mainan tersebut hingga dia (terus berpuasa) sampai berbuka".
Pada hadits ini sangat jelas penyebutan tentang anak-anak, yang tentunya adalah anak-anak yang belum baligh, dan makna hadits sangat jelas menunjukan bahwa mereka bukan dari bayi yang masih membutuhkan ASI karena pada lafadz hadits menyebutkan bahwa mereka memiliki keterkaitan dengan makanan "jika salah seorang dari mereka menangis untuk makan" bukan untuk meminum ASI.
Dan Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tidak memerintahkan untuk melatih bayi supaya berpuasa, akan tetapi beliau menyarankan kepada anak-anak untuk dilatih berpuasa sebagaimana Beliau (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) menyarankan untuk melatih mereka dengan sholat, Beliau (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«عَلِّمُوا الصَّبِيَّ الصَّلَاةَ ابْنَ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ»
"Ajarilah oleh kalian anak yang berumur 7 (tujuh) tahun tentang sholat, dan pukullah oleh kalian anak yang berumur 10 (sepuluh) tahun karenanya". Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dari hadits Sabroh bin Ma'bad Al-Juhaniy, dan At-Tirmidziy berkata: Ini adalah hadits hasan".
Dari hadits ini pula semakin memperkuat bahwa anjuran melatih untuk ibadah adalah anak-anak yang belum baligh bukan bayi yang masih membutuhkan ASI.

Pertanyaan:
Sebagian ulama beralasan tentang bolehnya makhluk bernyawa tampil di TV atau di kamera dengan mengkiaskannya kepada bolehnya tampil di depan cermin, atau seperti foto kopy-an, apakah hal tersebut dibenarkan?.

Muhammad bin Salim menjawab:
Hal tersebut tidak bisa dibenarkan baik secara dalil syar'i maupun secara akal, karena gambar makhluk yang ditampilkan di TV itu tersimpan begitu pula yang difoto kopy hasil kopyannya juga disimpan, kapan ingin dimunculkannya maka akan dimunculkan, adapun cermin hanya sekilas yaitu ketika dia berhadapan dengannya saja.
Mereka mengkiaskan dengan cermin bukan pada tempatnya akan tetapi cermin lebih pas untuk dikiaskan dengan perkataan Abdulloh bin Abbas semoga Alloh meridhoi keduanya yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy:
ثُمَّ صَلَّى العَصْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ
"Kemudian beliau sholat ashar ketika segala sesuatu seperti bayangannya".
Jadi sisi pengkiasan di sini bahwa bayangan seseorang ketika masuk waktu ashar itu semisal dengannya baik bentuknya maupun panjangnya kemana dia pergi bayangan itu akan ikut selama dia di bawah terik matahari, begitu pula seseorang ketika berhadapan dengan cermin maka persis bentuknya sama dengan yang dicermin, bila dia tinggalkan cermin tersebut maka bentuk atau bayangannya akan hilang.
Dan Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tidak mengingkari bayangan yang dicermin sebagaimana beliau (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tidak pula mengingkari bayangan seseorang ketika dia berada di terik matahari, adapun gambar makhluk hidup baik itu berbentuk lukisan, ukiran, kamera, foto kopyan, scan-an atau yang semisalnya maka Rosululloh (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) telah mengingkarinya:
«مَنْ صَوَّرَ صُورَةً، فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ، وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا»
"Barang siapa membuat gambar (makhluk yang bernyawa), maka sesungguhnya Alloh akan mengazabnya, sampai dia (diperintah untuk) meniupkan ruh kepada gambar yang dibuatnya, dan dia tidak akan mampu meniupkan ruh kepadanya selama-lamanya". Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon di dalam "Ash-Shohihain" dari hadits Abdulloh bin Abbas.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar