Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Tanya-Jawab Bermanfa’at (Kamis, 22 Dzulhijjah 1435)


g-gif-update

SEMOGA PARA SOBAT MENJADI ORANG-ORANG YANG BERBAKAT DAN SENANTIASA BERTAUBAT

Tanya: Dari Al-Akh Fillah di Malang, Afwan, saya dahulu punya teman-teman belajar yang berangkat ke Dammaj, di masanya syaikh Yahya, namanya: Muslim Lamongan, Abu Zaky Fredi Lamongan, Muhammad Riau, Abu Hanifah Riau, Syaukani Riau, Ali Blora, Khidir Maluku apa pada masih di sana ya …???
Jawab: Alhamdulillah, teringatkan kepada kita dengan perkataan Robb kita:

وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا
“Kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berqobilah-qobilah supaya kalian saling kenal mengenal”.
Semoga Akhuna Fillah dan seluruh para sobat senantiasa dalam keadaan istiqomah di tengah-tengah dahsyatnya badai fitnah yang terus menghantam, semoga kitab manhaj yang pernah dipelajari, yang ditulis oleh seorang mustafid Dammaj Abu Gholib Ash-Shumaliy dengan taqdim Syaikhuna An-Nashihul Amin Yahya Al-Hajuriy ‘Afallohu ‘anhuma selalu dikenang, diamalkan dan semoga menjadi hujjah untuk para sobat bukan menjadi hujjah atas para sobat, begitu pula kitab yang pernah dipelajari setelah itu dengan judul “Kuun Salafiyyan ‘Alal Jaddah”.
Semoga kita semua selalu di atas As-Sunnah:
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهبلنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
“Wahai Robb kami janganlah Engkau memalingkan hati-hati kami setelah Engkau memberikan hidayah kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rohmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Al-Wahhab (Yang Maha Memberi karunia)”.
Adapun para sobat yang antum sebutkan maka sesungguhnya mereka semua sudah pada kembali ke Tanah Air, melainkan hanya seorang dari mereka.
Alhamdulillah telah sampai berita kepada kami bahwasanya mereka semua sudah menjadi para du’at, mereka semua sedang memikul tanggung jawab yaitu berda’wah dan mengamalkan ilmu mereka, Alhamdulillah mereka sudah memiliki thullab.
Semoga Akhuna Fillah ikut pula berperan mengamalkan ilmu yang pernah diketahui dan ikut pula menda’wahkannya, Akhuna Fillah Hafizhokumulloh bila antum mampu menunjuki seorang anak Adam hingga beriman dengan keimanan yang benar, dengan melaksakan kewajiban-kewajibannya berupa sholat lima waktu dan yang lainnya maka sungguh Akhuna Fillah telah mendapatkan kebaikan dan telah menabung untuk bekal akhirat:
من دل على هدى فله من الأجر مثل أجر من تبعه
“Barang siapa mengarahkan kepada petunjuk maka baginya dari pahala semisal pahala orang yang mengikutinya”.
Adapun salah seorang dari sobat antum yang antum kenal dengan nama Khidir maka sesungguhnya dia adalah orang yang antum tanyakan ini, dia masih terus berjuang memperbaiki dirinya dan berusaha untuk bisa bersabar di negeri Al-Hikmah dalam rangka menuntut ilmu, semoga Alloh memperbaiki keadaannya, memberikan hidayah kepadanya dan menambahkan ilmu dan segala kebaikan untuknya.
Dari Akhukum Fillah Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Hadahulloh Wa’afah di Negeri Al-Hikmah/Darul Hadits Sana’a Yaman (21 Dzulhijjah 1435).

LARANGAN MENIUP MAKANAN

Tanya: Afwan… Ustadz ana mau tanya apakah kita tidak boleh meniup makanan selagi makanannya masih panas… kadang suka tidak sadar ana meniup makanan saat ana akan menyuapi anak-anak. Jazakumullohu khoir. Atas jawabannya.
(Pertanyaan dari Bekasi).
Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم
Larangan meniup makanan telah ada dalilnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dari hadits Abdulloh bin Abbas Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يتنفس في الإناء، أو ينفخ فيه
“Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang dari bernafas di dalam bejana (gelas) dan meniup padanya”.
Dan larangan di sini hanya dengan meniup, adapun kalau seseorang ingin menghilangkan panasnya atau debu padanya dengan menggunakan kipas angin, atau mengipasnya dengan sesuatu maka ini boleh, larangan yang disini hanya berbentuk tiupan (angin yang keluar dari mulut), kalau tiupan (angin) dari mulut itu -misalnya dimasukan dulu di dalam kantong (plastik) lalu dituangkan ke makanan atau minuman tetap dia tidak boleh, karena sumber anginnya dari mulut, para peneliti dari para dokter dan perawat muslimin menyebutkan larangan ini memiliki hikmah, bahwasanya tiupan (nafas) yang keluar dari mulut itu mengandung sesuatu yang tidak sehat, kita sebagai Ahlussunnah memiliki prinsip dalam mengamalkan As-Sunnah, sama saja kita ketahui hikmahnya atau tidak, tetap kita mengamalkannya, begitu pula yang berkaitan dengan larangan di sini, kita berupaya dengan sungguh-sungguh meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh syari’at, sama saja kita ketahui ada hikmahnya atau tidak, tetap kita tinggalkan larangan-larangan dan kita lakukan perintah-perintah, karena ini adalah perwujudan keimanan seseorang, Ustadz kami Abul Abbas Harmin bin Salim Al-Limboriy Rohimahulloh berkata:
من يدعي مؤمنا بالله لكنه لم يأت بشريعة الله فإيمانه لا ينفع
“Barang siapa mengaku sebagai seorang yang beriman kepada Alloh akan tetapi dia tidak melaksanakan syari’at Alloh maka keimanannya tidak bermanfaat”.
Melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan adalah wajib bagi setiap mu’min, oleh karena itu Syaikh kami Abu Abdirrozzaq Riyadh bin Muhammad Ar-Rodfaniy Rohimahulloh berkata:
فإنه يجب علينا أن نؤديها بكل تسليم وانشراح صدر
“Maka sesungguhnya wajib atas kita melaksanakannya dengan penuh penerimaan dan penuh kelapangan dada”.
Bila seseorang lupa atau tidak menyadari lalu meniupnya maka dia tidak berdosa, dia dima’afkan oleh Alloh Ta’ala:
ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا
“Wahai Robb kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau kami keliru”.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (20 Dzulhijjah 1435).

CUKUPLAH MIHROB DI RUMAH! JANGAN DIBAWA-BAWA KE MASJID !

Pertanyaan:  BUKANKAH RUMAH RASULULLAH MEMPUNYAI MIHRAB ?
Jawab: Ummul Mu’minin Ummu Abdillah Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘anha mengisahkan sholat lail Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di rumahnya, bahwa jika beliau mau sujud maka ia menggeser kakinya, sehingga beliau sujud di tempat kakinya, ketika bangkit dari sujud ia kembalikan kakinya ke tempat semula, ini menunjukan kalau mihrob tidak ada di rumahnya karena mihrob merupakan tempat khusus untuk beribadah, baik sholat, dzikir atau membaca Kitabulloh.
Kalaupun seandainya ada mihrob di dalam rumah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka tidak bisa kemudian hukum rumah dibawa kepada hukum masjid, Ummu ‘Isa Maryam Ash-Shiddiqoh Rodhiyallohu ‘anha memiliki mihrob di dalam rumah mahromnya Zakariya ‘Alaihissholatu Wassalam:
وكفلها زكريا، كلما دخل عليها زكريا المحراب وجد عندها رزقا
“Dan Zakariya memeliharanya, setiap kali Zakariya masuk ke padanya di dalam mihrob, beliau mendapati rezki (makanan) di sisinya”.
Rumah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atau dikenal pula dengan rumah Ummul Mu’minin Aisyah Rodhiyallohu ‘anha pada asalnya bukan di dalam masjid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian terjadi perluasan masjid maka rumah yang kecil dan sederhana tersebut kemudian dijadikan di dalam masjid, dan ini tidak menunjukan tentang bolehnya membangun masjid di atas kuburan, dan tidak boleh pula dipaksa-paksakan sebagai dalil untuk menjadikan mihrob di dalam masjid.
Wallohu A’lam.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu (20 Dzulhijjah 1435).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar