MEMBANTU
DALAM
MENGATASI BEBERAPA MASALAH
Pertanyaan Pertama:
Akh berkata:
بسم
الله الرحمن الرحيم
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Ya Aba Ahmad hayyakallah,
tolong saya diberi ilmunya, "ada seorng ikhwah yang sehari-harinya di rumah,
berpenampilan pakai sirwal, kaos dan kolansuwah, kebiasaan ini bila bersama
pegawainya dan tetangga yang suka ke rumahnya, apabila ada tamu seorang ikhwah,
maka ikhwah ini berpenampilan dengan qamis, lalu ada yang protes, dengan mengatakan:
''Mengapa harus dibedakan pakaiannya"? Ikhwah tadi menjawab: "Karena
yang datang itu tamu, saya harus menghormati tamu".
Yang ingin
ana tanyakan adalah
bagaimana penampilan kita sehari-hari yang sesuai sunnah, baik bersama keluarga
atau orang lain? Jazaakumulah khoiro!
Abu Ahmad Muhammad bin Salim
Al-Limbory menjawab:
وعليكم
السلام ورحمة الله وبركاته
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا
إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
Al-Imam
Al-Bukhory dan Muslim meriwayatkan di
dalam "Shohih Keduanya" dari hadits Yazid bin Zuroi', dari
Umar bin Muhammad, dari Bapaknya dari Ibnu Umar semoga Alloh meridhoi
keduanya bahwasanya Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«مَا
زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ»
"Jibril
senantiasa mewasiatkan kepadaku tentang tetangga, sampai aku menyangka
bahwasanya akan diwariskannya".
Dan keduanya
meriwayatkan pula dari hadits Ibnu Syihab, dari Abu Salamah, dari Abu Huroiroh
(رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ) berkata:
«مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ،
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ».
"Barang
siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir (kiamat) maka hendaknya dia
berkata yang baik atau diam, dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan
hari akhir maka janganlah dia mengganggu
tetangganya, dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaknya
dia memuliakan tamunya".
Dengan
melihat betapa besarnya kedudukan tetangga dan para tamu di dalam Islam maka
sepantasnya bagi seseorang memuliakan mereka, akan tetapi hendaknya dalam
memuliakan mereka perlu melihat kepada bagaimana syari'at mengaturnya.
Dahulu
Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tidak membeda-bedakan dalam
menyambut tamunya, beliau tetap dalam penampilannya dengan memakai pakaian yang
Islami, dan tentu semua sudah mengetahui bagaimana pakaian Nabi (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) dalam kesehariannya?!
Kami
nasehatkan kepada saudara kita tersebut semoga Alloh menjaganya untuk
tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan tamunya, dia hendaknya berpenampilan
yang Islami yang mencocoki sunnah Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) baik ketika
dia menyambut saudara-saudaranya Ahlussunnah, rekan kerjanya, atau atasanya
ketika mereka bertamu ke rumahnya.
Ketika
Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) kedatangan pembesar-pembesar kaum musyrikin
maka beliau menyambutnya, dengan harapan supaya mereka memeluk agama Islam,
bersamaan dengan itu datang Abdulloh Ibnu Ummi Maktum semoga Alloh
meridhoinya, di dalam kisahnya tidak dijelaskan bahwa Nabi (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) mengganti-nganti pakaian, menyambut orang-orang musyrik perlu
memakai pakaian hitam atau berwarna gelap, kalau menyambut orang-orang muslim
perlu memakai yang putih-putih, tidak demikian Rosululloh (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) lakukan, akan tetapi Rosululloh (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) dalam waktu tersebut tidak menginginkan seorang sahabatnya
tersebut datang kepadanya karena sedang berhadapan dengan pembesar-pembesar
kaum musyrikin dengan mengharapkan keislaman mereka, maka Alloh (تعالى) kemudian
menegurnya agar lebih memperhatikan shahabatnya dari pada mereka para pembesar-pembesar
musyrikin sebagaimana Alloh (تعالى) telah jelaskan di dalam surat
'Abasa ayat ke 1 (satu) sampai ke 10 (sepuluh).
Adapun "penampilan kita sehari-hari yang sesuai sunnah, baik bersama
keluarga atau orang lain" adalah seperti yang dicontohkan oleh
Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), kita ikuti bagaimana beliau
berpenampilan?! Karena beliau (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) adalah
teladan kita, Alloh (تعالى) berkata:
{لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ} [الأحزاب: 21]
"Sungguh
telah ada bagi kalian pada diri Rosululloh
adalah teladan yang baik bagi orang yang dia mengharap (perjumpaan)
dengan Alloh dan hari akhir".
(Al-Ahzab: 21).
Maka pada kesempatan
ini saya nasehatkan kepada saudara kita tersebut semoga Alloh menjaganya
dan menjaga kita semua serta siapa saja yang mau menerima nasehat untuk
membaca kitab "Syamail Muhammadiyyah" pada kitab
tersebut terdapat penjelasan tentang akhlak, penampilan dan prilaku keseharian
Nabi kita (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).
Pertanyaan Kedua:
Akh berkata: Ada
seorang wanita yang telah bercerai dengan talak tiga, lalu dia ingin menikah lagi dengan yang telah
mentalaknya, tapi si wanita ini belum menikah lagi dengan laki-laki lain,
apakah boleh dia menikah dengan yang telah mentalaknya?
Abu Ahmad Muhammad bin Salim
Al-Limbory semoga Alloh mengampuninya berkata:
Tidak boleh
baginya untuk menikahinya, kecuali setelah ada dari orang lain menikahinya lalu
mentalaqnya, Alloh (تعالى) berkata:
{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ
بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا} [البقرة: 230]
"Dan jika
dia mentalaqnya maka tidak halal baginya setelah itu (untuk menikahinya
kembali) sampai dia dinikahi seseorang dari yang selainnya, apabila orang
menikahinya tersebut telah mentalaqnya maka tidak dosa atas keduanya untuk
kembali (menikah)". (Al-Baqaroh:
230).
Pertanyaan Ketiga:
Saya memiliki anak
prempuan dia terjatuh ke dalam penyimpangan seksual hingga kemudian hamil, maka
kami sekeluarga sangat malu, untuk menutupi aib anak kami tersebut dan
menghilangkan rasa malu keluarga terpaksa kami menikahkannya dengan lelaki yang
menghamilinya, dalam keadaan anak kami tersebut hamil, dan kami sudah membaca
jawaban pak Ustadz tentang status anak zina! Lalu bagaimana dengan anak kami
tersebut? Apa yang perlu kami lalukan kepadanya sedangkan pernikahannya sudah
berlanjut lama dan sudah memiliki anak?
Abu Ahmad
Muhammad Al-Limbory semoga Alloh mengangkat derajatnya menjawab:
Kami hanya
bisa sampaikan kepada bapak sekeluarga untuk selalu mengingat perkataan Alloh (تعالى):
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ} [التحريم: 6]
"Wahai
orang-orang yang beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari
neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu". (At-Tahrim: 6).
Bapak dan
sekeluarga semoga Alloh menunjuki kalian kepada hidayah dan kebaikan,
syari'at Islam tidak membenarkan setiap orang yang menutupi aib atau rasa
malunya dengan cara melakukan kemaksiatan, atau dengan cara melanggar hukum-hukum
Islam, Alloh (تعالى) berkata:
{وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ
فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [الطلاق: 1]
"Yang
demikian itu adalah batasan-batasan (hukum-hukumnya) Alloh, dan barang siapa
yang melanggar batasan-batasan Alloh maka sungguh dia telah menzholimi
dirinya". (Ath-Tholaq: 1).
Kami mengira
bahwa apa yang bapak lakukan itu karena bukan dibangun di atas pengetahuan yang
pasti sesuai yang dituntunkan oleh syari'at, maka hendaknya ketika bapak sudah
mengetahui hal tersebut untuk memperbaiki yaitu dengan menikahkan kembali
setelah dibebaskan (dilahirkannya) anak yang ada di dalam rohim putri bapak,
karena pernikahan ketika masih terdapat janin di dalam rohim itu tidak sah, di
dalam "Ash-Shohihain" dari hadits Subai'ah bintu Al-Harits
Al-Aslamiyah, dia berkata:
فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَأَفْتَانِي
بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي، وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ.
"Aku
mendatangi Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)
lalu aku bertanya kepadanya tentang yang demikian itu maka beliau menfatwakan
kepadaku bahwasanya aku sudah halal ketika aku sudah membebaskan (melahirkan)
kandunganku, dan beliau memerintahkanku untuk menikah".
Pertanyaan Keempat:
Seorang wanita
berumur 38 tahun, setelah melahirkan disarankan
oleh dokter untuk mengikat rahimnya,
karena si dokter melihat wanita ini mempunyai:
a)
penyakit darah tinggi dan maag yang sudah kronis
b)
faktor umur dan anaknya sudah 6 (kalau hamil lagi bisa
menyebabkan kematian).
Wanita tersebut
dan suaminya menyetujui, setelah terjadi, dia menjadi bingung, karena ada yang
mengatakan tidak boleh alasannya kalau mati dia
syahid.
Abu Ahmad
Muhammad Al-Limbory semoga Alloh mengangkat derajatnya di dunia dan di
akhirat menjawab:
Sebaiknya saran
dokter seperti itu tidak langsung dia terima, karena mengingat rohim tujuannya:
Pertama: Untuk
menghentikan atau memutus masuknya sperma ke dalam rohim, dengan itu
mengakibatkan tidak adanya lagi proses pembuahan ke dalam rohim.
Kedua: Walaupun
proses hubungan (jima') terus menerus berlangsung namun tidak lagi bisa
menghasilkan anak.
Maka tidak
dibenarkan bagi seseorang untuk berpuas-puasan dalam perkara yang hukum asalnya
mubah seperti jima' kemudian dia melakukan perbuatan yang harom, kita telah
mengetahui bahwa KB dengan menggunakan suntikan atau meminum obat-obat kimia
itu telah diharomkan padahal dia terkadang tidak bisa mencegah proses
terjadinya pembuahan, karena ada beberapa jenis buah-buahan yang bila seorang
wanita memakannya maka suntikan atau obat-obatan yang dia minum tidak mampu
memberikan pengaruh sedikitpun, dan ini terjadi, adapun mengikat rohim maka
tidak ada harapan lagi untuk bisa menghasilkan anak, maka tentu ini lebih besar
dosanya dibandingkan dengan yang pertama والله أعلم
Hendaknya wanita
tersebut tidak menerima solusi dari dokter akan tetapi dia mencari alternatif
lain, yaitu dengan berobat untuk mengatasi penyakitnya, Al-Imam At-Tirmidzy semoga
Alloh merahmatinya meriwayatkan dari hadits Usamah bin Syarik semoga
Alloh meridhoinya, beliau berkata:
قَالَتِ الأَعْرَابُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: " نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ
تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً،
إِلَّا دَاءً وَاحِدًا " قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُوَ؟ قَالَ:
«الهَرَمُ».
"Al-A'rob
(orang Arob yang tinggal di pedalaman) berkata: Wahai Rosululloh, bolehkan kami
berobat? Beliau berkata: "Iya, wahai hamba-hamba Alloh berobatlah
kalian, sesungguhnya Alloh tidak meletakan suatu penyakit melainkan menyediakan
baginya obat kecuali satu penyakit (saja), mereka (para shahabat bertanya:
"Wahai Rosululloh apa (penyakit) yang satu itu? Beliau menjawab: "Al-Harom
(kematian)". Al-Imam At-Tirmidzy berkata: Dalam bab ini (ada pula
hadits) dari Ibnu Mas'ud, Abu Huroiroh, Abu Khuzamah dari Bapaknya, dan Ibnu
'Abbas, dan At-Tirmidzy berkata: Hadits ini adalah "hasan shohih".
Kalau dia
sudah berobat namun tidak memberikan pengaruh, dan dia tidak bisa menahan
gejola syahwatnya melainkan dia harus melakukan hubungan (jima') dengan
suaminya maka baginya solusi lain yaitu al-'azlu (seorang suami mengeluarkan
maninya di luar vagina/rohim istrinya), Al-Imam Muslim semoga Alloh
merahmatinya meriwayatkan dari hadits Abu Said Al-Khudry semoga Alloh
meridhoinya bahwasanya beliau berkata:
فَكُنَّا نَعْزِلُ
"Dahulu
kami melakukan 'azl".
Kalau sudah
melakukan al-'azl namun masih bisa hamil maka ingatlah perkataan
Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ):
«مَا
مِنْ كُلِّ الْمَاءِ يَكُونُ الْوَلَدُ، وَإِذَا أَرَادَ اللهُ خَلْقَ شَيْءٍ، لَمْ
يَمْنَعْهُ شَيْءٌ»
"Tidaklah
setiap mani itu akan menjadi seorang anak, dan jika Alloh menginginkan untuk
menciptakan sesuatu maka tidaklah sesuatu (yang lain) mencegahnya". Dan itu mungkin yang terbaik bagi si wanita tersebut.
Adapun
perkataannya "kalau hamil lagi bisa menyebabkan
kematian" maka tidak bisa dipastikan seperti itu, mungkin bisa jadi Alloh
menginginkan yang lebih baik baginya, karena ini adalah perkara ghoib
yang kita tidak mengetahuinya, Alloh (تعالى) berkata:
{إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
[البقرة: 30]
"Sesungguhnya
Aku paling mengetahui atas apa yang kalian tidak mengetahuinya". (Al-Baqaroh: 30).
Ketika dia
sudah mengetahui masalah ini maka dia tidak perlu bingung, yang terpenting dia
akui bahwa perbuatannya menyetujui saran dokter untuk mengikat rohimnya itu
adalah salah dan termasuk perbuatan yang tidak dibolehkan dalam syari'at dan
wajib baginya untuk beristighfar dan bertaubat kepada Alloh (تعالى), Alloh (تعالى) berkata:
{فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ} [البقرة: 275]
"Maka
barang siapa yang telah datang kepadanya nasehat (pengarahan) dari Robbnya lalu
dia berhenti (bertaubat) maka baginya apa-apa yang telah lewat, dan perkaranya
dikembalikan kepada Alloh, dan barang siapa yang kembali (kepada perbuatan
dosanya) maka mereka itulah penghuni neraka, di dalamnya mereka kekal". (Al-Baqaroh: 275).
Catatan:
Terkadang
seseorang karena bingung, dia pun ingin melakukan operasi ulang dengan maksud
mengembalikan seperti semula, maka perbuatan seperti ini tidak dibenarkan
karena akan mengundang madhorat dan pengrusakan baginya, hendaknya dia
mengingat perkataan Alloh ():
{وَلَا
تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ} [البقرة: 195]
"Dan
janganlah kalian mencemplungkan diri-diri kalian ke dalam kebinasaan, dan
berbuatlah kalian yang terbaik sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan". (Al-Baqaroh:
195). Dan di dalam kaedah syar'iyyah:
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Menolak
kerusakan dikedepankan dari pada mendatangkan maslahat" والله أعلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar