Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Mengutamakan Kerabat yang membutuhkan

mengutamakan Kerabat Yang Membutuhkan
Tanya: Assalamu’alaikum….. afwan mau bertanya: Mana yang lebih utama, membantu kerabat yang belum mampu atau mengasuh anak yatim yang bukan kerabat?. (Pertanyaan dari Surabaya).
Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Yang lebih utama adalah melakukan kedua-duanya bila mampu, membantu kerabat dan mengasuh anak yatim masing-masing dari keduanya memiliki keutamaan.
Bila tidak mampu melakukan kedua-duanya maka membantu kerabat yang belum mampu itu lebih diutamakan, dalilnya adalah hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon dan Ashhabus Sunan tentang kisah seorang shohabat yang menjima’i istrinya pada siang hari di bulan Romadhon, ketika dia datang kepada Rosululloh ‘Alaihissholatu wa Salam maka beliau memerintahkannya untuk memerdekakan hamba sahaya, namun dia tidak sanggup, kemudian beliau memerintahkannya untuk berpuasa dua bulan berturut-turut, dia juga tidak sanggup, kemudian beliau berkata kepadanya:

هل تجد ما تطعم ستين مسكينا؟
“Apakah kamu mendapati apa-apa untuk kamu beri makan 60 (enam puluh) orang miskin?”, diapun berkata: “Tidak”, maka beliau mendatangkan kepadanya sekeranjang yang berisi korma, kemudian berkata:
تصدق بهذا
“Bersedekahlah dengan ini!”, diapun mengatakan kepada Rosululloh bahwa keluarganya lebih membutuhkan sedekah tersebut, maka beliau tertawa, lalu berkata kepadanya:
اذهب فأطعمه أهلك
“Pergilah kamu, lalu beri makanlah untuk keluargamu”.
Hadits tersebut menunjukan tentang mengutamakan kerabat bila mereka lebih membutuhkan, dan keadaan orang tersebut tidak mampu, kalaulah dia memiliki kemampuan tentu dia akan memberikan kepada keluarganya sekaligus orang-orang miskin lainnya, namun karena hanya itu yang dia dapat maka diapun berikan hanya kepada keluarganya.
Dan ini bukan hanya masalah memberi sedekah, masalah mendidikpun seseorang mendahulukan keluarganya:
وأنذر عشيرتك الأقربين
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat yang paling terdekatmu”.
Bukanlah suatu sikap yang bijak bagi seseorang yang sibuk da’wah ke sana kemari, namun kerabat-kerabat dekatnya atau anak-anaknya terbengkalai dari pendidikannya:
كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت
“Cukuplah bagi seseorang berdosa bila dia menerlantarkan siapa saja yang dibawah tanggung jawabnya”. Diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’iy dan ini adalah lafazhnya An-Nasa’iy.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy pada tanggal 21 Syawwal 1435.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar