Tanya: Bismillah… Afwan mohon nasehatnya, sebenarnya ana sudah berniat untuk berhenti menjadi guru honorer karena ingin menghindari ikhtilat dan ana ingin bisa mengasuh anak-anak ana dengan sepenuhnya sambil membantu suami dengan berdagang di rumah, namun orang tua ana melarang ana berhenti dengan alasan rugi dan sayang sekolah sampai sarjana tapi ijazah tidak dimanfaatkan, seolah-olah mereka merasa rugi telah menyekolahkan ana, sampai diam-diam bilang: Jika ana berhenti jadi guru, ana ini anak yang tidak punya cita-cita, tidak punya masa depan, ana sudah mencoba menjelaskan tapi masih tetap saja mereka melarang, ana bingung, jika ana tetap berhenti tanpa persetujuan mereka, ana khawatir mereka menganggap ana sebagai anak durhaka. Mohon nasehatnya,Jazaakumullohu khoiron. (Pertanyaan dari Malang).
Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم Orang yang ditanya juga pernah mengalami seperti apa yang dialami oleh penanya, namun dengan pertolongan Alloh semata yang ditanya dimudahkan untuk menempuh jejak para salafush sholih, semoga penanya dan siapa saja yang mengingkan kebaikan dimudahkan pula.
Sering kami katakan bahwasanya apa yang terjadi di zaman ini mesti pernah terjadi di zaman salaf, baik persis kejadian itu atau yang semisal dengannya.
Apa yang dialami oleh penanya, itu pernah pula dialami oleh salafiyyah yang sholihah yang dikenal dengan Malikah Saba’ (Ratu negri Saba’).
Ia Rodhiyallohu ‘anha memiliki kedudukan di negrinya melebihi kaum Adam, ia sebagai seorang pemimpin terhadap rakyatnya, ia memiliki kekayaan, istana dan singgasana yang mewah dan megah serta diberikan segala sesuatu, sampai seekor burung Hudhud terkagum-kagum kepadanya, sambil berkata:
Ia Rodhiyallohu ‘anha memiliki kedudukan di negrinya melebihi kaum Adam, ia sebagai seorang pemimpin terhadap rakyatnya, ia memiliki kekayaan, istana dan singgasana yang mewah dan megah serta diberikan segala sesuatu, sampai seekor burung Hudhud terkagum-kagum kepadanya, sambil berkata:
وأوتيت من كل شيئ ولها عرش عظيم
“Dan diberikan kepadanya dari segala sesuatu, dan baginya singgasana yang agung”.
Tidak hanya itu, bahkan ia memiliki bala tentara yang kuat-kuat dan ia selalu dikawal, namun ketika panggilan hidayah sampai kepadanya iapun memenuhi panggilan itu, para mentri dan para bangsawan kerajaannya menyebutkan tentang kelebihan mereka:
نحن ألو قوة وألو بأس شديد
“Kita adalah memiliki kekuatan dan memiliki keperkasaan yang sangat”.
Namun baginya semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan hidayah dari Robb alam semesta, ia pada awalnya sebagai pemimpin terhadap kerajaannya dan berkuasa untuk memerintah namun ia rela dan ridho terhadap semua itu berbalik baginya, ia rela menjadi bawahan dan siap untuk diperintah, ia mengarahkan kepada para bawahannya dengan pengarahan yang bagus:
إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوها وجعلوا أعزة أهلها أذلة وكذلك يفعلون
“Sesungguhnya para raja jika mereka memasuki suatu negri maka mereka akan menghancurkannya, dan mereka menjadikan orang-orang mulia dari penduduknya menjadi hina, demikian itulah yang akan mereka lakukan”.
Dengan kecerdasannya ini, selamatlah dirinya, masyarakat dan rakyatnya, jadilah ia sebagai “miftah likulli khoir” (pembuka terhadap segala kebaikan).
Iapun datang kepada sang raja Sulaiman ‘Alaihis Salam untuk menerima hidayah yang telah diserukan kepadanya, ia semakin menyadari bahwa apa yang pernah ia miliki semua itu ternyata menyelisihi fitroh dan agama yang benar, lalu ia bertaubat kepada Robbnya dengan berkata:
رب إني ظلمت نفسي وأسلمت مع سليمان لله رب العالمين
“Wahai Robbku, sesungguhnya aku telah menzholimi diriku dan aku telah memeluk Islam bersama Sulaiman karena Alloh Robb semesta alam”.
Semoga penanya bisa menjadikan ratu yang cerdas tersebut sebagai teladan.
Bukanlah termasuk durhaka atau khianat dari perbuatan ratu tersebut, dengan menanggalkan kedudukannya dan menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Sulaiman ‘Alaihis Sallam, justru dengan perbuatannya itu memberikan manfaat kepada dirinya, masyarakat dan rakyatnya dengan mendapatkan hidayah.
Kalau penanya meneladani ratu tersebut dengan bentuk meninggalkan jabatannya dan menjadikan dirinya sebagai permaisuri terhadap suaminya selaku sang raja di dalam istana rumah tangganya maka penanya telah melaksanakan amalan yang paling utama di sisi Alloh.
Dan kami nasehatkan untuk terus menjaga silaturrohim, kita telah ketahui bahwa hak suami sangatlah besar, namun hendaknya penanya tetap berupaya untuk menjadi “miftah likulli khoir” terkhusus untuk kedua orang tua penanya, dan hendaknya sang suami berlapang dada dalam masalah ini.
Bila penanya memiliki sesuatu yang bisa diberikan atau dihadiahkan untuk kedua orang tua penanya maka hendaknya ia lakukan dengan terus menerus.
Dan kami nasehatkan kepada kedua orang tua penanya untuk mengharap pahala dari amalan putrinya, apa yang dikorbankan oleh kedua orang tua untuk putrinya, baik berupa mendanai sekolah hingga selesai kuliah itu jauh lebih ringan dan lebih murah dari pada istana dan kerajaan di negri Saba’.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu di Darul Hadits Sana’a (21 Dzulhijjah 1435).
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu di Darul Hadits Sana’a (21 Dzulhijjah 1435).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar