PENDAHULUAN
بِسم الله
الرَّحمنِ الرَّحِيم
الحَمْدُ لله، أَحْمَدُه،
وأستعينُه، وأستغفرُهُ، وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
أمّا بعدُ:
Bulan Romadhon atau dikenal di kalangan masyarakat dengan
bulan puasa adalah bulan yang penuh berkah, padanya diturunkan Al-Qur'an, Alloh
Ta'ala berkata:
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا
هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185]
"(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Romadhon,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara kebenaran
dan kebatilan). Karena itu, barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan itu
maka wajib baginya berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan maka (wajiblah baginya berpuasa) pada hari-hari yang lain sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu. Alloh menghendaki kemudahan bagi kalian, dan
tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Alloh atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur". (Al-Baqoroh: 185).
Dari ayat tersebut dapat dipetik
beberapa faedah, diantaranya:
Pertama: Keutamaan bulan Romadhon.
Kedua: Kewajiban berpuasa Romadhon.
Ketiga: Ketentuan-ketentuan dalam berpuasa Romadhon.
PEMBAHASAN PERTAMA
KEUTAMAAN BULAN
ROMADHON
Bulan Romadhon diutamakan karena
beberapa perkara, diantaranya:
Pertama: Permulaan turunnya Al-Qur'an sebagaimana Alloh Ta'ala sebutkan
di dalam surat "Al-Baqoroh"
ayat 185.
Kedua: Pada malam-malam di bulan Romadhon terdapat satu malam yang
lebih baik dari seribu bulan, Alloh Ta'ala berkata:
{إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
(2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى
مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)} [القدر: 1 - 5]
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada lailatul
qodr (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah lailatul qodr itu? Lailatul
qodr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat
dan malaikat Jibril dengan izin Robb mereka untuk mengatur segala urusan. Dia
adalah malam kesejahteraan sampai terbit fajar". (Al-Qodr: 1-5).
Ketiga: Dibuka pintu-pintu langit.
Keempat: Ditutup pintu-pintu neraka.
Kelima: Dibelenggu para syaithon.
Dalil tentang masalah ini adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Al- Bukhoriy (no. 1899) dan Muslim (no. 1079)
dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Abi Anas dari bapaknya dari Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam berkata:
«إِذَا
دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ
جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ»
"Jika telah masuk bulan Romadhon maka dibukalah
pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu neraka (Jahannam) dan dibelenggu para
syaithon".
PEMBAHASAN KEDUA
KEWAJIBAN PUASA ROMADHON
Puasa Romadhon adalah wajib bagi setiap orang yang beriman, dan
bahkan telah diwajibkan atas umat manusia sebelum umat ini, Alloh Ta'ala
berkata:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ} [البقرة: 183]
"Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertaqwa". (Al-Baqoroh:
183).
Hikmah Diwajibkannya
Puasa Romadhon
Diantara hikmah diwajibkannya
puasa Romadhon adalah supaya "berbagi rasa", orang kaya dari kaum
muslimin sangat banyak kita dapati namun jarang mereka melakukan puasa sunnah atau
bahkan tidak kita dapati mereka melakukan puasa sunnah, jadi mereka tidak
merasakan seperti yang dirasakan oleh orang-orang miskin, namun dengan adanya
kewajiban puasa Romadhon mengharuskan mereka untuk ikut berpuasa.
Di tengah-tengah menjalankan
ibadah puasa itu maka orang-orang kaya akan ikut merasakan rasa lapar
sebagaimana orang-orang miskin sering merasakan lapar.
Orang-orang kaya ketika merasakan
lapar seperti itu maka membuat mereka bertambah kasihan terhadap orang-orang
miskin sebagaimana mereka merasa kasihan terhadap diri-diri mereka sendiri ketika
lapar.
Di siang hari pada bulan
Romadhon, setelah sholat zhuhur sudah mulai terasa lapar, dengan rasa lapar
tersebut membuat orang-orang kaya mulai mempersiapkan bahan-bahan makanan untuk
berbuka puasa, merekapun teringat dengan saudara-saudari mereka yang
miskin-miskin, yang pada akhirnya mereka mempersiapkan pula makanan dan minuman
untuk berbuka puasa, terkadang mereka membuka rumah supaya orang-orang miskin
ke rumah-rumah mereka berbuka puasa dengan mereka atau terkadang mereka mengirimkan
makanan dan minuman ke tempat-tempat orang-orang miskin berkumpul, seperti di
masjid atau di pondok pesatren atau di kediaman-kediaman mereka masing-masing.
Demikianlah keutamaan orang kaya terhadap
orang miskin, mereka bisa berpuasa wajib dan juga bisa bersedekah dengan
memberi makan untuk berbuka puasa bagi orang-orang miskin dan para kawan mereka,
karena keutamaan yang besar seperti itu maka orang-orang miskin dari kalangan
para shohabat berkata kepada Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
"سَمِعَ
إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا، فَفَعَلُوا مِثْلَهُ".
"Saudara-saudari kami yang memiliki harta telah
mendengarkan terhadap apa yang kami amalkan (berupa dzikir) merekapun melakukan
dengan yang semisal itu". Maka Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam
berkata:
«ذَلِكَ
فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ»
"Demikian itu adalah keutamaan Alloh, diberikannya
kepada siapa yang Dia kehendaki". Diriwayatkan oleh Muslim (no. 595)
dari hadits Sumayyi, dari Abu Sholih dari Abu
Huroiroh.
Dalam berlomba-lomba mencari
keutamaan berpuasa Romadhon dan memberi makan orang-orang yang berbuka puasa,
tidak ketinggalan orang-orang miskinpun berupaya untuk bisa meraih keutamaan dari
kedua amalan tersebut, maka tidak heran banyak dari orang-orang miskin atau orang-orang
yang hidupnya pas-pasan sebelum bulan Romadhon mereka bekerja mengumpulkan
kebutuhan-kebutuhan untuk puasa Romadhon ketika masuk Romadhon mereka menghidangkannya
untuk mereka dan keluarga mereka serta untuk orang-orang miskin.
Telah menceritakan kepada kami
seorang penuntut ilmu bahwa hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Abul Abbas Harmin Rohimahulloh, beliau menjelang
buka puasa membuka ruangan depan rumah untuk para lelaki yang berpuasa lalu disiapkan
dari berbagai macam menu makanan dan minuman, juga beliau membuka ruangan
tengah rumah untuk para wanita yang berpuasa lalu disediakan seperti yang disediakan,
sehingga orang-orang yang meni'mati menu tersebut merasa bergembira dengan
kegembiraan ketika berbuka puasa:
"وَلِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّه".
"Dan bagi yang berpuasa ada padanya dua kegembiraan; kegembiraan
ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Robbnya". Diriwayatkan
oleh Al-Bukhoriy (no. 7492) dan Muslim (no. 1151) dari A'masy, dari Abu Sholih,
dari Abu Huroiroh, dari Nabi Shollallohu
'Alaihi wa Sallam.
Orang miskin yang berakal tentu
tidak akan ketinggalan dalam meraih keutamaan bersedekah, ada seseorang
penuntut ilmu di Dammaj-Yaman, karena dia miskin maka setiap ada pembagian
makanan berupa korma dan kue dari pondok untuk dia berbuka puasa maka dia
simpan sebagiannya, dia kumpulkan ketika sudah banyak diapun sedekahkan kepada
orang-orang miskin yang lainnya, ini seperti yang pernah dilakukan oleh
shohabat yang mulia Salman Al-Farisiy Rodhiyallohu
'Anhu, beliau berkata:
"وَقَدْ
كَانَ عِنْدِي شَيْءٌ قَدْ جَمَعْتُهُ، فَلَمَّا أَمْسَيْتُ أَخَذْتُهُ ثُمَّ
ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِقُبَاءَ،
فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي أَنَّكَ رَجُلٌ
صَالِحٌ، وَمَعَكَ أَصْحَابٌ لَكَ غُرَبَاءُ ذَوُو حَاجَةٍ، وَهَذَا شَيْءٌ كَانَ
عِنْدِي لِلصَّدَقَةِ، فَرَأَيْتُكُمْ أَحَقَّ بِهِ مِنْ غَيْرِكُمْ".
"Dan
sungguh dahulu ada padaku sesuatu (dari korma) aku telah mengumpulkannya, maka
tatkala sudah banyak aku mengambilnya kemudian aku pergi ke Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam dan beliau di Quba', lalu aku masuk menemuinya, aku
berkata kepadanya: Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwasanya engkau adalah
pria yang sholih, dan bersamamu para shohabat, yang mereka adalah orang-orang
asing, yang mereka membutuhkan, ini adalah sesuatu yang ada padaku untuk
sedekah, aku melihat bahwa kalian lebih berhak (menerima)nya daripada selain
kalian". Diriwayatkan
oleh Ahmad (no. 23737) dari hadits Abdulloh bin
'Abbas dari Salman Al-Farisiy.
Demikianlah kedaan Salman Al-Farisiy yang tidak mau ketinggalan
pahala bersedekah, padahal keadaan beliau ketika itu tidak hanya sebagai orang
miskin bahkan beliau dijadikan budak (hamba sahaya) yang diperjual belikan dan
dipekerjakan, namun masya Alloh beliau bisa bersedekah.
Tidak hanya bersedekah bahkan
beliau mencari keutamaan pula dengan memberi hadiah, tatkala beliau memberi
sedekah kepada Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dan ternyata
Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam tidak memakan sedekah maka
beliau mulai mengumpulkan korma lagi untuk mencari keutamaan pahala dari memberi
hadiah, ketika sudah banyak kormanya beliaupun mendatangi Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam lalu berkata:
"إِنِّي
رَأَيْتُكَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ، وَهَذِهِ هَدِيَّةٌ أَكْرَمْتُكَ بِهَا".
"Sesungguhnya aku melihatmu tidak memakan sedekah, ini
adalah hadiah aku memuliakanmu dengannya". Diriwayatkan oleh Ahmad (no.
23737) dari hadits Abdulloh bin 'Abbas
dari Salman Al-Farisiy.
Maka tidakkah terpanggil orang-orang
kaya dan orang-orang yang telah Alloh Ta'ala beri kelebihan harta untuk
sadar dan malu?!.
Orang miskin saja bisa beramal
sholih dan bisa bersedekah dan bisa memberi hadiah lalu bagaimana dengan orang-orang
kaya dan orang-orang yang memiliki kelebihan harta?.
Ini kami sebutkan sebagai pengingat
dan pengamalan terhadap perkataan Alloh Ta'ala:
{لَا
خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ
مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا} [النساء: 114].
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau
berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia, dan barangsiapa
yang berbuat demikian karena mencari keridhoan Alloh, maka kelak Kami memberi
kepadanya pahala yang besar". (An-Nisa': 114).
Syarat-syarat Diterimanya
Puasa Romadhon
Orang yang mengerjakan puasa Romadhon tidak akan diterima baginya
amalannya kecuali terpenuhi tiga syarat:
Syarat pertama: Memeluk agama Islam.
Alloh Ta'ala berkata:
{إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ} [آل عمران: 19]
"Sesungguhnya
agama (yang diterima) di sisi Alloh adalah agama Islam". (Ali 'Imron: 19).
Dan Alloh Ta'ala juga berkata:
{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85]
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali dia tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang merugi". (Ali 'Imron: 85).
Sungguh telah kami dapati kebanyakan dari umat manusia
melakukan puasa namun mereka tidak menyadari telah terjatuh ke dalam dosa yang
paling terbesar yaitu melakukan kesyirikan, banyak dari mereka di bulan
Romadhon mendatangi kuburan lalu berdoa dan meminta hajat mereka kepada penghuni
kubur, padahal penghuni kubur tidak bisa membantu mereka dan tidak pula
mengabulkan permohonan mereka, tidak diragukan lagi bahwa perbuatan mereka ini
jelas termasuk kesyirikan yang paling terbesar, Alloh Ta'ala berkata:
{إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا
دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ} [فاطر: 14]
"Jika kalian menyeru mereka maka mereka tidak mendengar
seruan kalian; dan kalau mereka mendengar maka mereka tidak dapat mengabulkan
doa kalian. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikan kalian dan
tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan
oleh yang Al-Khobir (Alloh Yang Maha Mengetahui)". (Fathir: 14).
Dengan perbuatan mereka meminta
kepada penghuni kubur, maka mengakibatkan amalan mereka terhapus, dan
ibadah-ibadah mereka yang lain seperti sholat, puasa Romadhon dan haji serta
ibadah yang lainnya ikut terhapus pula, Alloh Ta'ala berkata tentang
orang yang melakukan kesyirikan seperti ini:
{وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا} [الفرقان: 23]
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu
Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". (Al-Furqon: 23), yaitu
Alloh Ta'ala jadikan amalan mereka sia-sia dan tidak bermanfaat
sedangkan mereka menyangka amalan itu termasuk kebaikan, Alloh Ta'ala berkata
tentang sangkaan orang-orang semisal mereka:
{قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا}
[الكهف: 103، 104]
"Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepada
kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatan mereka?", yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka pada kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya". (Al-Kahfi: 103-104).
Ini yang berkaitan dengan
kesyirikan, namun banyak pula dari manusia yang mengaku sebagai pemeluk agama
Islam, bila masuk bulan Romadhon mereka bersemangat berpuasa Romadhon, pada
bulan Sya'ban mereka mengumpulkan segala macam kebutuhan hidup untuk menyambut
Romadhon, ketika masuk bulan Romadhon mereka beramai-ramai puasa namun sangat
disayangkan kebanyakan mereka tidak menegakan sholat wajib lima waktu, ada dari
mereka menganggap kalau sudah tingkatan ma'rifat sudah tidak ada kewajiban
sholat lima waktu, ada pula dari tokoh-tokoh masyarakat teranggap sebagai wali,
pendekar, sakti atau keturunan parapbela (kesulthonan) yang mereka
mengaku melakukan sholat di Makkah atau langsung sholat jama'ah di keraton
Buton, bila seperti ini keadaan mereka maka puasa mereka tidak bermanfaat
karena telah batal amalan mereka, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam
berkata:
«الْعَهْدُ
الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ»
"Perjanjian antara kami (orang-orang yang memeluk agama
Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah sholat, maka barangsiapa
meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir".
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1079), An-Nasa'iy (no. 326) dan At-Tirmidziy
(no. 2621) dari hadits Abdulloh bin Buroidah
dari bapaknya, dan At-Tirmidziy berkata: Pada bab ini (diriwayatkan pula) dari Anas dan Ibnu Abbas,
dan ini adalah hadits hasan shohih ghorib.
Jika dia sudah kafir karena
meninggalkan kewajiban sholat lima waktu maka puasanya sia-sia pula sebagaimana
halnya dengan orang-orang yang menyekutukan Alloh Ta'ala dan orang-orang
kafir lainnya, lihat surat "Al-Furqon" ayat 23.
Syarat kedua: Harus
mengikuti syari'at Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi wa Sallam.
Sungguh telah kami saksikan banyak
dari tokoh-tokoh masyarakat yang mereka dianggap sebagai parapbela (para
pembesar keraton) atau La Ode (semisal Raden), bila sudah berada di
penghujung bulan Sya'ban; sehari atau dua hari sebelum masuknya bulan Romadhon mereka
malakukan puasa yang disebut dengan "puasanya para pemuka", jadi
mereka yang membuka atau memulai puasa, bila seperti ini keadaan mereka maka
sungguh telah menyelisihi syari'at Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi wa
Sallam, beliau berkata:
«إِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ»
"Jika kalian telah melihatnya (ya'ni hilal tanggal satu Romadhon)
maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya (hilal tanggal satu Syawwal)
maka berhari rayalah, jika dimendungkan (tidak terlihat hilal) bagi kalian maka
genapkanlah". Diriwayatkan
oleh Al-Bukhoriy (no. 1900) dan Muslim (no. 1080) dari Ibnu Syihab dari Salim
bin Abdillah dari bapaknya.
Dan di dalam riwayat Muslim dari
Nafi', dari Abdulloh bin Umar dengan
lafazh:
«فَاقْدِرُوا
لَهُ ثَلَاثِينَ».
"Maka genapkanlah pada bulan tersebut tiga puluh
hari".
Kalau sudah masuk Romadhon baik
dengan terlihatnya hilal atau berdasarkan hitungan penggenapan menjadi tiga
puluh hari karena adanya mendung maka mengharuskan bagi kaum muslimin untuk
berpuasa berdasarkan perintah Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam
tersebut.
Bila belum masuk tanggal satu
Romadhon maka kaum muslimin tidak boleh berpuasa, walaupun tokoh-tokoh dan para
pemuka masyarakat ataupun pemerintah sudah berpuasa.
Syarat ketiga:
Mengikhlaskan niat.
Alloh Ta'ala berkata:
{وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ}
[البينة: 5].
"Dan tidaklah mereka diperintah kecuali supaya menyembah
Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus".
(Al-Bayyinah: 5).
Adapun niat untuk melakukan puasa
adalah diniatkan pada malam hari, ini adalah wajib hukumnya bagi puasa yang
wajib, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama diantara mereka Ahmad, Asy-Syafi'iy
dan Malik, mereka berdalil dengan
perkataan Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam:
«مَنْ
لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ»
"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa (pada malam
harinya) sebelum sholat fajar maka tidak ada puasa baginya". Diriwayatkan oleh An-Nasa'iy (no. 2652) dari Salim bin Abdillah dari bapaknya dari saudarinya Hafshoh Istri Nabi Shollallohu 'Alaihi wa Sallam,
diriwayatkan pula oleh At-Tirmidziy (no. 730) dan Abu Dawud (no. 2454) dengan
lafazh:
«مَنْ
لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ»
"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa (pada malam
harinya) sebelum sholat fajar maka tidak ada puasa baginya".
Termasuk dari penyelisihan
terhadap syari'at dalam permasalahan puasa adalah meniatkan puasa dengan
melafazhkannya, seperti melafazhkan:
"نَوَيْتُ
الصَّوْمَ...".
"Aku berniat puasa…".
Penglafazhan seperti ini adalah
bentuk dari penyelisihan terhadap syari'at dan bahkan dia adalah bida'h, di
dalam kitab "Al-Muhadzdzab fi Fiqhi Al-Imam
Asy-Syafi'iy" (juz 1/hal 134) yang ditulis oleh salah seorang
ulama bermazhab Asy-Syafi'iy yang beliau adalah Asy-Syiroziy
Rohimahulloh termaktub:
"فلم
تصح من غير نية كالصوم ومحل النية القلب فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه".
"(Suatu
amalan pendekatan diri kepada Alloh) tidak akan sah dengan tanpa adanya niat
seperti puasa, dan tempatnya niat adalah di dalam hati, maka jika diniatkan di
dalam hatinya dengan tanpa (terucapkan dengan) lisannya maka mencukupinya".
Di dalam kitab "Mukhtashor
Al-Fatawa' Al-Mishriyah" (hal. 9) dinukilkan bahwa Abul Abbas Ahmad Al-Harroniy Rohimahulloh
berkata:
"مَحل النِّيَّة الْقلب بانفاق
الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة وَغَيرهم".
"Tempatnya
niat adalah di dalam hati dengan kesepakatan para imam yang empat (Ahmad, Asy-Syafi'iy, Malik dan Abu Hanifah) dan yang selain mereka".
Beliau juga berkata di dalam sumber rujukan yang sama:
"فاستحب التَّلَفُّظ بهَا طَائِفَة من
أَصْحَاب أبي حنيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأحمد وَلم يستحبه آخَرُونَ وَغَيرهمَا
وَهَذَا أقوى فَإِن ذَلِك بِدعَة لم يَفْعَلهَا رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ
وَسلم وَلَا أحد من الصَّحَابَة".
"Disunnahkan melafazhkan niat oleh sekelompok dari pengikut
Abu Hanifah, sekelompok pengikut Asy-Syafi'iy dan sekelompok pengikut Ahmad dan sekelompok yang lainnya dan selain dari
kedua kelompok tersebut tidak mensunahkannya, dan ini adalah yang terkuat,
karena sesungguhnya demikian itu adalah bida'h, Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam tidak melakukannya dan tidak pula salah seorang dari para
shohabat (melakukannya)".
PEMBAHASAN KETIGA
KETENTUAN-KETENTUAN
DALAM BERPUASA ROMADHON
Alloh Ta'ala berkata:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} [البقرة: 185]
"Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) pada hari-hari yang lain sebanyak
hari yang ditinggalkannya itu".
(Al-Baqoroh: 185).
Pada ayat ini terdapat dua
permasalahan yaitu hukum puasa bagi orang yang sakit dan hukum puasa bagi orang
yang safar.
Bentuk Sakit yang
Mengharuskan untuk Berbuka Puasa
Adapun bila seseorang sakit, yang
sakitnya tersebut ringan dan puasa tidak memberikan pengaruh terhadap dirinya
maka tidak mengapa untuk berpuasa, karena yang diinginkan pada ayat tersebut
adalah sakit yang menyusahkan diri atau memudhoratkan diri sebagaimana
diperjelas dengan kelanjutan ayat:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ} [البقرة: 185]
"Alloh menginginkan kemudahan bagi kalian, dan tidak
menghendaki kesusahan bagi kalian".
(Al-Baqoroh: 185).
Bentuk Safar (Melakukan
Perjalanan) yang Mengharuskan untuk Berbuka Puasa
Permasalahan ini membutuhkan
adanya dua rincian:
Rincian pertama: Kalau seseorang berpuasa ketika safar, dengan sebab
puasanya itu mengakibatkan kelemahan pada dirinya atau memudhoratkan dirinya
maka mewajibkannya untuk tidak berpuasa dengan dalil perkataan Nabi Shollallohu
'Alaihi wa Sallam:
«لَيْسَ
مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»
"Bukan dari kebaikan berpuasa ketika safar". Dan hadits dengan lafazh ini diriwayatkan oleh Ashhabul Sunan dari beberapa orang shohabat.
Nabi Shollallohu 'Alaihi wa
Sallam mengatakan seperti itu karena memiliki sebab, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1115) dari Jabir bin
Abdillah, beliau berkata:
"كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى رَجُلًا قَدِ
اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: «مَا لَهُ؟»
قَالُوا: رَجُلٌ صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ»
"Dahulu Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam
ketika safar melihat seseorang yang sungguh manusia telah mengelilinginya, dan
sungguh telah dinaungi atas (diri)nya, maka beliau berkata: "Ada apa
dengannya?", mereka berkata: "Dia adalah orang yang
berpuasa", maka Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Bukan
dari kebaikan kalian berpuasa ketika safar".
Rincian kedua: Kalau seseorang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk
berpuasa ketika safar maka ini boleh dan puasanya sah, dengan dalil apa yang
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1121) dari hadits Hamzah
bin 'Amr Al-Aslamiy beliau berkata kepada Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam:
"يَا
رَسُولَ اللهِ، أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ، فَهَلْ
عَلَيَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هِيَ
رُخْصَةٌ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَخَذَ بِهَا، فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»".
"Wahai Rosululloh, aku mendapati pada (diri)ku kekuatan
untuk berpuasa ketika safar, maka apakah aku berdosa (kalau berpuasa)?, maka
Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata: "Dia adalah
keringan dari Alloh, barangsiapa mengambil keringanan itu maka dia adalah baik,
dan barangsiapa yang senang untuk berpuasa maka tidak ada dosa baginya".
Demikian pembahasan yang singkat
ini, semoga bermanfaat.
ونسأل
الله عز وجل أن يوفقنا وجميع المسلمين للهداية والسداد، وصلى الله وسلم على نبينا
محمد وعلى آله وصحبه.