Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Tanya-Jawab Bermanfaat (Senin 7 Dzul-Qaedah 1435 H)

Tanya jawab Bermanfaat Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbori 3
AMANAH ILMIYYAH
Tanya: Sebagian ustadz kadang mengambil faedah dari hizbiyyun baik dari majlisnya dulu, atau dari kitab-kitabnya, juga mengambil faedah dari orang yang tidak mereka sukai, namun kadang mereka buang sumber pengambilannya tadi, apa ini boleh?

Jawab:
بسم الله الرحمن الرحيم
Orang-orang yang melakukan perbuatan itu, menginginkan darinya untuk tidak dikritik atau menginginkan supaya dipuji dan dianggap murni dari hasil usaha mereka sendiri:
….ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا
“Dan mereka senang untuk dipuji terhadap apa yang tidak mereka kerjakan….”.
Mereka tidak menyadari kalau mereka telah terjatuh ke dalam penipuan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
من غشنا فليس منا
“Barang siapa menipu kami maka dia bukan dari kami”.
Perbuatan seperti ini jelas menyelisihi salaf, juga menyalahi amanah ilmiyyah, Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu ketika mengetahui ilmu yang beliau peroleh, maka beliau sebutkan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sumber pengambilannya dari seseorang yang beliau tidak kenal, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jelaskan:
ذاك شيطان
“Itu adalah syaithon”. 
Beliau sebutkan tentang ilmu yang disampaikan oleh syaithon kepada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:
صدق وهو كذوب
“Dia (syaithon) telah benar (dalam menyampaikan) dan dia adalah paling banyak dusta”.
Metode ini yang dijalani oleh Ahlul hadits, Syaikhuna Abu Hatim Sa’id bin Da’as Al-Yafi’iy Rohmatulloh ‘alaih ketika mendapatkan faedah ilmiyyah dari bait-bait sya’ir karya Az-Zamakhsariy maka beliau kutip, bersamaan dengan itu beliau katakan:
وهذا الزمخشري المعتزلي مع انحرافه وضلاله كان علي الهمة في تحصيل العلم
“Az-Zamakhsyariy Al-Mu’taziliy ini, bersama penyimpangan dan kesesatannya, dahulu dia adalah tinggi semangat(nya) dalam meraih ilmu”.
Dijawab oleh:  Abu Ahmad Al-Limboriy di Sakan Daril Hadits Jami’ Al-Fath Sana’a pada tanggal 6 Dzulqo’dah 1435.
BERTAQWALAH SEMAMPU KALIAN
Tanya: Seorang ikhwan berkata: Tempat tinggal kami Qodarullah jauh dari rumah ustadz atau markiz, sedang untuk datang ke majlis ustadz-ustadz itu tidak bisa, dikarenakan jauh, dan juga karena kewajiban mencari nafkah harus dilakukan setiap hari dan kondisi ekonomi tidak memungkinkan. Untuk mengantisipasi agar ana tidak jauh dari ilmu, maka ana mengambil ilmu melalui internet, kami sekeluarga bisa membaca faedah-faedah ilmu, mendengarkan muhadhoroh Syaikh, dan kadang menitipkan pertanyaan dan Alhamdulillah dapat jawabannya. Yang ana tanyakan, apakah ana telah menyelisihi thoreqoh salaf?.
Jawab: Banyak kaum muslimin dari kalangan salaf di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka tidak bisa datang langsung ke majelis Nabi, banyak dari mereka menunggu saudara-saudara mereka yang pergi ke majelis Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, para shohabat ada yang berjumpa dengan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hanya sebentar, ada yang sekali saja, ada bahkan tidak jumpa sebagaimana keadaan Raja Najasyiy, namun ketika sampai kepada mereka ilmu, mereka langsung mengamalkan dan mengimani, tidak senantiasanya mereka duduk di majelis Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam karena adanya sebab, bila sebab seperti yang disebutkan oleh penanya maka hal demikian tidak mengapa:
فاتقوا الله ما استطعتم
“Bertaqwalah kalian semampu kalian”.
Alhamdulillah penanya telah berusaha.
Tanya: Ada juga teman istri, dia seorang akhwat, setelah tahu ilmunya, kemudian dia beramal semampunya di rumahnya, dia tidak pernah datang ke majlis ta’lim dikarenakan dia tidak ada mahrom (karena tempat ta’lim jauh), kemudian dia mendapatkan ilmu lewat internet dari website Ahlussunnah. Akhwat tersebut punya banyak teman, maka dia bagikan ilmu yg dia dapat dari internet melalui hpnya. Maka apakah yang seperti itu boleh dilakukan oleh akhwat?, sementara dia belum pernah bisa duduk di majlis ta’lim para da’i Salafiyyah?.
Jawab: Boleh baginya menyampaikan ilmu yang dia peroleh, dia sampaikan kepada teman-temannya para wanita atau para mahromnya, walaupun belum pernah menghadiri majelis ilmu secara langsung. Dia telah memiliki salafiyyah, Ratu negri Saba’ ketika sampai kepadanya ilmu dari Nabiulloh Sulaiman ‘Alaihishsholatu Wassalam, dia pun sampaikan kepada para bawahannya:
إني ألقي إلي كتاب كريم، إنه من سليمان وإنه بسم الله الرحمن الرحيم
“Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku tulisan (surat) yang mulia, sesungguhnya dia dari Sulaiman, dan sungguh padanya (tertulis) nama Alloh yang Ar-Rohman (Maha Pengasih) lagi Ar-Rohim (Maha Penyayang)”.
Tentang masalah tidak keluarnya wanita dari rumahnya, ini masalah yang terpuji, karena hukum asalnya memang mereka di dalam rumah mereka masing-masing, dengan itu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak menghimbau mereka keluar untuk menghadiri majelisnya, kecuali hanya perintah pada i’edain.
Ketika ada dari mereka keluar untuk menghadiri sholat maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak melarang mereka, ketika para wanita meminta diadakan ta’lim khusus buat mereka maka beliau penuhi, setelah mendengarkan ta’lim mereka bergegas kembali ke rumah mereka masing-masing, dan kejadian inipun tidak disebutkan bahwa mereka berulang-ulang adakan kajian khusus dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Wallohul musta’an.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy di Darul Hadits Jami’ Al-Fath Sana’a (6 Dzulqo’dah 1435).
APAKAH PERKATAAN DAN PERBUATAN SHOHABAT DALIL?
Tanya: Apakah perkataan dan perbuatan shohabat teranggap dalil?
Jawab: Dikatakan dalil dengan ketentuan:
Pertama:  Kalau mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kedua:  Kalau tidak ada yang menyelisihinya dari shohabat lainnya.
Contoh yang jelas dalam masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau memerangi orang-orang yang menolak kewajiban zakat, para shohabat tidak menyelisihi hal ini, bahkan mereka mendukungnya, Umar Rodhiyallohu ‘Anhu berkata:
إني قد علمت أن الله قد شرح صدر أبي بكر، وأنه على الحق
“Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwasanya Alloh telah melapangkan dada Abu Bakr, dan bahwasanya beliau di atas al-haq”.
Apa yang dilakukan oleh kholifah Abu Bakr Rodhiyallohu ‘Anhu ini termasuk dari sunnahnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
…عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
“Harus bagi kalian untuk (berpegang teguh) dengan sunnahku dan sunnah al-khulafa’ ar-rosyidin al-mahdiyyin”. Yang mereka adalah Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali Rodhiyallohu ‘Anhum.
Adapun yang ditetapkan oleh Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu berupa dua azan pada hari Jum’at maka ini bukan termasuk dalil, karena tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan para shohabat menyelisihi perkara ini, Syaikhuna An-Nashihul Amin berkata:
الأذان الأول للجمعة محدث، نقل ابن رجب رحمة الله عليه في فتح الباري اتفاق العلماء على أنه محدث
“Azan pertama pada hari Jum’at adalah muhdats (bid’ah), Ibnu Rojab Rohmatulloh ‘Alaih di dalam “Fathul Bariy” telah menukil kesepakatan para ulama bahwasanya dia adalah muhdats”.
Maka dengan ini, tidaklah teranggap apa yang ditetapkan oleh Utsman Rodhiyallohu ‘Anhu tersebut sebagai dalil, dan tidak pula sebagai sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rosyidin Al-Mahdiyyin. Wallohu A’lam.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy (5 Dzulqo’dah 1435).
MELURUSKAN MAKNA “SAUDARA”
Tanya: Bismillah…. Afwan ini ada pertanyaan sebagai berikut, bila ada waktu dan kesempatan kiranya antum dapat menanyakan kepada ustadz yang mumpuni di situ. Jazakallahukhairan. Oleh karena ada perbedaan prinsip antara seorang ustadz dengan jama’ahnya, akhirnya ustadz tersebut mengatakan kepada ikhwan lain bahwa si fulan “bukan saudara ana lagi”. Kepada jama’ah lainnya, dilarang berhubungan dengan jama’ah tersebut. Apakah ini termasuk Takfiriy. Barakallahufikum.
Jawab: Dilihat kepada niatnya:
إنما الأعمال بالنية، وإنما لكل امرء ما نوى
“Sesungguhnya amalan-amalan tergantung pada niatnya, dan hanya saja bagi setiap orang tergantung apa yang diniatkan”.
Kalau dia ucapkan “bukan saudaraku lagi” dengan maksud “bukan saudara semanhaj dalam da’wah” maka dia tidak boleh dikatakan sebagai takfiriy, karena yang dikatakan sebagai takfiriy kalau dia mengatakan “bukan saudaraku lagi”, dia maksudkan bukan saudara seagama lagi maka ini jelas mengkafirkannya, dan perlu diketahui “bahwa tidak setiap orang yang mengkafirkan itu dikatakan sebagai takfiriy, yang dikatakan takfiriy kalau dia mengkafirkan ahlul qiblah yaitu mengkafirkan orang-orang yang beriman”.
Dan penggunaan kata “saudara” ini disesuaikan kedudukan dan tempatnya, seorang mu’min kalau dia memiliki saudara kandung yang beda agama maka boleh dikatakan bahwa dia itu adalah saudaranya, yaitu saudara serohim (saudara kandung), begitu pula saudara kerabat. Alloh Ta’ala telah perjelas hal ini di dalam kitab-Nya:
إذ قال لهم أخوهم نوح ألا تتقون
“Ketika berkata saudara mereka Nuh: Tidakkah kalian bertaqwa”.
Alloh Ta’ala juga sebutkan dengan lafazh “akhukum” (saudara kalian) pada umat-umat dari kaum Sholih, Luth dan Hud.
Begitu pula seorang anak bila memiliki orang tua yang kafir maka tetap baginya mengakuinya, seperti Asma’ bintu Ash-Shiddiq ketika datang ibunya yang musyrikah maka ia minta fatwa dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliaupun menetapkan itu dengan menyebutkan “ummaki” (ibumu), begitu pula kisah Al-Kholil ‘Alaihishsholatu Wassalam:
….يآأبت لا تعبد الشيطان
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaithon….”.
Semuanya diletakan sesuai pada tempatnya masing-masing.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy (4 Dzulqo’dah 1435).
HUKUM BOTAK
Tanya: Apakah  boleh bagi seseorang mencukur habis rambut kepalanya sehingga botak?.
Jawab: Boleh kalau membutuhkan hal demikian, baik karena kebutuhan untuk melakukan bekam di kepala, adanya penyakit pada kepala, ada luka di kepala dan tidak bisa diobati dengan baik melainkan dengan mencukur rambutnya, ingin menghilangkan gangguan di kepala, dan terkadang menjadi suatu kewajiban seperti ketika haji yaitu pada hari nahr (10 Dzulhijjah), karena termasuk dari kewajiban-kewajiban haji adalah mencukur atau memangkas rambut kepala bagi laki-laki dan memendekan rambut kepala bagi wanita, Asy-Syaikhon meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قيل له في الذبح والحلق والرمي والتقديم والتأخير، فقال: فلا حرج.
“Sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dikatakan pada menyembelih, mencukur, melempar (jamroh), mendahulukan dan mengakhirkan, maka beliau menjawab: “Tidak mengapa (tidak berdosa)”.
Mencukur atau memangkas rambut kepala bagi laki-laki dan memendekan rambut kepala bagi prempuan adalah termasuk pula dari kewajiban-kewajiban umroh.
Sebagian orang tidak membolehkan mencukur rambut kepala di selain haji dan umroh, namun yang benar seperti yang telah kami sebutkan, yaitu bila ada kebutuhan atas demikian itu maka hukumnya boleh,
Syaikhuna An-Nashihul Amin berkata:
كرهه الإمام أحمد وغيره، والذي يظهر أنه يجوز للحاجة
“Al-Imam Ahmad dan selain beliau memakruhkannya, dan yang benar bahwasanya dia adalah boleh karena membutuhkan”.
Sebagian orang pula tidak membolehkan mencukur rambut kepala (botak) dengan beralasan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang kafir semisal Saulin, juga tasyabbuh terhadap khowarij, 
namun yang benar adalah boleh, bila hal demikian itu dibutuhkan, Syaikhuna An-Nashihul Amin berkata:
أما إن كان لغير حاجة وإنما شعارًا كشعار الخوارج؛ فلا
“Adapun jika keberadaannya selain hajat (selain membutuhkan) maka dia adalah semboyan seperti semboyannya khowarij, maka ini tidak boleh”.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«إن ناسًا من أمتي -سيماهم التحليق- يقرءون القرآن لا يجاوز حلوقهم، يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية، هم شر الخلق».
“Sesungguhnya manusia dari umatku, ciri-ciri mereka adalah cukur rambut kepala (botak), mereka membaca Al-Qur’an namun (bacaan mereka) tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya, mereka adalah paling jeleknya makhluk”.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy (4 Dzulqo’dah 1435).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar