Tanya: Bagaimana membantah pendapat pemuja pesantren putri: “Pesantren putra juga ada penyelisihan syariat di dalamnya, ada juga yang luthi (homo)”.
Jawab: Begitulah keadaan ahlul ahwa’, bila mereka tidak mampu membangun hawa mereka di atas dalil, maka mereka akan memunculkan syubhat yang berbau curhat.
Markiz atau pondok pesantren pria memiliki landasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, para salafush sholeh mendirikan dan melakukannya, tinggal dan tidurnya para pria di dalam suatu tempat adalah boleh, bila ada para pria melakukan penyelisihan di tempat mereka maka penyelisihan itu yang diperingatkan bukan tempatnya mereka yang dipermasalahkan, markiz tetap markiz dan masjid tetap masjid, yang membuat kebid’ahan di dalamnya semisal mihrob, garis-garis shoff atau ada asrama tinggalnya para putri atau ada homo dan maksiat di dalamnya maka maksiat dan perkara-perkara yang diada-adakan itu yang harus diperingatkan bukan markiz dan masjidnya.
Ashhabul kahfi mereka semuanya tertidur di dalam gua dalam waktu yang sangat lama, Ahlusshufah mereka berkumpul dan tidur di teras masjid Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dari zaman ke zaman para penuntut ilmu tinggal dan tidur di dalam masjid dan di emper-emper masjid.
Di zaman para shohabat, para shohabiyyah banyak pula yang berhijroh dari Makkah ke Madinah, dan kita ketahui bersama bagaimana pedih dan menderitanya orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka, bersamaan dengan itu para shohabat tidak membuatkan asrama khusus putri, tidak pula para wanita tinggal dan tidur di teras masjid atau di emper-emper masjid, namun mereka tinggal dengan mahrom mereka atau tinggal di tempat masing-masing mereka.
Memang ada seorang wanita, yang hidup sendirian, tanpa suami dan tanpa anak, tanpa kerabat dan tanpa keluarga, ia membuat kemah di dalam masjid, dan ia pun tinggal dan tidur hanya bersendirian di dalam kemahnya, ia tidak kumpul dengan para wanita, ketika wanita itu meninggal, tidak kemudian para tabi’in membangun pondok putri berdalil dengan perbuatan wanita itu.
Kemudian muncul para da’i yang meniru para pendeta kaum kuffar dan musyrikin dengan mencetus dan mendirikan pondok biarawati:
ولا تكونوا من المشركين من الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا.
“Dan janganlah keberadaan kalian termasuk dari orang-orang musyrik, mereka termasuk dari orang-orang yang memecah belah agama mereka menjadi berkelompok-kelompok“.
Dosa dan pelanggaran seperti ini kemudian dianggap ringan dan sepeleh oleh para penggemarnya, yang parah menurut mereka adalah orang-orang menyelisihi mereka dan orang-orang yang mutawaqqif. Hasbunallohu Wani’mal Wakil.
Dijawab oleh:
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar