HUKUM-HUKUM
SEPUTAR MENUNTUT ILMU
Penanya:
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz saya ini sudah beberapa kali belajar
di pondok pesantren, pernah saya belajar di Jawa dan di Sulawesi, namun saya
merasa tidak memiliki hasil, apakah karena saya salah dalam menempuh belajar
ataukah memang saya belajar kepada orang tidak bisa mengajar? Terus apa yang
ustadz nasehatkan kepadaku?
جزاكم
الله خيرا
Semoga Allah memberkahi ustadz!.
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
menjawab:
وعليكم
السلام ورحمة الله وبركاته
بِسم
الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ
لله، أَحْمَدُه، وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ
لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Apa
yang kamu alami itu sama dengan yang pernah dialami oleh kebanyakan para
penuntut ilmu, jika kamu sudah mengetahui bahwa apa yang kamu alami itu, juga
pernah dialami oleh orang lain maka kamu bersabar, dan terus menerus dalam
belajar, Alloh (تَعَالَى) berkata dalam surat Al-Kahfi:
{وَاصْبِرْ
نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ
يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ
هَوَاه} [الكهف: 28]
"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang mereka
berdoa kepada Robb mereka di pagi dan sore hari, yang mereka menginginkan
Wajah-Nya, dan janganlah kamu memalingkan matamu dari mereka, karena kamu
menginginkan perhiasan dunia, dan janganlah kamu mentaati orang yang telah Kami
tutup hatinya dari mengingat Kami dan dia mengikuti hawa nafsunya'. (Al-Kahfi: 28).
Penanya:
Lalu
bagaimana dengan pertanyaanku tadi "Apakah karena saya salah
menempuh dalam belajar ataukah memang saya belajar kepada orang tidak bisa
mengajar?".
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Sebelum
kamu menyimpulkan seperti itu terlebih dahulu kamu mengoreksi diri, dan kamu
ber-husnudzdzon (baik sangka) kepada pengajarmu, kamu banyak berdoa,
Al-Imam Al-Bukhory semoga Alloh meridhoinya membuat bab khusus di dalam
"Ash-Shohih":
بَابُ مَا جَاءَ فِي
العِلْمِ. وَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا} [طه: 114].
"Bab apa-apa yang datang tentang ilmu, dan perkataan-Nya (تَعَالَى): "Dan berdoalah: Ya Robbku tambahkanlah kepada
ilmu". (Thoha: 114).
Memang
telah kita ketahui bahwa ada dari para pengajar terkadang tidak mampu
memahamkan para murid, hal tersebut mungkin karena mereka baru terjun ke medan
dakwah atau mungkin mereka keliru dalam bermetode
والله أعلم .
Penanya:
Terus
apa yang ustadz nasehatkan kepada para pengajar seperti itu?
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
menjawab:
Al-Imam
Al-Bukhory semoga Alloh meridhoinya setelah membuat bab khusus di dalam
"Ash-Shohih":
بَابُ العِلْمِ قَبْلَ القَوْلِ
وَالعَمَلِ
"Bab berilmu sebelum berkata dan beramal", beliau
membawakan beberapa dalil dan perkataan-perkataan yang bagus diantaranya:
Perkataan Alloh (تَعَالَى):
{كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ} [آل عمران: 79]
"Jadilah kalian Robbaniyyin!" (Ali Imron: 79).
وَيُقَالُ: "الرَّبَّانِيُّ
الَّذِي يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ العِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ"
Dan dikatakan: "Arrobany
adalah orang yang membimbing manusia dengan yang kecilnya ilmu sebelum yang
besarnya".
Dan
kami pernah dapati ada yang mengajar ilmu nahwu kepada para pemula dengan menyebutkan banyak perbedaan-perbedaan
pendapat di kalangan para ulama nahwu, dia mengajar "Matn Al-Ajrumiyyah"
seakan-akan mengajar "Syarh Ibni 'Aqil", ada pula yang
mengajarkan fiqih kepada para pemula dengan menyebutkan banyak perbedaan-perbedaan
pendapat di kalangan para ulama, para Robbaniyyun tidak demikian keadaan mereka,
namun mereka memulai dari yang terpenting lalu yang penting lalu yang
setelahnya.
Hendaknya
seseorang bila mengajar melihat keadaan yang diajari, berbeda halnya kalau
mengajari orang-orang yang mengkhususkan bidang-bidang tertentu atau memiliki
daya pemahaman yang kuat maka tidak mengapa menerapkan seperti itu.
Penanya:
Ustadz
apa pendapatmu tentang sebagian pondok pesantren terkadang membuka takhosus
(pelajaran khusus) seperti tahfidz Al-Qur'an, Ilmu Nahwu dan Ilmu Qiro'a? Apakah
boleh hal demikian itu?
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory menjawab:
Tidak
ada larangan tentang yang demikian itu, akan tetapi hendaknya para pengajar
bila membuka program khusus seperti itu tidak melupakan pelajaran yang
terpenting, misalnya dia membuka program khusus tahfidz Al-Qur'an maka dia
sisipkan di dalamnya pelajaran Aqidah, Fiqih dan Ilmu Bahasa Arob, sehingga
para murid tersebut bisa memiliki bekal, karena kebanyakan kami melihat banyak
para murid dari pesantren ketika di perjalanan pulang kampung (ketika liburan)
mereka cengengas cengenges to! Bila mereka mengendarai kapal laut atau
sampai ke suatu tempat dan banyak bertanya kepada mereka tentang perkara agama
atau mereka diminta untuk berkhutbah mereka tidak memiliki kesanggupan sama sekali.
Tidak
hanya itu bahkan ketika kami di Indonesia mendapati beberapa orang dari Yaman
kami bertanya tentangnya maka dikatakan kepada kami: "Dia dari markaz
Ulama di Yaman, dia sudah hafal Al-Qur'an, sudah hafal 'Umdatul Ahkam, dan
beberapa mutun Aqidah" namun tidak bisa memberi faedah kepada umat,
alasannya karena dia ketika di Yaman hanya memfokuskan menghafal. Ini jelas metode
yang salah, hendaknya dia memfokuskan hafalan sekalian menyisihkan sebagian kecil
waktunya untuk mengambil pelajaran ilmu-ilmu dasar dan penunjang.
Terkadang
mereka mengambil pengkhususan seperti itu dengan beranggapan bahwa mereka akan
lama di markaz ulama namun ternyata tidak demikian, maka hendaknya mereka mengambil
bagian dari ilmu-ilmu dasar dan penunjang yang dibutuhkan umat.
Dan
terkadang ada pula yang sibuk merangkul semua bidang, mengambil aqidah, ilmu
bahasa, fiqih, mushtholah dan ushul namun dia meninggalkan dari menghafal
Al-Qur'an dan Al-Hadits maka ini juga keliru, karena nantinya dia ketika terjun
dakwah, dia dibutuhkan umat, dan orang yang sudah mengenal ilmu tentu tidak
akan menerimanya melainkan dia berpijak di atas dalil, ketika dia berkhutbah
membutuhkan dalil, ketika berpidato membutuhkan dalil, dan dalil hendaknya
dihafal. Belum kami dapati para ulama terdahulu ketika berkhutbah dengan
membaca konsep namun mereka berkhutbah dengan menggunakan hafalan, maka keliru
kalau kemudian ada yang meremehkan hafalan.
Sungguh
sangat banyak dari kalangan para shohabat mereka ketika berdakwah mereka
menyebutkan dari hafalan, diantaranya Al-Imam Al-Bukhory semoga Alloh
merahmatinya berkata di dalam "Ash-Shohih": "Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, beliau berkata: Telah menceritakan
kepada kami Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari Nafi, dari Ibnu 'Umar semoga
Alloh meridhoinya beliau berkata:
«حَفِظْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ
رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا،
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ
فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ»
"Aku telah menghafal dari Nabi (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) 10 (sepuluh) roka'at, dua roka'at
sebelum zhuhur, dua roka'at setelahnya, dan dua roka'at setelah maghrib di
rumahnya, dan dua roka'at setelah isya dia rumahnya dan dua roka'at sebelum
sholat shubuh".
Penanya:
Ustadz
apa pendapatmu tentang orang yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu namun
dia sangat egois, tidak memperdulikan nasib orang tuanya, dan bahkan ada orang
yang sudah menikah memiliki sifaf tersebut, dia tidak peduli dengan istri dan
anaknya, suka menampakan akhlak yang tidak bagus di hadapan anak dan istrinya,
selalu membentak-bentak istrinya, dan tidak bisa bertatakrama dengan istrinya,
keluarganya dan kerabat-kerabatnya, namun kalau dengan kawannya sangat terlihat
ramah, beradab dan ceria?
Dan
ada pula yang sibuk belajar sampai tidak mau tahu tentang isi perutnya, dan
suka utang dan sering sekali tidak dibayar utangnya, diajak kerja tidak mau
dengan alasan sibuk menuntut ilmu?
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
menjawab:
Itu
sebagai alamat kalau orang tersebut tidak akan bermanfaat ilmunya, dan dia akan
dihujat oleh ilmunya, Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ»
"Al-Qur'an adalah hujjah bagimu atau menghujat atasmu". Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad,
Muslim dan Ibnu Majah dari hadits Abu Malik Al-Asyja'y.
Penanya:
Ada
seseorang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu dan memiliki kecerdasaan, dia
dikagumi orang dan dia mengagumi dirinya sendiri, suka meremehkan orang, dia
ingin sekali untuk belajar ke pangkuan ulama, namun karena tidak memiliki
biaya, kemudian dia mencari akhwat yang orang tuanya memiliki modal (harta) dengan
maksud supaya dia bisa diberangkatkan ke tempat ulama, padahal dia tidak
memiliki keinginan untuk menikah maka apa pendapatmu tentang orang ini?
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
menjawab:
Aku
berlindung kepada Alloh (تعالى) dari
orang yang seperti kamu sebutkan, kalau pun dia bisa menikah dan kemudian bisa
berangkat ke markaz ulama dengan biaya dari pihak istrinya maka nanti akan
terlihat keadaan yang sebenarnya, kasihan istrinya, istrinya tidak akan mendapatkan
ketenangan hidup dan perlakuan yang baik darinya, karena tujuan nikah orang
tersebut bukan pada tujuan yang sesungguhnya, akan tetapi tujuannya karena yang
lain, dan orang seperti ini tidak akan diharapkan kebaikannya, karena niatnya
yang rusak dan upaya memanfaatkan orang, yang kemudian kata pepatah "habis
manis sepak dibuang", maka otomatis orang tersebut telah mengundang azab
Alloh (تعالى):
{لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ} [إبراهيم:
7]
"Jika kalian bersyukur maka sungguh Kami akan tambahkan
rezki-Ku kepada kalian dan jika kalian mengingkari (kebaikan) maka sesungguhnya
azab-Ku sangatlah pedih"
(Ibrohim: 7).
Dan
kalau dia merasa kagum terhadap dirinya maka tungguhlah kebinasaannya, karena
termasuk salah satu sebab ketergelinciran seseorang dari jalan yang lurus adalah
meremehkan orang lain yang berada di atas al-haq, Rosululloh (صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«إِنَّ مِنَ الْكِبْرِ مَنْ بَطَرَ الْحَقَّ وَغَمَصَ النَّاسَ».
"Sesungguhnya termasuk dari kesombongan adalah menolak
al-haq dan meremehkan manusia". Diriwayatkan oleh Al-Jama'ah dari beberapa orang
shohabat diantaranya Abdulloh bin Mas'ud, Abdulloh bin 'Amr bin 'Ash, dan
'Uqbah bin 'Amr.
Dan
Rosululloh (صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«قَوْمًا يَتَعَبَّدُونَ، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ
صَلَاتِهِمْ، وَصَوْمَهُ مَعَ صَوْمِهِمْ»
"Suatu kaum mereka beribadah, salah seorang diantara kalian
menganggap remeh sholatnya dengan sholatnya mereka, puasanya dengan puasa
mereka".
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Jama'ah dari beberapa orang shohabat diantaranya
Abu Said Al-Khudry, Ali bin Abi Tholib dan Abu Dzarr.
Penanya:
Ustadz
ada orang ketika menuntut ilmu terjatuh ke dalam dosa kekejian seperti
homoseks, zina atau merayu-rayu anak-anak kecil dan yang semisalnya lalu
kemudian dia bertaubat, maka apakah boleh baginya untuk berdakwah?
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
menjawab:
Kalau dia sudah benar-benar bertaubat maka
tidak ada larangan baginya untuk berdakwah:
وَمَنْ يَحُولُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ
"Siapa yang menghambat
antaranya dan antara taubat?!".
Namun kalau dia hanya bermain-main dalam bertaubat
misalnya meninggalkan perbuatan dosa tersebut akan tetapi dia mengalihkan
keperbuatan dosa besar yang lainnya maka orang seperti ini tidak layak untuk
berdakwah, namun kalau dia tetap memaksa dirinya berdakwah maka resikonya pada
dirinya dan dakwah berlepas diri darinya:
{وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} [فاطر: 18].
Penanya:
Ustadz
apa ada perbedaan antara menjawab pertanyaan lewat tulisan dengan lewat lisan
secara langsung? Karena saya mendengar beberapa orang ustadz menyatakan bahwa
menjawab pertanyaan seperti yang ustadz lakukan (dengan cara menulis) adalah
tidak boleh, karena ini khusus kerjanya mufti atau lajnah! Tidak hanya itu
namun mereka juga mencercamu dan mencelamu, apa tanggapanmu.
Adapun
kalau seperti mereka –katanya-, yang menjawab pertanyaan lewat tabligh akbar
atau menjawab lewat telpon atau jumpa langsung boleh-boleh saja, apa
tanggapanmu.
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory
menjawab:
Orang
yang bila sudah diperkenankan dalil-dali baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah
tentu sudah mengetahui jawaban atas apa yang kamu tanyakan.
Adapun
bagi siapa saja yang mencela dan mencaci maki kami karena kami di atas
pendirian kami, yang kami landasi dengan hujjah dari Al-Qur'an dan As-Sunnah
maka hanya kepada Alloh (تعالى) kami
serahkan urusannya:
{وَلَا
يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ} [فاطر: 43]
Kami
katakan: Cepat atau lambat mereka akan merasakan akibat perbuatan mereka:
{مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا} [النساء: 123].
Kami
menjawab lewat tulisan karena penanya jauh dari kami, adapun kalau dekat kepada
kami seperti beberapa kawan kami orang Yaman bertanya langsung maka kami
langsung menjawab dengan tanpa tulisan.
Jika
kami mengetaui permasalahan lalu kami diamkan maka kami akan terkena ancaman:
«مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يَعْلَمُهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ»
"Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang dia ketahui
maka dia dipakaikan pada hari kiamat dengan pakaian dari api".
Bahkan
di dalam "Sunan Ibni Majah" dari hadits Anas bin Malik
dengan lafadz:
«مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ...»
"Barang siapa yang ditanya tentang ilmu…".
Maka
saya katakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan kami: "Ini
urusannya antara kami dengan Alloh (تعالى), adapun
bagi kalian maka urusan kalian:
{أَتُحَاجُّونَنَا
فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ}
[البقرة: 139]
"Apakah kalian akan menghujat kami tentang Alloh, sedangkan
Dia adalah Robb kami dan Robb kalian? Bagi kami amalan kami dan bagi kalian
amalan kalian".
(Al-Baqaroh: 139).
Demikian
jawaban singkat dari kami.
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ
رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ
النَّعِيمِ (9) دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا
سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (10)}
[يونس:
9، 10]