Abu Ahmad Muhammad Al-Limboriy 'Afallohu 'anhu.
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ
لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Telah sampai kepada kami keluhan bahwa
ada orang-orang mengatakan bahwa boleh bagi wanita untuk menetap di rumah
ustadz atau di asramanya, dia berkata bahwa di "Ash-Shohihul Musnad"
ada haditsnya dan ada seorang syaikh menyatakan tidak apa-apa.
Demikianlah cara ahlul bathil
dalam menda'wahkan kebatilan mereka, dengan mudah mengatakan ada di kitab itu, lebih
hina dan rendah lagi berhujjah dengan "syaikh fulan membolehkan".
Kami tidak mengira kalau ada orang yang
menisbatkan diri kepada "sunnah" atau kepada "ilmu"
namun ternyata bersikap seperti orang-orang shufi, yang mereka hanya berdalil
syaikh fulan atau ulama membolehkan, Laa Ilaha Illalloh.
Sudah lama permasalahan santriwati tinggal
di asrama diperbincangkan dan diperselisihkan ternyata ada seseorang yang
mengambil andil besar, karena latar belakangnya bisa belajar dan menuntut ilmu
dengan cara memanfaatkan santriwati, menikahinya kemudian dia didanai olehnya, setelah
itu "habis manis sepak dibuang", disakiti lalu dicerai karena
dianggap mengganggunya dalam belajar dan menuntut ilmu, kini dia tampil dengan
sekuat tenaga bahkan berani membuat "fatwa tandingan", mungkin supaya
dia mendapatkan santriwati baru yang bertempat tinggal di asrama, sehingga dia
memanfaatkannya kembali sebagaimana dahulu dia dengan penuh kelicikan
memanfaatkan anak wanita orang (santriwati), Na'udzubillahi min syarrihi.
Karena mereka hanya dengan lisan gampang
dan mudah mengatakan: "Di "Ash-Shohihul Musnad" haditsnya,
dan juga ada seorang syaikh menyatakan tidak apa-apa". Maka kami kutipkan
perkataan penulis "Ash-Shohihul Musnad" Muqbil bin Hadiy
Al-Wadi'iy Rohimahulloh:
"باب
طلب المرأة الرجل أن يعلمها إذا أمنت الفتنة بدون خلوة".
"Bab tuntutan
seorang wanita kepada seorang lelaki untuk mengajarinya, jika aman dari fitnah
dan tanpa berdua-duaan".
Pada pembaban ini terdapat dua syarat:
Pertama:
Aman dari fitnah.
Kedua:
Bebas dari berdua-duaan.
Dan kalau kita melihat kepada hadits
yang dibawakan setelah bab ini maka tidak menunjukan bolehnya bagi wanita untuk
tinggal di rumah ustadznya atau di asramanya.
Kemudian syarat tersebut apakah mampu
mereka realisasikan ataukah malah mereka menyelisihinya?.
Kalaupun dalil mereka "syaikh
fulan" membolehkan atau menyatakan "tidak apa-apa", maka itu
bukan hujjah, kalaupun dia menyebutkan dalil-dalil berupa adanya seorang wanita
tinggal di masjid maka hal itu tidak terus menerus dan tidak berkesinambungan, ketika
di zaman Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam ada wanita berkulit
hitam tinggal di masjid karena tidak memiliki rumah, setelah dia meninggal maka
tidak ada cerita dan tidak ada sejarahnya bahwa ada dari para wanita sholihah mencontohnya
untuk tinggal di masjid.
Ketika terjadi perbaikan masjid Nabawiy
di zaman Utsman Rodhiyallohu 'anhu, beliau tidak menyediakan asrama
khusus di masjid untuk para wanita tinggal di sana, begitu seterusnya dari
pergantian zaman ke zaman tidak didapati hal demikian itu, namun kemudian
muncul para penuntut ilmu mengadakan perkara baru atas nama "da'wah",
Allohul musta'an.
Karena mereka keras kepala dan
mengahalkan segala cara baik dengan memprovokasi atau menipu maka berikut ini kami
akan sebutkan tentang fitnah yang muncul di balik slogan "pondok pesantren
putri" ini, diantaranya:
Pertama:
Adanya "anggapan yang diyakini" bahwa seorang lelaki boleh untuk
mengutarakan isi hatinya kepada wanita, atau mengatakan: "Aku ingin
menikahimu sebagaimana Rosululloh mengatakan kepada wanita shohabiyyah secara
langsung dengan tanpa perantara"[1].
"Anggapan yang diyakini" ini muncul
dan bersumber dari para santriwati di TN Ngawi, TN Degolan, TN Pangkep dan TN lainnya.
Dengan "anggapan yang
diyakini" ini, tidak heran kalau kemudian para santri dan santriwati yang
berada di pondok pesantren Pangkep-Sulawesi beramai-ramai melakukan pacaran
lewat HP, surat-suratan dan telpon-telponan, bila ada laki-laki dari luar
pondok datang melawar santriwati dan kemudian berhasil dinikahi dan dibawa
pergi maka santri yang sering berhubungan dengannya sedih bahkan menangis sampai
stress (hampir gila) karena pacarnya telah dibawah orang lain, bahkan
santri ini sendiri menceritakannya kepada teman-temannya: "Istrinya si fulan
itu dulunya pinanganku ketika kami masih mondok di Pengkep".
Tidak hanya sekedar dengan menyebut si
fulan, bahkan mereka menyatakan sendiri dengan lafazh: "Si ustadz itu
meminang santriwati yang sudah kupinang lalu dia bawa pergi dari TN Pangkep".
Tidak hanya di Pangkep namun di tempat
lain juga terdapat praktek jelek seperti ini[2], masing-masing santri yang
merasa pacarnya atau bahasa tipuan mereka "pinangan" telah diambil
orang, mereka berkata kepada kawan-kawannya ketika masih di pondok pesantren: "Ustadz
itu menikahi pinanganku, iniloh buktinya kalau istrinya itu sudah kupinang,
surat-surat cintanya dan hasil cetting serta data-data booksnya masih kusimpan,
bahkan kata-kata cintanya telah kuukir mati di dalam hatiku ini", dia mengutarakan
kata-kata jorok dan rusak itu sambil menangis-nangis.
Maka lebih memalukan lagi kalau kemudian
ustadz yang dijadikan pembicaraan itu kini berani menyuarakan kebebasan bagi
para wanita untuk tinggal di tempat ustadznya atau tinggal di asramanya.
Bahkan para santri dan santriwati itu, sudah
berjauhanpun masih terus berhubungan, dengan rayuan: "Tunggu saya pulang
baru kita menikah".
Apa yang membuat mereka berbuat seperti
itu?[3], Tidak lain fitnah itu
muncul disebabkan bukti nyata bahwa itulah buah dari penyelisihan terhadap syari'at
yang suci.
Kedua:
Melepas cadar di luar TN.
Ketika mereka liburan meninggalkan TN,
sesampainya di Terminal mereka melepas cadar-cadar mereka, ini kami
menjumpainya di salah satu terminal ketika kami menuju ke Jakarta untuk ke
Yaman, dan mereka adalah santriwati dari suatu pondok, kami mengetahui karena
kami mengenal mahrom mereka yang melakukan penjemputan.
Bila seperti ini keadaan mereka maka
tidak ada bedanya dengan para mahasiswi hizbiyyah yang mereka mengaku sebagai "mahasiswi
salafiyyah" ketika pergi menghadiri ta'lim maka mereka memakai cadar, atau
ketika jalan menuju kampus maka mereka memakai cadar, sampai di pintu gerbang
kampus langsung mereka melepas cadar-cadar mereka. Atau ketika mereka sedang
jalan-jalan, bila berpapasan dengan orang-orang awam; baik yang preman atau
orang biasa-biasa, mereka santai dengan tanpa cadar, namun ketika melihat para
mahasiswa yang mengaku sebagai "mahasiswa salafiyiyyin" bergegas
mereka menutupi wajah-wajah mereka. Jadi hukum cadar di sisi mereka hanya
berlaku untuk sesama "salafiyyah mereka".
Bila orang awam mengatakan kepada
mereka: "Kenapa mbak tidak sekalian saja memakai cadarnya biar tidak
capek-capek angkat tangan untuk tutup wajah?". Jawaban mereka:
"Beginilah dulu Bu' yang dipraktekan oleh Aisyah istri Nabi".
Demikianlah cara-cara mereka dalam
melakukan penipuan terhadap manusia, padahal Aisyah Rodhiyallohu 'anha melakukan
perbuatan seperti itu ketika dia sedang haji atau umroh, karena ketika sedang
ihrom disyari'atkan bagi wanita untuk membuka wajahnya,
akan tetapi jika bercambur baur dengan para lelaki (yang bukan mahrom mereka)
maka mereka menutupinya, Aisyah Rodhiyallohu 'anha berkata:
"كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ
بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مُحْرِمَاتٌ، فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ
رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ".
"Ada para pengendara lewat dekat kami dan
kami bersama Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dalam keadaan
berihrom, jika para pengendara tersebut sejajar dengan kami maka salah satu
dari kami menarik jilbabnya dari kepalanya ke wajahnya, jika mereka sudah
melewati kami maka kami membukanya kembali". Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqiy, dengan sanad dhoif (lemah),
akan tetapi memiliki penguat, diantaranya dari hadits Asma' bintu Abi Bakr
Ash-Shiddiq Rodhiyallohu 'anha, dia berkata:
"كُنَّا
نُغَطِّي وُجُوهَنَا مِنَ الرِّجَالِ".
"Dahulu kami menutupi
wajah-wajah kami dari para lelaki". Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah di
dalam "Shohih"nya dan Al-Hakim di dalam "Al-Mustadzrok",
dan beliau berkata: "Hadits ini adalah shohih sesuai dengan yang
dipersyaratkan oleh Al-Bukhoriy dan Muslim dan keduanya tidak
meriwayatkannya".
Ketiga:
Fitnah-fitnah TN telah banyak kami jelaskan dalam bentuk tulisan silahkan
meruju' pada tulisan-tulisan kami yang berkaitan dengan itu.
Demikian yang bisa kami sampaikan.
سبحانك اللهم وبحمدك لا
إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Bahkan anggapan yang diyakini ini ketika
muncul berupa pertanyaan di kajian setelah sholat Ashar di Musholla Graha
IPTEKDOK UNAIR Surabaya yang dipandu oleh pentolan hizbiy Muhammad Afifudin bin
Husnunnuri As-Sidawiy pada tahun 2006 Masehi, maka si hizbiy ini menjawab:
"Wah wah, ini Rosululloh beda dengan kita! Kita siapa?!".
Masuk pula pertanyaan pada pertemuan
yang lain di tempat yang sama, tentang hadits larangan bagi wanita melepas
pakaiannya di selain rumahnya atau di selain rumah suaminya maka si hizbiy ini
berkata: "Hadits ini menghujat mereka para wanita yang tinggal di
kos-kosan".
Miskin (kasihan) si hizbiy ini,
bisanya hanya menyebutkan tentang yang di kos-kosan, kenapa tidak sekalian menyebutkan
yang di TN?, apa karena ketika itu dia sedang merancang untuk mendirikan TN?.
[2] Pernah ada seseorang mengingkari praktek jelek ini, maka para pemuja
TN mengatakan kepadanya: "Kamu juga dulu pernah berbuat begitu".
Demikianlah syubhat mereka, jadi
menurut mereka "kalau orang yang pernah berbuat kemungkaran maka
menurut kaedah mereka tidak boleh bagi orang itu untuk mengingkari kemungkaran",
ini persis dengan bualan dan tipu daya Abdul Ghofur Malang beserta
pembesar-pembesarnya, ketika kami membantah masalah sekolah diapun menyatakan
bahwa kami juga pernah sekolah. Ternyata mereka telah bersepakat dalam
menerapkan kaedah sesat ini.
[3] Lebih herannya lagi, ternyata bukan hanya santri dan santriwati yang
terkena penyakit "anggapan yang
diyakini" ini, namun ternyata para ustadz pengajar TN-pun ada yang
mempraktekan "anggapan yang diyakini" ini, ketika sudah ada yang
pisah ranjang dengan istrinya ternyata pak ustadz TN meluapkan isi hatinya,
ngiler dan jatuh cinta". A'udzubillahi minal fitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar