Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

MEMENUHI PERJANJIAN


MEMENUHI PERJANJIAN

Pertanyaan:
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
يا أبا أحمد سددك الله!
Ada yang bertanya, dia meminjam uang kepada bank ribawi, Qadarullah terjadi kelambatan dan usahanya bangkrut, ada yang memberi nasihat kepadanya bahwa meminjam uang ke bank ribawi hukumnya HARAM, apa yang harus dia lakukan, sementara tagihan dari pihak bank terus datang.
جزاكم الله خيراً

Abu Ahmad Muhammad bin Salim menjawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه، وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Wajib baginya untuk mengganti uang tersebut, baik dengan cara dia meminjam ke orang lain atau menggantinya dengan berangsur-angsur (nyicil bila pihak bank setuju), karena Alloh (تعالى) berkata:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ} [المائدة: 1].
"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah kalian akad-akad itu". (Al-Maidah: 1).
Dan dia bertaubat kepada Alloh disebabkan perbuatannya meminjam uang kepada bank, dia telah terjatuh ke dalam kerja sama dalam dosa, Alloh berkata:
{وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ} [المائدة: 2]
"Dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan". (Al-Maidah: 2).

Pertanyaan:
Amiy ada orang-orang yang sangat bergembira ketika mendengar bahwa amiy dapat musibah, mereka juga bergembira ketika mendengar bahwa amiy hampir mati karena disihir oleh tukang sihir dan mereka mencela dan menghina amiy, mereka mengatakan bahwa amiy terkena sihir itu menunjukan kalau amiy lemah tauhid dan tidak benar aqidah amiy.
Apakah perbuatan dan perkataan mereka itu boleh?

Abu Ahmad Muhammad bin Salim menjawab:
Perbuatan tersebut tidak boleh, karena dia termasuk dari salah satu pembatal-pembatal keislaman, itu adalah perbuatan orang-orang munafiq.
Mereka mencela dan menghina kami karena kami terkena sihir?!!! Mereka tidak menyadari kalau perkataan mereka itu juga mengenai Orang Yang Terbaiknya makhluk, Syaikhan di dalam "Ash-Shohihain" meriwayatkan dari hadits Aisyah, dia berkata:
"سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ، يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ...".
"Seseorang dari Bani Zuroiq dinamai dengan Labid bin Al-A'shom telah menyihir Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)….".
Dan dalam kelanjutan hadits beliau sampai sakit dan datang dua malaikat memperdengarkan kepadanya tentang sihir yang mengenainya. Apakah mereka berani mencela Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sebagaimana mereka mencela kami?!!!.
أَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَقْتُلَهُمْ
"Aku memohon kepada Alloh untuk membinasakan mereka".

Pertanyaan:
Perkataanmu: "Atau kalau kamu sibuk dengan tanggung jawabmu maka carikan mahrom untuknya lalu perintahkan dia untuk belajar agama ke pondok pesantren dengan ketentuan dia tinggal bersama mahromnya, bukan tinggal dengan teman-temannya di asrama".
Permasalahan yang akan ditanyakan; kalau si akhwat waktu belajar di pondok, dia bersama mahrom laki-laki (adik atau kakaknya yang laki-laki) tinggal dalam satu rumah, apakah ini tidak termasuk larangan Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), yang beliau melarang laki-laki berduaan dengan wanita karena yang ketiganya syaithon, mohon diberi 'ilmunya.
جزاكم الله خيراً

Abu Ahmad Muhammad bin Salim menjawab:
Tidak termasuk, karena lafadz hadits yang kamu singgung berkaitan dengan orang yang berdua-duan dengan yang bukan mahrom, adapun berdua-duaan dengan mahrom maka boleh, Alloh (تعالى) mengisahkan tentang Nabi-Nya Zakariya':
{كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [آل عمران: 37]
"Setiap kali Zakariya' masuk ke dalam mihrombnya maka beliau mendapati makanan di sisinya, maka beliau berkata: Wahai Maryam, dari mana kamu dapatkan ini, dia berkata: Dari sisi Alloh, sesungguhnya Alloh memberi rezqi kepada siapa yang Dia kehendaki dengan tanpa perhitungan". (Ali Imron: 37).  
Dan di dalam "As-Sunnah Ash-Shohihah" sangat banyak menunjukan tentang kebolehan seorang wanita berdua-duaan dengan mahromnya, Nabi Ismail tinggal berdua dengan ibunya di Makkah, Abu Huroiroh tinggal dengan ibunya di Madinah, begitu pula Urwah Ibnuz Zubair seringkali berdua-duaan dengan bibinya (Aisyah).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar