Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

HUKUM-HUKUM SEPUTAR MENUNTUT ILMU


HUKUM-HUKUM SEPUTAR MENUNTUT ILMU

Penanya:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz saya ini sudah beberapa kali belajar di pondok pesantren, pernah saya belajar di Jawa dan di Sulawesi, namun saya merasa tidak memiliki hasil, apakah karena saya salah dalam menempuh belajar ataukah memang saya belajar kepada orang tidak bisa mengajar? Terus apa yang ustadz nasehatkan kepadaku?
جزاكم الله خيرا
Semoga Allah memberkahi ustadz!.

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه، وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Apa yang kamu alami itu sama dengan yang pernah dialami oleh kebanyakan para penuntut ilmu, jika kamu sudah mengetahui bahwa apa yang kamu alami itu, juga pernah dialami oleh orang lain maka kamu bersabar, dan terus menerus dalam belajar, Alloh (تَعَالَى) berkata dalam surat Al-Kahfi:
{وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاه} [الكهف: 28]
"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang mereka berdoa kepada Robb mereka di pagi dan sore hari, yang mereka menginginkan Wajah-Nya, dan janganlah kamu memalingkan matamu dari mereka, karena kamu menginginkan perhiasan dunia, dan janganlah kamu mentaati orang yang telah Kami tutup hatinya dari mengingat Kami dan dia mengikuti hawa nafsunya'. (Al-Kahfi: 28).

Penanya:
Lalu bagaimana dengan pertanyaanku tadi "Apakah karena saya salah menempuh dalam belajar ataukah memang saya belajar kepada orang tidak bisa mengajar?".

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Sebelum kamu menyimpulkan seperti itu terlebih dahulu kamu mengoreksi diri, dan kamu ber-husnudzdzon (baik sangka) kepada pengajarmu, kamu banyak berdoa, Al-Imam Al-Bukhory semoga Alloh meridhoinya membuat bab khusus di dalam "Ash-Shohih":
بَابُ مَا جَاءَ فِي العِلْمِ. وَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا} [طه: 114].
"Bab apa-apa yang datang tentang ilmu, dan perkataan-Nya (تَعَالَى): "Dan berdoalah: Ya Robbku tambahkanlah kepada ilmu". (Thoha: 114).
Memang telah kita ketahui bahwa ada dari para pengajar terkadang tidak mampu memahamkan para murid, hal tersebut mungkin karena mereka baru terjun ke medan dakwah atau mungkin mereka keliru dalam bermetode والله أعلم .

Penanya:
Terus apa yang ustadz nasehatkan kepada para pengajar seperti itu?

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Al-Imam Al-Bukhory semoga Alloh meridhoinya setelah membuat bab khusus di dalam "Ash-Shohih":
بَابُ العِلْمِ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلِ
"Bab berilmu sebelum berkata dan beramal", beliau membawakan beberapa dalil dan perkataan-perkataan yang bagus diantaranya: Perkataan Alloh (تَعَالَى):
{كُونُوا رَبَّانِيِّينَ} [آل عمران: 79]
"Jadilah kalian Robbaniyyin!" (Ali Imron: 79).
وَيُقَالُ: "الرَّبَّانِيُّ الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ"
Dan dikatakan: "Arrobany adalah orang yang membimbing manusia dengan yang kecilnya ilmu sebelum yang besarnya".
Dan kami pernah dapati ada yang mengajar ilmu nahwu kepada para pemula dengan menyebutkan banyak perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para ulama nahwu, dia mengajar "Matn Al-Ajrumiyyah" seakan-akan mengajar "Syarh Ibni 'Aqil", ada pula yang mengajarkan fiqih kepada para pemula dengan menyebutkan banyak perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para ulama, para Robbaniyyun tidak demikian keadaan mereka, namun mereka memulai dari yang terpenting lalu yang penting lalu yang setelahnya.
Hendaknya seseorang bila mengajar melihat keadaan yang diajari, berbeda halnya kalau mengajari orang-orang yang mengkhususkan bidang-bidang tertentu atau memiliki daya pemahaman yang kuat maka tidak mengapa menerapkan seperti itu.  

Penanya:
Ustadz apa pendapatmu tentang sebagian pondok pesantren terkadang membuka takhosus (pelajaran khusus) seperti tahfidz Al-Qur'an, Ilmu Nahwu dan Ilmu Qiro'a? Apakah boleh hal demikian itu?

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Tidak ada larangan tentang yang demikian itu, akan tetapi hendaknya para pengajar bila membuka program khusus seperti itu tidak melupakan pelajaran yang terpenting, misalnya dia membuka program khusus tahfidz Al-Qur'an maka dia sisipkan di dalamnya pelajaran Aqidah, Fiqih dan Ilmu Bahasa Arob, sehingga para murid tersebut bisa memiliki bekal, karena kebanyakan kami melihat banyak para murid dari pesantren ketika di perjalanan pulang kampung (ketika liburan) mereka cengengas cengenges to! Bila mereka mengendarai kapal laut atau sampai ke suatu tempat dan banyak bertanya kepada mereka tentang perkara agama atau mereka diminta untuk berkhutbah mereka tidak memiliki kesanggupan sama sekali.
Tidak hanya itu bahkan ketika kami di Indonesia mendapati beberapa orang dari Yaman kami bertanya tentangnya maka dikatakan kepada kami: "Dia dari markaz Ulama di Yaman, dia sudah hafal Al-Qur'an, sudah hafal 'Umdatul Ahkam, dan beberapa mutun Aqidah" namun tidak bisa memberi faedah kepada umat, alasannya karena dia ketika di Yaman hanya memfokuskan menghafal. Ini jelas metode yang salah, hendaknya dia memfokuskan hafalan sekalian menyisihkan sebagian kecil waktunya untuk mengambil pelajaran ilmu-ilmu dasar dan penunjang.
Terkadang mereka mengambil pengkhususan seperti itu dengan beranggapan bahwa mereka akan lama di markaz ulama namun ternyata tidak demikian, maka hendaknya mereka mengambil bagian dari ilmu-ilmu dasar dan penunjang yang dibutuhkan umat.
Dan terkadang ada pula yang sibuk merangkul semua bidang, mengambil aqidah, ilmu bahasa, fiqih, mushtholah dan ushul namun dia meninggalkan dari menghafal Al-Qur'an dan Al-Hadits maka ini juga keliru, karena nantinya dia ketika terjun dakwah, dia dibutuhkan umat, dan orang yang sudah mengenal ilmu tentu tidak akan menerimanya melainkan dia berpijak di atas dalil, ketika dia berkhutbah membutuhkan dalil, ketika berpidato membutuhkan dalil, dan dalil hendaknya dihafal. Belum kami dapati para ulama terdahulu ketika berkhutbah dengan membaca konsep namun mereka berkhutbah dengan menggunakan hafalan, maka keliru kalau kemudian ada yang meremehkan hafalan.
Sungguh sangat banyak dari kalangan para shohabat mereka ketika berdakwah mereka menyebutkan dari hafalan, diantaranya Al-Imam Al-Bukhory semoga Alloh merahmatinya berkata di dalam "Ash-Shohih": "Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari Nafi, dari Ibnu 'Umar semoga Alloh meridhoinya beliau berkata:
«حَفِظْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ»
"Aku telah menghafal dari Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) 10 (sepuluh) roka'at, dua roka'at sebelum zhuhur, dua roka'at setelahnya, dan dua roka'at setelah maghrib di rumahnya, dan dua roka'at setelah isya dia rumahnya dan dua roka'at sebelum sholat shubuh".

Penanya:
Ustadz apa pendapatmu tentang orang yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu namun dia sangat egois, tidak memperdulikan nasib orang tuanya, dan bahkan ada orang yang sudah menikah memiliki sifaf tersebut, dia tidak peduli dengan istri dan anaknya, suka menampakan akhlak yang tidak bagus di hadapan anak dan istrinya, selalu membentak-bentak istrinya, dan tidak bisa bertatakrama dengan istrinya, keluarganya dan kerabat-kerabatnya, namun kalau dengan kawannya sangat terlihat ramah, beradab dan ceria?
Dan ada pula yang sibuk belajar sampai tidak mau tahu tentang isi perutnya, dan suka utang dan sering sekali tidak dibayar utangnya, diajak kerja tidak mau dengan alasan sibuk menuntut ilmu?

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Itu sebagai alamat kalau orang tersebut tidak akan bermanfaat ilmunya, dan dia akan dihujat oleh ilmunya, Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ»
"Al-Qur'an adalah hujjah bagimu atau menghujat atasmu". Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah dari hadits Abu Malik Al-Asyja'y.

Penanya:
Ada seseorang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu dan memiliki kecerdasaan, dia dikagumi orang dan dia mengagumi dirinya sendiri, suka meremehkan orang, dia ingin sekali untuk belajar ke pangkuan ulama, namun karena tidak memiliki biaya, kemudian dia mencari akhwat yang orang tuanya memiliki modal (harta) dengan maksud supaya dia bisa diberangkatkan ke tempat ulama, padahal dia tidak memiliki keinginan untuk menikah maka apa pendapatmu tentang orang ini?

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Aku berlindung kepada Alloh (تعالى) dari orang yang seperti kamu sebutkan, kalau pun dia bisa menikah dan kemudian bisa berangkat ke markaz ulama dengan biaya dari pihak istrinya maka nanti akan terlihat keadaan yang sebenarnya, kasihan istrinya, istrinya tidak akan mendapatkan ketenangan hidup dan perlakuan yang baik darinya, karena tujuan nikah orang tersebut bukan pada tujuan yang sesungguhnya, akan tetapi tujuannya karena yang lain, dan orang seperti ini tidak akan diharapkan kebaikannya, karena niatnya yang rusak dan upaya memanfaatkan orang, yang kemudian kata pepatah "habis manis sepak dibuang", maka otomatis orang tersebut telah mengundang azab Alloh (تعالى):
{لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ} [إبراهيم: 7]
"Jika kalian bersyukur maka sungguh Kami akan tambahkan rezki-Ku kepada kalian dan jika kalian mengingkari (kebaikan) maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih" (Ibrohim: 7).
Dan kalau dia merasa kagum terhadap dirinya maka tungguhlah kebinasaannya, karena termasuk salah satu sebab ketergelinciran seseorang dari jalan yang lurus adalah meremehkan orang lain yang berada di atas al-haq, Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«إِنَّ مِنَ الْكِبْرِ مَنْ بَطَرَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ».
"Sesungguhnya termasuk dari kesombongan adalah menolak al-haq dan meremehkan manusia". Diriwayatkan oleh Al-Jama'ah dari beberapa orang shohabat diantaranya Abdulloh bin Mas'ud, Abdulloh bin 'Amr bin 'Ash, dan 'Uqbah bin 'Amr.
Dan Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«قَوْمًا يَتَعَبَّدُونَ، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ، وَصَوْمَهُ مَعَ صَوْمِهِمْ»
"Suatu kaum mereka beribadah, salah seorang diantara kalian menganggap remeh sholatnya dengan sholatnya mereka, puasanya dengan puasa mereka". Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jama'ah dari beberapa orang shohabat diantaranya Abu Said Al-Khudry, Ali bin Abi Tholib dan Abu Dzarr.

Penanya:
Ustadz ada orang ketika menuntut ilmu terjatuh ke dalam dosa kekejian seperti homoseks, zina atau merayu-rayu anak-anak kecil dan yang semisalnya lalu kemudian dia bertaubat, maka apakah boleh baginya untuk berdakwah?

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Kalau dia sudah benar-benar bertaubat maka tidak ada larangan baginya untuk berdakwah:
وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ
"Siapa yang menghambat antaranya dan antara taubat?!".
Namun kalau dia hanya bermain-main dalam bertaubat misalnya meninggalkan perbuatan dosa tersebut akan tetapi dia mengalihkan keperbuatan dosa besar yang lainnya maka orang seperti ini tidak layak untuk berdakwah, namun kalau dia tetap memaksa dirinya berdakwah maka resikonya pada dirinya dan dakwah berlepas diri darinya:
{وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} [فاطر: 18].

Penanya:
Ustadz apa ada perbedaan antara menjawab pertanyaan lewat tulisan dengan lewat lisan secara langsung? Karena saya mendengar beberapa orang ustadz menyatakan bahwa menjawab pertanyaan seperti yang ustadz lakukan (dengan cara menulis) adalah tidak boleh, karena ini khusus kerjanya mufti atau lajnah! Tidak hanya itu namun mereka juga mencercamu dan mencelamu, apa tanggapanmu.
Adapun kalau seperti mereka –katanya-, yang menjawab pertanyaan lewat tabligh akbar atau menjawab lewat telpon atau jumpa langsung boleh-boleh saja, apa tanggapanmu.

Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Orang yang bila sudah diperkenankan dalil-dali baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah tentu sudah mengetahui jawaban atas apa yang kamu tanyakan.
Adapun bagi siapa saja yang mencela dan mencaci maki kami karena kami di atas pendirian kami, yang kami landasi dengan hujjah dari Al-Qur'an dan As-Sunnah maka hanya kepada Alloh (تعالى) kami serahkan urusannya:
{وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ} [فاطر: 43]
Kami katakan: Cepat atau lambat mereka akan merasakan akibat perbuatan mereka:
{مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا} [النساء: 123].

Kami menjawab lewat tulisan karena penanya jauh dari kami, adapun kalau dekat kepada kami seperti beberapa kawan kami orang Yaman bertanya langsung maka kami langsung menjawab dengan tanpa tulisan.
Jika kami mengetaui permasalahan lalu kami diamkan maka kami akan terkena ancaman:
«مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يَعْلَمُهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ»
"Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang dia ketahui maka dia dipakaikan pada hari kiamat dengan pakaian dari api".
Bahkan di dalam "Sunan Ibni Majah" dari hadits Anas bin Malik dengan lafadz:
«مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ...»
"Barang siapa yang ditanya tentang ilmu…".
Maka saya katakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan kami: "Ini urusannya antara kami dengan Alloh (تعالى), adapun bagi kalian maka urusan kalian:
{أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ} [البقرة: 139]
"Apakah kalian akan menghujat kami tentang Alloh, sedangkan Dia adalah Robb kami dan Robb kalian? Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian". (Al-Baqaroh: 139).
Demikian jawaban singkat dari kami.
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ (9) دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (10)} [يونس: 9، 10]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar