PENDAHULUAN
بسم الله
الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي
أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيدا. وأشهد أن لا
إله إلا الله وحده لا شريك له إقرارا به وتوحيدا. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى
الله عليه وعلى آله وسلم تسليما مزيدا.
أما بعد:
Negara
Indonesia adalah suatu negara yang memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang
beraneka macam, terkhusus bagi mereka yang bersuku Buton (Wolio), kita dapati berbagai
macam kebudayaan dan adat istiadat ada di daerah tersebut. Namun dari
kebudayaan dan adat istiadat itu sangat banyak kita dapati penyelisihan
terhadap aturan-aturan Islam, terkadang ada darinya yang bersesuaian dengan ajaran
Islam dan bahkan adapula yang dianjurkan oleh syari'at Islam, namun sangat
disayangkan ternyata semua itu disisipkan dengan perkara-perkara yang
bertentangan dengan aturan-aturan Islam diantaranya:
PENYEBUTAN DAN PENETAPAN GELAR BAGI
YANG MENGAKU PERNAH HAJI DENGAN GELAR "H" BAGI LELAKI DAN
"HJ" BAGI WANITA
Termasuk dari kebiasaan masyarakat
Indonesia, bila ada yang sudah naik haji atau sudah mengaku telah haji maka
mereka beramai-ramai menyebutnya dengan "pak haji" atau "mama
haji", bahkan terkadang orang yang merasa pernah haji dengan bangga
menulis gelar "H" atau "Hj" pada awal namanya, dan bahkan dia
senang bila dipanggil dengan "pak haji" atau "mama haji".
Bila ada dari generasi terdahulu dari
orang-orang Buton yang mereka hidup di zaman penjajahan Belanda mengaku sebagai
"Haji" atau mengaku pernah "Haji" ke Makkah maka perlu
dipertanyakan keberadaannya, karena beberapa alasan:
Pertama: Di
masjid Keraton Buton terdapat sebuah lubang yang berbentuk seperti sumur, lubang
ini berada dibalik mihrob, mereka percayai bahwa lubang ini sebagai jalan
pintas yang menembus langsung ke kota Makkah di KSA (Kerajaan Saudi Arobia), banyak
dari masyarakat Buton ketika sudah masuk ke masjid Keraton Buton dan mereka
duduk di sana beberapa hari, setelah mereka kembali ke kampung halaman,
merekapun mengaku telah naik haji dengan melewati lubang tersebut, ini jelas
sebagai suatu kedustaan dan penipuan belaka, orang penipu dan pendusta ini
telah Alloh Ta'ala janjikan hukuman baginya:
{لَا
تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا
بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [آل عمران: 188]
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih". (Ali Imron: 188).
Kedua: Banyak
dari masyarakat Buton di zaman itu, ketika mereka mengaku telah naik haji
sesampainya di kampung halaman, merekapun membuat cerita bahwa di Makkah mereka
berjumpa dengan orang tuanya, saudaranya atau kerabat-kerabatnya yang telah
mati, mereka mendapatinya di Makkah hidup lagi, ini juga termasuk dari
kedustaan dan penipuan, bisa jadi mereka hanya melihat orang-orang yang mukanya
mirip dengan kerabat mereka lalu kemudian mereka anggap itulah kerabat mereka, karena
orang yang sudah mati tidak bisa lagi kembali ke dunia, sebagaimana Alloh Ta'ala
katakan tentang mereka yang sudah mati:
{حَتَّى
إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ
صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ
وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)} [المؤمنون: 99، 100].
"Apabila telah datang kematian kepada seseorang dari
mereka, diapun berkata: "Wahai Robbku kembalikanlah aku (ke dunia), supaya
aku beramal sholih terhadap apa yang telah aku tinggalkan, sekali-kali tidak, sesungguhnya
itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh
sampai hari mereka dibangkitkan". (Al-Mu'minun: 99-100).
Ketiga:
Bila mereka telah sampai di kampung halaman, mereka mengisahkan pula bahwa
masjid Harom di Makkah seperti masjid Keraton Buton, berapapun banyaknya
jama'ah haji maka masjid Harom selalu menampung mereka semuanya. Ini juga jelas
sebagai kedustaan dan penipuan kepada manusia, tidakkah mereka mengetahui bahwa
pemerintah di kerajaan Saudi Arobia pada setiap tahunnya membatasi jumlah
jama'ah haji?, pembatasan jama'ah itu dikarenakan masjid Harom tidak bisa
menampung banyaknya jama'ah haji yang datang dari penjuru dunia.
Keempat: Ada dari mereka mengaku naik haji dengan cerita
"pergi terakhir ke Makkah dan pulang duluan ke Tanah Air Indonesia",
dengan gambaran bahwa mereka ke Makkah dengan perantara para jin, mereka duduk bertapa
di suatu kamar khusus, kemudian jin datang kepada mereka dengan menyanyakan apa
yang mereka butuhkan?, lalu jin tersebut siap untuk mengantar mereka ke Makkah
akan tetapi dengan beberapa syarat, diantaranya: Meletakan mushhaf Al-Qur'an di
kamar bertapanya, terkadang mushhafnya diletakan di bawah telapak kaki mereka (diinjak-injak)
dan terkadang pula mushhafnya dicampur aduk dengan air kencing mereka, ini
jelas sebagai kekafiran yang nyata, Alloh Ta'ala berkata:
{وَقَدْ
نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ
بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي
حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا} [النساء: 140].
"Dan sungguh Alloh telah menurunkan
(sesuatu) kepada kalian di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kalian mendengar
ayat-ayat Alloh diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka
janganlah kalian duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan
yang lain, karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian
serupa dengan mereka. Sesungguhnya Alloh akan mengumpulkan semua orang-orang
munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahannam".
(An-Nisa': 140). Orang yang tetap berteman dengan orang-orang yang mengingkari
dan perolok-olok perkataan Alloh (Al-Qur'an) jika dia tidak bertaubat dan tidak
berlepas diri dari orang tersebut maka dia dikatakan termasuk dari golongan mereka
ya'ni kafir, maka tentu lebih kafir lagi kalau dia sendiri yang mengingkari,
memperolok-olok dan menghinakan Al-Qur'an. Dia juga berkata:
{مَا
يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا} [غافر: 4]
"Tidaklah
dipertentangkan terhadap ayat-ayat Alloh (Al-Qur'an) melainkan hanya
orang-orang yang mereka telah kafir". (Ghofir:
4).
Mempertentangkan ayat-ayat di dalam
Al-Qur'an saja sudah dikatakan kafir maka tentu lebih kafir lagi bila
menghinakannya.
Ketika Jin dalam proses mengantar (orang
yang akan haji), jin mampir di sebuah pulau, di pulau tersebut dia
memerintahkan orang yang akan haji itu untuk menyembah atau sujud kepadanya
atau sujud kepada syaithon atau sujud kepada para thoghut di pulau itu, diapun
melakukan perintah jin karena takut diterlantarkan di pulau tersebut, dengan
sebab perbuatannya ini maka dia bertambah kekafirannya, Alloh Ta'ala
berkata:
{وَمَنْ
يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا
مُبِينًا (119) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا
غُرُورًا (120) أُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلَا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا
(121)} [النساء: 119 - 121].
"Dan barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai pelindung
selain Alloh, maka sesungguhnya dia menderita kerugian yang nyata. Syaithon itu
memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada
mereka, padahal syaithon itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan
belaka. Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari
dari padanya".
(An-Nisa': 119-121).
Setelah
dia sujud dan menyembah jin atau menyembah syaithon atau menyembah
thoghut-thoghut itu maka jin mengantarnya ke Makkah, setelah selesai melakukan
tujuannya di Makkah, jin mengantarnya kembali pulang dengan mampir ke sebuah pulau
tadi dan diperintahkannya untuk sujud sebagaimana yang dilakukan ketika
berangkat[1].
Kelima: Kalaupun
mereka di zaman penjajahan Belanda pernah sampai ke Makkah dengan mengendarai "Pbangka"
(perahu berlayar dengan tanpa mesin), dan mereka sempat mengikuti haji, maka haji
mereka perlu dipertanyakan, karena latar belakang mereka suka berbuat syirik,
tatkala mereka sampai di Makkah merekapun melakukan kesyirikan, baik berupa sujud
kepada kuburan Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dan berdoa kepadanya
maka ini jelas kesyirikan yang mengharuskan amalan haji mereka sirna dan
sia-sia belaka, Alloh Ta'ala berkata:
{لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [الزمر:
65]
"Jikalau kamu
menyekutukan Alloh maka sungguh batallah amalanmu, dan sungguh kamu akan
termasuk dari orang-orang merugi". (Az-Zumar:
65).
Keenam: Kalau
mereka benar-benar sempat haji pada zaman penjajahan Belanda maka tentu ada
dari mereka yang berjumpa dengan da'wah tauhid di Makkah sebagaimana yang
pernah didapati oleh guru-guru Imam Bonjol semoga Alloh merohmati mereka,
mereka naik haji kemudian berjumpa dengan da'wah atau pengajian tentang tauhid
di masjid Harom yang dibina oleh murid-murid Imam Najd Muhammad bin Abdil
Wahhab An-Najdiy semoga Alloh merohmati mereka semuanya, merekapun
kemudian mendengarkan dan mengambil ilmu yang diajarkan di sana. Ketika mereka kembali
ke Tanah Air Indonesia, mereka langsung menda'wahkannya. Adapun mereka
orang-orang Buton yang mengaku telah haji di zaman penjajahan Belanda tidak
kita dapati cerita ketika pulang membawa kebaikan berupa ilmu tauhid namun yang
mereka bawa adalah keanehan-keanehan dalam beragama, ada yang membawa
tulang-tulang onta, ada yang bawa pasir kerikil tanah Harom, bahkan ditambah
lagi dengan kebanggaan mereka dalam menetapkan diri-diri mereka sebagai para
"haji" dan mereka suka disebut sebagai "pak haji".
Dengan keberadaan gelar ini, kemudian muncul
generasi baru (setelah kemerdekaan Indonesia) mereka menganggap bahwa gelar
"haji" adalah gelar untuk orang terhormat, siapa yang tidak menyebut
gelar hajinya dianggap tidak beradab, hingga tidak jarang kita lihat banyak
dari mereka mengagumkan gelar ini, di kota, di desa atau bahkan di perkampungan
sering kita jumpai nama suatu jalan dengan nama "Jln. H.…" atau
"Jln. KH…".
Mereka menganggap bahwa penyebutan atau
penetapan gelar itu adalah sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan, namun
mereka tidak menyadari kalau itu adalah termasuk perkara baru yang
diada-adakan, di zaman Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dan para
shohabatnya serta para generasi terbaik dari umat ini, tidaklah kita dapati
disebut atau diberi gelar "H" atau "Hj". Jika seperti itu
keadaan mereka maka penyebutan gelar ini adalah bid'ah, dan barang siapa melakukan
suatu kebid'ahan dan dia tidak mau bertaubat darinya maka hukumannya adalah
dimasukan ke dalam neraka, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam
berkata:
«وَشَرَّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ».
"Dan paling
jeleknya perkara-perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan
adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di dalam
neraka". Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan
Ashhabussunan, adapun lafazh tambahan ini "…dan setiap kesesatan adalah
di dalam neraka" maka dia adalah lafazhnya An-Nasa'iy.
Bahkan dikhawatirkan orang yang menetapkan
dirinya dengan gelar "H" atau "Hj" atau "KH" akan
terjatuh ke dalam syirik kecil yaitu riya' (supaya dipuji) dan sum'a
(supaya didengar) sehingga dengan itu dianggap terpandang di mata manusia, ini
juga termasuk perbuatan yang membahayakan amalannya, Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam berkata:
«أَنَا
أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ
غَيْرِي، فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ، وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ»
"Aku adalah paling
kayanya para penyekutu dari suatu kesyirikan, barangsiapa yang dia beramal
dengan suatu amalan untuk-Ku lalu dia berbuat syirik padanya dengan selain-Ku
maka Aku berlepas Diri darinya, dan dia untuk yang telah disekutukan". Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Huroiroh.
Orang yang ikhlas tentu terlihat dari
prilaku kesehariannya, bila dia beramal maka dia tidak memamerkan amalanya, bila
dia haji maka tidak mau menetapkan dirinya sebagai "pak haji" atau
"mama haji", bila dia bersedekah maka dia tidak menyebut-nyebut kalau
dia bersedekah, bila dia sholat tengah malam maka dia tidak menyebutkannya
kepada manusia kalau dia sholat tengah malam. Hal itu karena dia takut akan
lenyap kebaikan yang dia telah amalkan, sungguh bagus apa yang dikatakan oleh Hushoin
bin 'Abdirrohman:
"كُنْتُ
عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، فَقَالَ: أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي
انْقَضَّ الْبَارِحَةَ؟ قُلْتُ: أَنَا، ثُمَّ قُلْتُ: أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ
فِي صَلَاةٍ، وَلَكِنِّي لُدِغْتُ".
"Aku di sisi Sa'id
bin Jubair, beliau berkata: Siapa diantara kalian melihat bintang-bintang
yang jatuh tadi malam? Aku berkata: "Aku", kemudian aku berkata:
"Adapun aku maka sesungguhnya aku tidak dalam keadaan sholat, akan tetapi
aku digigit oleh kalajengking". Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon dan ini
adalah lafazhnya Muslim.
Beliau menyebutkan "tidak dalam
keadaan sholat" karena takut jangan sampai orang yang mendengarkan
perkataannya menganggap kalau beliau sholat di tengah malam padahal beliau
tidak sholat, maka beliau bergegas mengatakan bahwa beliau "tidak dalam
keadaan sholat". Ini kekhowatiran beliau sebagai pendahulu kita yang
sholih, adapun manusia di saat ini mereka tidak berbuat kebaikan namun mengaku
berbuat, ada pula yang bermudah-mudahan mengungkit pemberian, mereka memberi
dengan tanpa diminta setelah itu mereka mengungkitnya, terkadang memberi jutaan
rupiah bahkan puluhan juta atau bahkan miliyaran rupiah namun tidak lepas dari menyebutkannya,
terkadang belum memberi sudah mengatakan niatnya dan menceritakan kepada yang
lain bahwa dia akan memberi sekian, dan lebih para lagi terkadang sampai
menyakiti orang yang diberi, secuil pemberian diungkit bahkan sampai mengambil
kembali pemberian itu sebagai bentuk menyakiti orang yang diberi:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ
وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ} [البقرة: 264]
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan
si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Maka perumpamaan
orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak
menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Alloh tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir". (Al-Baqoroh: 264).
Abdulloh
bin 'Abbas semoga Alloh meridhoinya berkata:
"{صَلْدًا} لَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ".
"Dalam keadaan bersih" yaitu tidak ada di
atasnya sesuatupun". Ya'ni amalanya terhapus dan tidak tersisa sedikitpun.
PARA
WANITA BERDIAM DIRI DI RUMAHNYA
Termasuk
dari kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman dahulu adalah mereka sangat
memperhatikan putri-putri mereka, para anak wanita tidak dibiarkan berkeliaran,
jika sudah malam maka mereka semuanya berada di rumah mereka masing-masing.
Kebudayaan
ini benar-benar ada, terkhusus di Sulawesi yang bersuku Bugis, mereka benar-benar
menjaga putri-putri mereka, karena putri mereka benar-benar terjaga dan selalu
dipingit di dalam rumah maka ketika ada yang melamarnya merekapun menentukan
mahar yang sangat tinggi dengan jaminan karena "masih perawan", namun
sangat disayangkan kebudayaan "putri-putri pingitan" itu kini telah
lenyap, yang tersisa sekarang hanyalah maharnya yang begitu mahal.
Begitu
pula di kebudayaan Buton, para wanita selalu dipingit dan benar-benar dijaga
namun kebudayaan yang penuh pemuliaan terhadap kaum Hawa itu kini telah lenyap,
kebudayaan itu lenyap dikarenakan dua penyebab yaitu:
Penyebab
Pertama: Masuknya Kaum Kafir Barat ke Nusantara.
Pada
penyebab pertama ini dengan terang-terangan mereka menyuarakan kebebasan bagi
para wanita, mereka datang melakukan penjajahan, bersamaan dengan itu mereka
berda'wah kepada faham mereka, mereka masuk ke Nusantara kemudian merombak
kebudayaan itu dengan dimunculkannya sekolah, dengan sebab itu kaum Hawa terhinakan
dan dihinakan. Mereka duduk di bangku-bangku sekolah, yang tadinya mereka
pemalu dan takut dengan pandangan kaum pria, setelah adanya sekolah ini
merekapun berani memandang dan bahkan siap untuk dipandang, bahkan melakukan apa
yang dikhowatirkan oleh ibu-bapak mereka.
Penyebab
Kedua: Kembalinya Para Penuntut Ilmu dari Timur Tengah.
Penyebab kedua ini tampak sekan-akan bagus
namun di balik itu terhadap pengrusakan dari dalam dengan atas nama
"da'wah". Mereka alumni Timur Tengah dengan melihat semakin rusaknya
para wanita di sekolahan maka membuat mereka untuk memunculkan ide baru yaitu dengan
membentuk atau mendirikan pondok pesantren khusus untuk para wanita.
Mereka menyangka bahwa dengan adanya
pondok ini akan mampu menggembleng para wanita menjadi sholihah namun mereka
tidak menyadari kalau ternyata justru menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan
yang dida'wahkan oleh ahli ibadah dari kaum kafir Barat yaitu penggemblengan
para wanita di sekitar Gereja atau yang mereka namakan dengan
"Biarawati".
Apa yang mereka lakukan ini adalah
penyelisihan yang sangat jelas terhadap apa yang dida'wahkan oleh salafush
sholih (para pendahulu yang sholih), para Biarawati menganggap bahwa
perbuatan mereka adalah sebagai bentuk pencontohan kepada Ibu Nabi Isa' yang
bernama Maryam atau yang mereka kenal dengan "Mariya", ini jelas bukan
penyontohan akan tetapi penyelisihan kepadanya, karena dia tinggal di rumahnya
bersama mahrohmnya atau dia tinggal sendirian di rumahnya, Alloh Ta'ala
berkata tentangnya:
{وَكَفَّلَهَا
زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا
رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [آل عمران: 37]
"Dan Dia (Alloh) menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap
Zakariya masuk untuk menemuinya di mihrab, dia dapati makanan di sisinya.
Zakariya berkata: "Wahai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan)
ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Alloh".
Sesungguhnya Alloah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
hisab". (Ali
Imron: 37).
Pada ayat ini sangat jelas bahwasanya
Maryam bersendirian tinggal di mihrobnya, adapun para Biarawati maka mereka
tinggal bersama-sama dengan para Biarawati lainnya di asrama, hingga terjadi
perbuatan keji diantara sesama mereka.
Para pendiri pondok pesantren wanita
mereka juga berasalan sebagaimana alasannya para Biarawati yaitu supaya mencontoh
para wanita sholihah, pada alasan inipun tidak bisa diterima, karena para
wanita dari para shohabiyyah mereka datang ke rumah Aisyah bertanya tentang
suatu ilmu atau mereka meminta pengajian khusus dengan Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam setelah itu mereka kembali ke rumah mereka masing-masing,
adapun para santriwati maka mereka tidak balik ke rumah mereka namun mereka tinggal
di asrama putri sebagaimana tinggalnya para Biarawati di asrama mereka. Dengan
perbuatan mereka ini maka mereka dihujat dengan banyak dalil baik dari
Al-Qur'an maupun dari As-Sunnah.
Diantara dalil dari Al-Qur'an adalah:
{وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}
[الأحزاب: 33]
"Dan hendaklah kalian
menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Alloh dan Rosul-Nya". (Al-Ahzab:
33). Pada ayat ini terdapat larangan mengikuti orang-orang Jahiliyyah, bahkan
diperjelas lagi dengan perkataan-Nya yang menjelaskan larangan untuk mengikuti
orang musyrik:
{وَلَا
تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ} [الروم: 31]
"Dan janganlah
kalian termasuk dari orang-orang musyrik". (Ar-Rum:
31). Tidak ada keraguan lagi tentang kaum Nasroni bahwasanya mereka adalah
termasuk kaum musyrikin, yang mereka menyembah salib dan menjadikan Alloh
adalah dari sesembahan yang tiga sebagaimana Alloh Ta'ala terangkan
dalam surat "Al-Maidah" ayat (73) dan Dia telah membantah
mereka sebagaimana di dalam surat "Al-Ikhlash" ayat (1-4).
Dan diantara dalil dari As-Sunnah adalah:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ
زَوْجِهَا، هَتَكَتْ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ».
"Wanita mana saja yang
menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya maka dia telah terkoyak
diantaranya dan diantara Alloh”.
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
«مَا مِنَ امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِهَا
إِلَّا هَتَكَتْ سِتْرًا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ».
"Tidaklah dari wanita
yang menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya melainkan dia telah terkoyak tirai
diantaranya dan diantara Alloh 'Azza wa Jalla”. Diriwayatkan oleh Ahmad dari hadits 'Aisyah.
Para wanita yang berdiam di rumahnya
atau di rumah suaminya atau di rumah bapaknya itu lebih baik dan lebih terjaga
kesucian dirinya dari pada dia tinggal di asrama atau dikos-kosan. Dia tinggal
dengan mahromnya walaupun harus bekerja sebagai tukang pembuat roti, atau bekerja
di kebun atau mengurus peternakan dan pengembalaan
maka itu lebih baik baginya, sebagaimana yang Alloh Ta'ala kisahkan
tentang dua wanita sholihah yang taat kepada Alloh dan taat kepada orang tuanya:
{وَلَمَّا
وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ
دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى
يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى
إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
(24)} [القصص: 23، 24]
"Dan tatkala dia (Musa) sampai di sumber air
negri Madyan dia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya),
dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu; dua orang wanita yang sedang
menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksud kalian berdua (dengan
berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat
meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan
(ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya".
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia
kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Robbku sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". (Al-Qoshshosh: 23-24).
PENCAT
SILAT
Pencat
silat atau yang disebut di kalangan warga Holimombo-Buton dengan "sila'a"
merupakan suatu kebudayaan yang perlu dilestarikan dan dijaga keberadaannya,
namun harus dibersihkan terlebih dahulu dari noda-noda kesyirikan dan
kebid'ahan, karena merupakan tradisi diperguruan "sila'a"
apabila seseorang yang ingin mendaftar untuk menjadi murid diperguruan ini maka
dia harus datang malam Jum'at lalu dimandikan oleh gurunya, air yang digunakan
untuk mandi ini dibacakan terlebih dahulu oleh guru "sila'a" dengan
bacaan mantra-mantranya atau yang dikenal di kalangan orang Buton "ngaji-ngaji"
atau "pbatata", setelah itu guru "sila'a"
menyiramkannya ke atas rambut calon muridnya hingga membasahi seluruh tubuhnya.
Bacaan-bacaan
guru "sila'a" ini kita tidak mengetahui bagaimana bentuk
lafazhnya[2], dan kalaupun seandainya
diketahui bentuk lafazhnya maka tidak lepas dari kesyirikan atau kebid'ahan,
karena dari mana mereka wariskan ilmu seperti itu?, tidak ada penjelasan kalau
itu dari para Nabi atau dari orang-orang sholih, namun bisa jadi itu datangnya
dari syaithon yang pernah diajarkan kepada bala tentaranya di zaman kerajaan
Nabi Sulaiman 'Alaihis salam, Alloh Ta'ala berkata:
{وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ
السِّحْرَ} [البقرة: 102]
"Akan tetapi para syaithonlah yang telah kafir, mereka
mengajarkan manusia dengan sihir". (Al-Baqoroh: 102).
Seseorang
bisa mempelajari silat dan bahkan dia bisa meraih kekuatan jasmani dan
kecepatan dalam melakukan gerakan tubuh dengan tanpa adanya bacaan-bacaan
(mantra) seperti itu.
Seseorang
yang melatih murid-muridnya dengan ilmu bela diri tidak membutuhkan
bacaan-bacaan (mantra) seperti itu, cukup baginya melatih dan mengajari mereka
dengan penuh kesungguhan dan kedisiplinan maka dia akan melihat hasilnya.
Dan
diantara pula yang termasuk salah satu kebiasaan dalam perguruan silat ini
adalah ketika para murid telah selesai dari mempelajari jurus-jurus, maka akan
diadakan penetesan ke dalam mata, penetesan ini dilakukan dengan mengumpulkan
bahan-bahannya terlebih dahulu, yaitu para murid yang sudah selesai belajar
jurus-jurus itu, mereka mencari bahan-bahan untuk penetes mata-mata mereka,
diantaranya bahan-bahan yang perlu mereka kumpulkan adalah: jeruk nipis, semut
hitam, dan yang selain itu yang dianggap pedas-pedas, bahan-bahan ini kemudian
digiling lalu airnya diambil kemudian dibacakan lagi mantra-mantra oleh guru
silat, setelah itu baru ditetesakan ke dalam mata para lulusan perguruan silat.
Bila seseorang pernah merasakan tetesan matanya dengan menggunakan madu maka
itu masih ringan, adapun bila seseorang mencoba dengan menggunakan tetesan ini
maka dia akan merasakan pedasnya beribu kali lipat bila dibandingkan dengan tetasan
dengan menggunakan madu.
Manfaat
dari penetesan ini menurut mereka adalah:
1.
Membuat mata sehat dan bebas dari penyakit.
2. Bila berkelahi, dan lawan melakukan pemukulan
maka pukulannya akan dilihat seakan-akan lambat hingga bisa ditangkis atau bisa
menghindar darinya. Manfaat yang disebutkan pada poin kedua ini jelas batil
bahkan dingikari sendiri oleh sebagian mereka, mereka menyatakan bahwa yang
dikatakan bisa melihat pukulan seseorang seakana-akan lambat maka ini diperoleh
setelah "belajar ilmu tenaga dalam".
Bila ada
yang ingin lanjut pada tingkat tinggi yang disebut dengan "ilmu tenaga
dalam" maka dia dipersyaratkan oleh gurunya untuk membawa "kain
putih" dan "emas", adapun kadar dan ukurannya ditentukan oleh
guru silat, bila syarat ini terpenuhi maka mulailah diajarkan ilmu tersebut.
Mereka
mengatakan bahwa dengan "ilmu tenaga dalam" ini seseorang akan
memiliki kekuatan atau kesaktian yang luar biasa, bila masuk di dalam karung lalu
diikat masing-masing ujungnya, sehingga orang yang di dalamnya tidak bisa
bergerak, lalu dipotong pada tengah-tengah karung itu maka orang yang ada di
dalamnya tadi tidak terkena tebasan pedang sedikitpun, dia hanya menjerit atau
hanya sekali gerakan namun hanyalah karungnya yang terbelah dua.
Dan juga
dengan mempelajari tenaga dalam ini serta memperdalam ilmu kesaktian maka dia
akan memiliki kekuatan yang luar biasa, dia bisa melangkahi gunung-gunung, dia
bisa menempuh suatu perjalanan jauh dengan hanya sekali langkah atau sekali
loncatan, kalau ini benar terbukti maka tidak diragukan lagi, bahwa ini
termasuk dari ilmu yang diwariskan dari para jin, Alloh Ta'ala berkata
tentang kisah jin Ifrit yang berkata kepada Nabi Sulaiman 'Alaihis Salam:
{قَالَ عِفْرِيتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ
تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ} [النمل: 39]
"'Ifrit dari golongan
jin berkata: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singasana itu
kepadamu, sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku
benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya".
(An-Naml:
39).
Bila
sudah selesai dari pembelajaran ilmu silat maka guru silat mulai mengadakan
acara pesta silat yaitu berupa pertarungan dalam rangka mempraktekan ilmu
pencat silatnya, kebiasaan dahulu adalah para peserta mengenakan peci nasional
yang berwarna hitam.
Pada
acara ini, para peserta tidak akan tampil melainkan setelah dimainkannya
alat-alat musik berupa pemukulan bedug dan pemukulan bel dan selainnya, sebagai
irama dalam menampakan jurus-jurus, dengan dipukulnya alat-alat tersebut maka
majulah para peserta satu lawan satu, mereka menggunakan jurus-jurus mereka
atau yang dikenal dengan "bunga-bunga sila'a" berjalan dan
bergerak sesuai dengan iringan irama yang diperdengarkan.
Menggunakan
alat musik atau mendengarkan musiknya adalah terlarang di dalam Islam, Alloh Ta'ala
berkata:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِينٌ} [لقمان: 6]
"Dan di antara
manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Alloh dengan tanpa ilmu dan dia menjadikan jalan Alloh itu
sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan". (Luqman: 6).
Para Ahli tafsir diantaranya seorang
shahabat Nabi yang bernama Abdulloh bin Mas'ud mengatakan tentang perkataan
Alloh Ta'ala: "…perkataan yang tidak berguna" yaitu nyanyian
dan musik. Dengan ayat ini mereka mengatakan pula bahwa mendengarkan musik
adalah harom.
Pada
acara pertunjukan "sila'a" ini, bila seseorang terjatuh karena
dibanting oleh lawannya atau karena peci yang dia pakai terjatuh dari atas kepalanya
maka dia dinyatakan kalah.
Pernah dahulu
ada seseorang dari Ambon dia termasuk dari keturunan yang bersuku Buton, karena
dia merasa bisa pencat sila maka dia datang ke Hual Mual Belakang (ya'ni Seram
Barat), dia turun di suatu kampung yang bernama Batu Lubang[3], di kampung ini pada saat itu ada
pesta pertunjukan silat, maka orang tersebut tampil menampakan "bunga-bunga
sila'a"nya, dia berhadapan dengan seseorang yang juga bisa silat
bahkan dianggap hebat, namun ketika sudah di dalam pertunjukan ternyata orang
hebat tersebut dikalahkan oleh orang yang dari Ambon tadi, diapun marah dan
mulailah dia mengunakan ilmu tenaga dalamnya sehingga orang yang dari Ambon
tadi terkalahkan, dengan sebab itu orang yang dari Ambon tadi mengatakan bahwa
dia tidak akan lagi ke Seram Barat untuk mengikuti pertunjukan silat karena
takut terkena semprotan "ilmu tenaga dalam".
Kalau di
zaman dahulu para peserta pencat silat adalah khusus para pria; "One to
one" (satu lawan satu) ya'ni "Man to man" (pria lawan
pria) namun pada zaman ini wanita ikut andil, bahkan sampai "Man to
Women" (pria lawan wanita). Para pria dengan mudahnya menyentuh para
wanita bahkan saling pukul memukul hingga terjadi apa yang terjadi.
Tidak
ada keraguan lagi bahwa ini adalah salah satu bentuk kema'siatan dan
penyelisihan nyata terhadap ajaran yang dibawa oleh Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam, di zaman beliau ketika para wanita ingin membai'at beliau
maka beliau tidak menyentuh tangan mereka dan mereka tidak pula meletakan
tangan mereka di atas tangan beliau, Aisyah semoga Alloh meridhoinya
berkata:
"وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي
المُبَايَعَةِ، مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: «قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى
ذَلِكِ»".
"Demi Alloh tidaklah beliau menyentuhkan tangannya dengan
tangan seorang wanitapun dalam proses ba'iat (berjanji setia), tidaklah
diba'iat mereka melainkan hanya dengan perkataan: "Sungguh aku telah
(menerima) pembai'atanmu atas demikian itu". Diriwayatkan oleh
Asy-Syaikhon dari hadits Urwah Ibnuz Zubair dari bibinya Aisyah.
Pertunjukan
silat atau ilmu bela diri pada asalnya adalah boleh selama dia tidak tercampuri
dengan penyelisihan terhadap ajaran Islam, Aisyah semoga Alloh
meridhoinya berkata:
"رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْتُرُنِي، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الحَبَشَةِ، وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي
المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«دَعْهُمْ».
"Aku melihat Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam
menghijabiku, dan aku melihat kepada Al-Habasyah, mereka sedang bermain-main[4] di dalam masjid, lalu Umar
melarang mereka, maka Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Biarkan
mereka (bermain)". Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon.
Dengan
hadits ini para ulama berdalil tentang bolehnya bermain gulat atau melakukan pertunjukan
ilmu bela diri, lebih-lebih ketika hari raya Fithri dan hari raya Adha' maka
sangat ramai kita dapati permainan seperti ini dilakukan.
Adapun
hukum dari mempelajari pencat silat (sila'a) atau karate dan yang
semisalnya dari ilmu bela diri, maka semua itu hukumnya boleh-boleh saja selama
tidak ada penyelisihan terhadap aturan-aturan Islam, bahkan pada suatu keadaan
tertentu dituntut untuk mempelajarinya, lebih-lebih ketika terjadi peperangan
antara kaum muslimin dengan kaum kafir maka dituntut hal demikian itu, karena bagaimana
menggunakan pedang, panah, senjata dan peralatan tempur lainnya serta bagaimana
pula dalam melakukan gerakan anggota tubuh ketika di medan tempur?, semau itu tidak
akan bisa dengan sendirinya melainkan setelah mempelajarinya, dan ini adalah dituntut
sebagaimana yang Alloh Ta'ala katakan:
{وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ
رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ} [الأنفال: 60]
"Dan siapkanlah oleh
kalian apa saja yang kalian sanggupi dari kekuatan dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh
Alloh dan musuh kalian". (Al-Anfal:
60).
Para
penjajah Jepang dan penjajah Belanda ketika mereka masih di Tanah Air Indonesia
mereka merasa khowatir bila kebudayaan ilmu bela diri itu tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat Indonesia, mereka takut kalau mereka dilawan dengan
ilmu bela diri, dengan kekhowatiran itu membuat mereka bergegas untuk
menyerukan kebudayaan mereka berupa "dansa" dan "joget"
sebagai ganti dari acara pertunjukan pencat silat.
Kebudayaan
"joget" inipun semakin tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, bahkan acara "joget" ini dijadikan sebagai penghibur bagi
mereka yang ikut dalam gotong royong dalam pembangunan masjid, ini terjadi di
Limboro, jika ada kegiatan gotong royong maka para pemuda dan pemudi tidak akan
ikut kegiatan gotong royong melainkan harus diadakan "joget", acara
"joget" ini bagi mereka seakan-akan pesta atau hari raya
besar-besaran.
Demikian yang bisa kami tuliskan
pada pertemuan kali ini.
وبالله التوفيق
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Ketika kami masih di Surabaya, kejadian
seperti kami dapatkan pula ceritanya dari dua orang, salah orang menceritakan
bahwa ada dari kenalannya berasal dari Jawa pernah melakukan perbuatan ini, dan
dia setelah diantar pulang oleh jin, dan dia sampai di rumahnya dengan selamat
diapun bertaubat. Salah seorang lagi berasal dari Surabaya yang dia mukim di
Ampel dekat masjid raya Ali Irsyad menceritakan kepada kami kisahnya persis
seperti yang kami kisahkan ini.
[2] Kita tidak mengetahui lafazhnya karena mereka bakhil
dengan "ngaji-ngaji" itu, mereka tidak akan memberitahukan
orang lain kecuali hanya siapa yang akan menjadi pewaris ilmu mereka, oleh
karena itu Abul 'Abbas Harmin bin Salim Al-Limboriy semoga Alloh
merohmatinya dan mengampuninya berkata: "Ini menunjukan kalau ilmu
mereka itu adalah ilmu yang batil (bukan ilmu kebaikan), karena ilmu
yang baik lagi benar adalah ilmu yang diperintahkan untuk disampaikan dan
diajarkan kepada yang lain".
[3] Kampung ini dinamai dengan Batu Lubang karena
di sampingnya ada tanjung yang batunya berlubang besar, dengan keberadaan
batunya berlubang maka ada dari para penduduknya membuat pula khurofat tentangnya,
ada dari mereka mengatakan bahwa lubang itu adalah bukti kalau dulu ada salah
seorang dari nenek moyang mereka bertarung lomba lari dengan musuhnya, karena
batu di tanjung itu menghalanginya maka diapun lari menembusi batu itu. Cerita ini
jelas sebagai kedustaan dan penipuan, kalaupun itu benar maka dia adalah sebagai
bentuk penampakan terhadap ilmu jin yang dia peroleh dari kalangan jin, sebagaimana
yang Alloh Ta'ala terangkan kisahnya di dalam Al-Qur'an pada surat "An-Naml"
ayat (39).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar