Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Bulan Puasa Bulan Berbagi Rasa


PENDAHULUAN
بِسم الله الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه، وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Bulan Romadhon atau dikenal di kalangan masyarakat dengan bulan puasa adalah bulan yang penuh berkah, padanya diturunkan Al-Qur'an, Alloh Ta'ala berkata:
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185]
"(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara kebenaran dan kebatilan). Karena itu, barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan itu maka wajib baginya berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya berpuasa) pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Alloh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur". (Al-Baqoroh: 185).
Dari ayat tersebut dapat dipetik beberapa faedah, diantaranya:
Pertama: Keutamaan bulan Romadhon.
Kedua: Kewajiban berpuasa Romadhon.
Ketiga: Ketentuan-ketentuan dalam berpuasa Romadhon.


PEMBAHASAN PERTAMA
KEUTAMAAN BULAN ROMADHON

Bulan Romadhon diutamakan karena beberapa perkara, diantaranya:
Pertama: Permulaan turunnya Al-Qur'an sebagaimana Alloh Ta'ala sebutkan di dalam surat "Al-Baqoroh" ayat 185.
Kedua: Pada malam-malam di bulan Romadhon terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Alloh Ta'ala berkata:
{إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)} [القدر: 1 - 5]
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada lailatul qodr (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah lailatul qodr itu? Lailatul qodr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Robb mereka untuk mengatur segala urusan. Dia adalah malam kesejahteraan sampai terbit fajar". (Al-Qodr: 1-5).
Ketiga: Dibuka pintu-pintu langit.
Keempat: Ditutup pintu-pintu neraka.
Kelima: Dibelenggu para syaithon.
Dalil tentang masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al- Bukhoriy (no. 1899) dan Muslim (no. 1079) dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Abi Anas dari bapaknya dari Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata:
«إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ»
"Jika telah masuk bulan Romadhon maka dibukalah pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu neraka (Jahannam) dan dibelenggu para syaithon".

PEMBAHASAN KEDUA
KEWAJIBAN PUASA ROMADHON

Puasa Romadhon adalah wajib bagi setiap orang yang beriman, dan bahkan telah diwajibkan atas umat manusia sebelum umat ini, Alloh Ta'ala berkata:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ} [البقرة: 183]
"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa". (Al-Baqoroh: 183).

Hikmah Diwajibkannya Puasa Romadhon

Diantara hikmah diwajibkannya puasa Romadhon adalah supaya "berbagi rasa", orang kaya dari kaum muslimin sangat banyak kita dapati namun jarang mereka melakukan puasa sunnah atau bahkan tidak kita dapati mereka melakukan puasa sunnah, jadi mereka tidak merasakan seperti yang dirasakan oleh orang-orang miskin, namun dengan adanya kewajiban puasa Romadhon mengharuskan mereka untuk ikut berpuasa.
Di tengah-tengah menjalankan ibadah puasa itu maka orang-orang kaya akan ikut merasakan rasa lapar sebagaimana orang-orang miskin sering merasakan lapar.
Orang-orang kaya ketika merasakan lapar seperti itu maka membuat mereka bertambah kasihan terhadap orang-orang miskin sebagaimana mereka merasa kasihan terhadap diri-diri mereka sendiri ketika lapar.
Di siang hari pada bulan Romadhon, setelah sholat zhuhur sudah mulai terasa lapar, dengan rasa lapar tersebut membuat orang-orang kaya mulai mempersiapkan bahan-bahan makanan untuk berbuka puasa, merekapun teringat dengan saudara-saudari mereka yang miskin-miskin, yang pada akhirnya mereka mempersiapkan pula makanan dan minuman untuk berbuka puasa, terkadang mereka membuka rumah supaya orang-orang miskin ke rumah-rumah mereka berbuka puasa dengan mereka atau terkadang mereka mengirimkan makanan dan minuman ke tempat-tempat orang-orang miskin berkumpul, seperti di masjid atau di pondok pesatren atau di kediaman-kediaman mereka masing-masing.
Demikianlah keutamaan orang kaya terhadap orang miskin, mereka bisa berpuasa wajib dan juga bisa bersedekah dengan memberi makan untuk berbuka puasa bagi orang-orang miskin dan para kawan mereka, karena keutamaan yang besar seperti itu maka orang-orang miskin dari kalangan para shohabat berkata kepada Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
"سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا، فَفَعَلُوا مِثْلَهُ".
"Saudara-saudari kami yang memiliki harta telah mendengarkan terhadap apa yang kami amalkan (berupa dzikir) merekapun melakukan dengan yang semisal itu". Maka Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata:
«ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ»
"Demikian itu adalah keutamaan Alloh, diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki". Diriwayatkan oleh Muslim (no. 595) dari hadits Sumayyi, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh.
Dalam berlomba-lomba mencari keutamaan berpuasa Romadhon dan memberi makan orang-orang yang berbuka puasa, tidak ketinggalan orang-orang miskinpun berupaya untuk bisa meraih keutamaan dari kedua amalan tersebut, maka tidak heran banyak dari orang-orang miskin atau orang-orang yang hidupnya pas-pasan sebelum bulan Romadhon mereka bekerja mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan untuk puasa Romadhon ketika masuk Romadhon mereka menghidangkannya untuk mereka dan keluarga mereka serta untuk orang-orang miskin.
Telah menceritakan kepada kami seorang penuntut ilmu bahwa hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Abul Abbas Harmin Rohimahulloh, beliau menjelang buka puasa membuka ruangan depan rumah untuk para lelaki yang berpuasa lalu disiapkan dari berbagai macam menu makanan dan minuman, juga beliau membuka ruangan tengah rumah untuk para wanita yang berpuasa lalu disediakan seperti yang disediakan, sehingga orang-orang yang meni'mati menu tersebut merasa bergembira dengan kegembiraan ketika berbuka puasa:
"وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّه".
"Dan bagi yang berpuasa ada padanya dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Robbnya". Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy (no. 7492) dan Muslim (no. 1151) dari A'masy, dari Abu Sholih, dari Abu Huroiroh, dari Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam.
Orang miskin yang berakal tentu tidak akan ketinggalan dalam meraih keutamaan bersedekah, ada seseorang penuntut ilmu di Dammaj-Yaman, karena dia miskin maka setiap ada pembagian makanan berupa korma dan kue dari pondok untuk dia berbuka puasa maka dia simpan sebagiannya, dia kumpulkan ketika sudah banyak diapun sedekahkan kepada orang-orang miskin yang lainnya, ini seperti yang pernah dilakukan oleh shohabat yang mulia Salman Al-Farisiy Rodhiyallohu 'Anhu, beliau berkata:
"وَقَدْ كَانَ عِنْدِي شَيْءٌ قَدْ جَمَعْتُهُ، فَلَمَّا أَمْسَيْتُ أَخَذْتُهُ ثُمَّ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِقُبَاءَ، فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّكَ رَجُلٌ صَالِحٌ، وَمَعَكَ أَصْحَابٌ لَكَ غُرَبَاءُ ذَوُو حَاجَةٍ، وَهَذَا شَيْءٌ كَانَ عِنْدِي لِلصَّدَقَةِ، فَرَأَيْتُكُمْ أَحَقَّ بِهِ مِنْ غَيْرِكُمْ".
 "Dan sungguh dahulu ada padaku sesuatu (dari korma) aku telah mengumpulkannya, maka tatkala sudah banyak aku mengambilnya kemudian aku pergi ke Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dan beliau di Quba', lalu aku masuk menemuinya, aku berkata kepadanya: Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwasanya engkau adalah pria yang sholih, dan bersamamu para shohabat, yang mereka adalah orang-orang asing, yang mereka membutuhkan, ini adalah sesuatu yang ada padaku untuk sedekah, aku melihat bahwa kalian lebih berhak (menerima)nya daripada selain kalian". Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 23737) dari hadits Abdulloh bin 'Abbas dari Salman Al-Farisiy.
Demikianlah kedaan Salman Al-Farisiy yang tidak mau ketinggalan pahala bersedekah, padahal keadaan beliau ketika itu tidak hanya sebagai orang miskin bahkan beliau dijadikan budak (hamba sahaya) yang diperjual belikan dan dipekerjakan, namun masya Alloh beliau bisa bersedekah.
Tidak hanya bersedekah bahkan beliau mencari keutamaan pula dengan memberi hadiah, tatkala beliau memberi sedekah kepada Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dan ternyata Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam tidak memakan sedekah maka beliau mulai mengumpulkan korma lagi untuk mencari keutamaan pahala dari memberi hadiah, ketika sudah banyak kormanya beliaupun mendatangi Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam lalu berkata:
"إِنِّي رَأَيْتُكَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ، وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أَكْرَمْتُكَ بِهَا".
"Sesungguhnya aku melihatmu tidak memakan sedekah, ini adalah hadiah aku memuliakanmu dengannya". Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 23737) dari hadits Abdulloh bin 'Abbas dari Salman Al-Farisiy.
Maka tidakkah terpanggil orang-orang kaya dan orang-orang yang telah Alloh Ta'ala beri kelebihan harta untuk sadar dan malu?!.
Orang miskin saja bisa beramal sholih dan bisa bersedekah dan bisa memberi hadiah lalu bagaimana dengan orang-orang kaya dan orang-orang yang memiliki kelebihan harta?.
Ini kami sebutkan sebagai pengingat dan pengamalan terhadap perkataan Alloh Ta'ala:
{لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا} [النساء: 114].
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia, dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhoan Alloh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar". (An-Nisa': 114).

Syarat-syarat Diterimanya Puasa Romadhon

Orang yang mengerjakan puasa Romadhon tidak akan diterima baginya amalannya kecuali terpenuhi tiga syarat:

Syarat pertama: Memeluk agama Islam.

Alloh Ta'ala berkata:
{إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ} [آل عمران: 19]
"Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Alloh adalah agama Islam". (Ali 'Imron: 19).
Dan Alloh Ta'ala juga berkata:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85]
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali dia tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi". (Ali 'Imron: 85).
Sungguh telah kami dapati kebanyakan dari umat manusia melakukan puasa namun mereka tidak menyadari telah terjatuh ke dalam dosa yang paling terbesar yaitu melakukan kesyirikan, banyak dari mereka di bulan Romadhon mendatangi kuburan lalu berdoa dan meminta hajat mereka kepada penghuni kubur, padahal penghuni kubur tidak bisa membantu mereka dan tidak pula mengabulkan permohonan mereka, tidak diragukan lagi bahwa perbuatan mereka ini jelas termasuk kesyirikan yang paling terbesar, Alloh Ta'ala berkata:
{إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ} [فاطر: 14]
"Jika kalian menyeru mereka maka mereka tidak mendengar seruan kalian; dan kalau mereka mendengar maka mereka tidak dapat mengabulkan doa kalian. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikan kalian dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Al-Khobir (Alloh Yang Maha Mengetahui)". (Fathir: 14).
Dengan perbuatan mereka meminta kepada penghuni kubur, maka mengakibatkan amalan mereka terhapus, dan ibadah-ibadah mereka yang lain seperti sholat, puasa Romadhon dan haji serta ibadah yang lainnya ikut terhapus pula, Alloh Ta'ala berkata tentang orang yang melakukan kesyirikan seperti ini:
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا} [الفرقان: 23]
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". (Al-Furqon: 23), yaitu Alloh Ta'ala jadikan amalan mereka sia-sia dan tidak bermanfaat sedangkan mereka menyangka amalan itu termasuk kebaikan, Alloh Ta'ala berkata tentang sangkaan orang-orang semisal mereka:
{قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا} [الكهف: 103، 104]
"Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatan mereka?", yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka pada kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya". (Al-Kahfi: 103-104).
Ini yang berkaitan dengan kesyirikan, namun banyak pula dari manusia yang mengaku sebagai pemeluk agama Islam, bila masuk bulan Romadhon mereka bersemangat berpuasa Romadhon, pada bulan Sya'ban mereka mengumpulkan segala macam kebutuhan hidup untuk menyambut Romadhon, ketika masuk bulan Romadhon mereka beramai-ramai puasa namun sangat disayangkan kebanyakan mereka tidak menegakan sholat wajib lima waktu, ada dari mereka menganggap kalau sudah tingkatan ma'rifat sudah tidak ada kewajiban sholat lima waktu, ada pula dari tokoh-tokoh masyarakat teranggap sebagai wali, pendekar, sakti atau keturunan parapbela (kesulthonan) yang mereka mengaku melakukan sholat di Makkah atau langsung sholat jama'ah di keraton Buton, bila seperti ini keadaan mereka maka puasa mereka tidak bermanfaat karena telah batal amalan mereka, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata:
«الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
"Perjanjian antara kami (orang-orang yang memeluk agama Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah sholat, maka barangsiapa meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir". Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1079), An-Nasa'iy (no. 326) dan At-Tirmidziy (no. 2621) dari hadits Abdulloh bin Buroidah dari bapaknya, dan At-Tirmidziy berkata: Pada bab ini (diriwayatkan pula) dari Anas dan Ibnu Abbas, dan ini adalah hadits hasan shohih ghorib.
Jika dia sudah kafir karena meninggalkan kewajiban sholat lima waktu maka puasanya sia-sia pula sebagaimana halnya dengan orang-orang yang menyekutukan Alloh Ta'ala dan orang-orang kafir lainnya, lihat surat "Al-Furqon" ayat 23.

Syarat kedua: Harus mengikuti syari'at Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi wa Sallam.

Sungguh telah kami saksikan banyak dari tokoh-tokoh masyarakat yang mereka dianggap sebagai parapbela (para pembesar keraton) atau La Ode (semisal Raden), bila sudah berada di penghujung bulan Sya'ban; sehari atau dua hari sebelum masuknya bulan Romadhon mereka malakukan puasa yang disebut dengan "puasanya para pemuka", jadi mereka yang membuka atau memulai puasa, bila seperti ini keadaan mereka maka sungguh telah menyelisihi syari'at Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi wa Sallam, beliau berkata:
«إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ»
 "Jika kalian telah melihatnya (ya'ni hilal tanggal satu Romadhon) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya (hilal tanggal satu Syawwal) maka berhari rayalah, jika dimendungkan (tidak terlihat hilal) bagi kalian maka genapkanlah". Diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy (no. 1900) dan Muslim (no. 1080) dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah dari bapaknya.
Dan di dalam riwayat Muslim dari Nafi', dari Abdulloh bin Umar dengan lafazh:
«فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ».
"Maka genapkanlah pada bulan tersebut tiga puluh hari".
Kalau sudah masuk Romadhon baik dengan terlihatnya hilal atau berdasarkan hitungan penggenapan menjadi tiga puluh hari karena adanya mendung maka mengharuskan bagi kaum muslimin untuk berpuasa berdasarkan perintah Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam tersebut.
Bila belum masuk tanggal satu Romadhon maka kaum muslimin tidak boleh berpuasa, walaupun tokoh-tokoh dan para pemuka masyarakat ataupun pemerintah sudah berpuasa.

Syarat ketiga: Mengikhlaskan niat.

Alloh Ta'ala berkata:
{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ} [البينة: 5].
"Dan tidaklah mereka diperintah kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus". (Al-Bayyinah: 5).
Adapun niat untuk melakukan puasa adalah diniatkan pada malam hari, ini adalah wajib hukumnya bagi puasa yang wajib, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama diantara mereka Ahmad, Asy-Syafi'iy dan Malik, mereka berdalil dengan perkataan Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
«مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ»
"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa (pada malam harinya) sebelum sholat fajar maka tidak ada puasa baginya". Diriwayatkan oleh An-Nasa'iy (no. 2652) dari Salim bin Abdillah dari bapaknya dari saudarinya Hafshoh Istri Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam, diriwayatkan pula oleh At-Tirmidziy (no. 730) dan Abu Dawud (no. 2454) dengan lafazh:
«مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ»
"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa (pada malam harinya) sebelum sholat fajar maka tidak ada puasa baginya".
Termasuk dari penyelisihan terhadap syari'at dalam permasalahan puasa adalah meniatkan puasa dengan melafazhkannya, seperti melafazhkan:
"نَوَيْتُ الصَّوْمَ...".
"Aku berniat puasa…".
Penglafazhan seperti ini adalah bentuk dari penyelisihan terhadap syari'at dan bahkan dia adalah bida'h, di dalam kitab "Al-Muhadzdzab fi Fiqhi Al-Imam Asy-Syafi'iy" (juz 1/hal 134) yang ditulis oleh salah seorang ulama bermazhab Asy-Syafi'iy yang beliau adalah Asy-Syiroziy Rohimahulloh termaktub:
"فلم تصح من غير نية كالصوم ومحل النية القلب فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه".
"(Suatu amalan pendekatan diri kepada Alloh) tidak akan sah dengan tanpa adanya niat seperti puasa, dan tempatnya niat adalah di dalam hati, maka jika diniatkan di dalam hatinya dengan tanpa (terucapkan dengan) lisannya maka mencukupinya".
Di dalam kitab "Mukhtashor Al-Fatawa' Al-Mishriyah" (hal. 9) dinukilkan bahwa Abul Abbas Ahmad Al-Harroniy Rohimahulloh berkata:
"مَحل النِّيَّة الْقلب بانفاق الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة وَغَيرهم".
"Tempatnya niat adalah di dalam hati dengan kesepakatan para imam yang empat (Ahmad, Asy-Syafi'iy, Malik dan Abu Hanifah) dan yang selain mereka".
Beliau juga berkata di dalam sumber rujukan yang sama:
"فاستحب التَّلَفُّظ بهَا طَائِفَة من أَصْحَاب أبي حنيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأحمد وَلم يستحبه آخَرُونَ وَغَيرهمَا وَهَذَا أقوى فَإِن ذَلِك بِدعَة لم يَفْعَلهَا رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَلَا أحد من الصَّحَابَة".
"Disunnahkan melafazhkan niat oleh sekelompok dari pengikut Abu Hanifah, sekelompok pengikut Asy-Syafi'iy dan sekelompok pengikut Ahmad dan sekelompok yang lainnya dan selain dari kedua kelompok tersebut tidak mensunahkannya, dan ini adalah yang terkuat, karena sesungguhnya demikian itu adalah bida'h, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam tidak melakukannya dan tidak pula salah seorang dari para shohabat (melakukannya)".

PEMBAHASAN KETIGA
KETENTUAN-KETENTUAN DALAM BERPUASA ROMADHON

Alloh Ta'ala berkata:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 185]
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu". (Al-Baqoroh: 185).
Pada ayat ini terdapat dua permasalahan yaitu hukum puasa bagi orang yang sakit dan hukum puasa bagi orang yang safar.

Bentuk Sakit yang Mengharuskan untuk Berbuka Puasa

Adapun bila seseorang sakit, yang sakitnya tersebut ringan dan puasa tidak memberikan pengaruh terhadap dirinya maka tidak mengapa untuk berpuasa, karena yang diinginkan pada ayat tersebut adalah sakit yang menyusahkan diri atau memudhoratkan diri sebagaimana diperjelas dengan kelanjutan ayat:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} [البقرة: 185]
"Alloh menginginkan kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesusahan bagi kalian". (Al-Baqoroh: 185).

Bentuk Safar (Melakukan Perjalanan) yang Mengharuskan untuk Berbuka Puasa

Permasalahan ini membutuhkan adanya dua rincian:
Rincian pertama: Kalau seseorang berpuasa ketika safar, dengan sebab puasanya itu mengakibatkan kelemahan pada dirinya atau memudhoratkan dirinya maka mewajibkannya untuk tidak berpuasa dengan dalil perkataan Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
«لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»
"Bukan dari kebaikan berpuasa ketika safar". Dan hadits dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ashhabul Sunan dari beberapa orang shohabat.
Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam mengatakan seperti itu karena memiliki sebab, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1115) dari Jabir bin Abdillah, beliau berkata:
"كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى رَجُلًا قَدِ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «مَا لَهُ؟» قَالُوا: رَجُلٌ صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ»
"Dahulu Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam ketika safar melihat seseorang yang sungguh manusia telah mengelilinginya, dan sungguh telah dinaungi atas (diri)nya, maka beliau berkata: "Ada apa dengannya?", mereka berkata: "Dia adalah orang yang berpuasa", maka Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Bukan dari kebaikan kalian berpuasa ketika safar".

Rincian kedua: Kalau seseorang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berpuasa ketika safar maka ini boleh dan puasanya sah, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1121) dari hadits Hamzah bin 'Amr Al-Aslamiy beliau berkata kepada Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
"يَا رَسُولَ اللهِ، أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ، فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَخَذَ بِهَا، فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»".
"Wahai Rosululloh, aku mendapati pada (diri)ku kekuatan untuk berpuasa ketika safar, maka apakah aku berdosa (kalau berpuasa)?, maka Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Dia adalah keringan dari Alloh, barangsiapa mengambil keringanan itu maka dia adalah baik, dan barangsiapa yang senang untuk berpuasa maka tidak ada dosa baginya".
Demikian pembahasan yang singkat ini, semoga bermanfaat.
ونسأل الله عز وجل أن يوفقنا وجميع المسلمين للهداية والسداد، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar