Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

PERMASALAHAN SEPUTAR HARI RAYA ‘ID


MANDI SEBELUM SHOLAT ‘IED
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Syaikhuna Yahya –semoga Alloh menjaganya- ketika ditanya apakah disyari’atkan mandi pada hari raya? Maka beliau menjawab: “Ibnu Umar mandi pada hari ‘Ied dan barang siapa yang mandi maka dia tidak dingkari, adapun dari sisi disunnahkannya maka di sana tidak ada sunnah yang yang menetapkannya dari Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tentang disunnahkannya mandi untuk ‘Ied, ini yang kami ketahui”, -selesai-.
Bagaimana kalau bertepatan hari ‘Ied dengan hari Jum’at, apakah orang yang mandi untuk ‘Ied sudah cukup dan tidak perlu lagi mandi untuk Jum’at?
Maka jawabannya: Tergantung niatnya, kalau dia niatkan itu untuk mandi ‘Ied maka dia wajib untuk mandi lagi untuk sholat Jum’at, dan ini bagi yang berpendapat tentang wajibnya sholat Jum’at. Adapun kalau dia berpendapat bahwa mandi Jum’at itu hanyalah mustahab (sunnah) maka perkaranya kembali kepadanya, kalau suka melakukan sunnah maka dia akan mandi akan tetapi kalau dia terkadang bermalas-malasan untuk mandi maka dia tidak berdosa namun dia tidak mendapatkan keutamaan melaksanakan sunnah mandi Jum’at.
Adapun kalau dia mandi dengan meniatkan untuk mandi ‘Ied sekaligus untuk mandi Jum’at maka dia mendapatkan keutamaan dan pahala karena mandi untuk Jum’at adapun mandi dengan niat untuk ‘Ied maka dia tidak termasuk sunnah.
Adapun kami, maka kami memilih pendapat wajibnya mandi Jum’at, dan ini adalah pendapat Al-Imam Ibnu Hazm, dan Ibnu Mundzir menghikayatkan ini dari perkataan Abu Huroiroh, dan Al-Khoththoby dan selainnya menghikayatkan ini dari Hasan Al-bashry dan satu riwayat dari Malik bin Anas. Hal ini karena jelas dan kuatnya dalil yang ada, Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ»
“Mandi pada hari Jum’at adalah wajib bagi setiap yang sudah baligh (mimpi basah bagi laki-laki)”.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhory dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry dan ini adalah lafadz Al-Imam Al-Bukhory. Dan dari hadits Abdulloh bin Umar –semoga Alloh meridhoi keduanya- bahwa Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»
“Jika salah seorang diantara kalian mendatangi Jum’at maka hendaknya dia mandi”. Juga didalam riwayat Al-Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh bahwasanya ketika Utsman mendengar azan maka beliau bersegera datang ke masjid untuk sholat Jum’at dan beliau hanya melakukan wudhu (tidak mandi) karena terlambat maka Umar mengingkarinya dengan berkata:
والوضوء أيضا، أَلَمْ تَسْمَعُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا رَاحَ أَحَدُكُمْ إِلَى الجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ»
“Wudhu saja, apakah kalian tidak mendengar Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata: “Jika salah seorang diantara kalian mendatangi Jum’at maka hendaknya dia mandi”.
Adapun pendapat jumhur (kebanyakan ulama) tentang sunnahnya mandi Jum’at maka mereka berdalil dengan hadits:
«مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ، يُجْزِئُ عَنْهُ الْفَرِيضَةُ، وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ»
“Barang siapa mandi pada hari Jum’at maka dia telah mengambil sunnah (atau keringanan) dan ini sebaik-baik sunnah, dicukupkan baginya kewajiban, dan barang siapa yang mandi maka mandi itu lebih utama”. Sebagian mereka berpendapat bahwa hadits ini layak dijadikan hujjah, sebagian yang lain menyatakan hadits ini hasan karena ada penguat dari hadits yang lain. Akan tetapi yang benar hadits ini adalah dhoif (lemah) dan tidak bisa dijadikan sandaran dan hujjah, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan didalam rantai sanadnya terdapat seorang perowi yang dhoif, dia adalah Yazid Ar-Roqasyi, dan hadits ini datang pula dari selain Ibnu Majah dari hadits Aisyah dan Samuroh bin Jundub dengan tanpa tambahan lafadz “dicukupkan baginya kewajiban”.
Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied –semoga Alloh merahmatinya- di dalam “Ihkamul Ahkam” berkata: “Dan tidaklah dikuatkan sanad hadits-hadits ini, dan walaupun masyhur dari sanandnya shohih menurut sebagian ahli hadits, dan terkadang hanya pengalihan makna juga yaitu seperti pengalihan makna yang dibenci lagi jauh, seperti pengalihan makna lafadz “wajib” kemakna “ta’kid (penekanan)”, adapun selain hadits ini dari pertentangan yang disebutkan terhadap apa yang telah kami sebutkan dari dalil-dalilnya yang wajib, maka tidaklah kuat dalil-dalilnya atas tidak wajibnya (mandi Jum’at), karena kuatnya dalil wajibnya (mandi Jum’at), dan Malik telah me-nash (membawakan dalil) tentang wajibnya”, -selesai-.
Adapun kemungkinan mereka bahwa kalau mandi Jum’at wajib tentu Umar akan memerintahkan Utsman untuk kembali mandi akan tetapi Umar membiarkannya, maka jawabannya: Dalam hadits tersebut periwayatannya berhenti yaitu tidak ada penjelasan setelahnya; kalau Utsman tetap melanjutkan sholat Jum’at atau kembali mandi Jum’at?! Dan merupakan kebiasan Umar bahwa beliau mengingkari sesuatu bila sesuatu itu menyelisihi dalil. Dan kalau hanya kemungkinan maka dijawab pula: Kemungkinan Umar membiarkan karena sempitnya waktu Jum’at, bila Utsman diperintahkan untuk mandi maka beliau tidak sempat mendengarkan khutbah atau bahkan terlambat melaksakan sholat Jum’at, (والله أعلم).
(Diterjemahkan dari “I’anatus Sail Liabi Ahmad Muhammad Al-Limbory”).

SHOLAT SUNNAH SEBELUM SHOLAT ‘IED
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Syaikhuna Yahya ­–semoga Alloh menjaganya- ketika ditanya permasalahan ini maka beliau berkata: “Tidak disyari’atkan demikian itu, bahkan melakukannya termasuk dari kebid’ahan-kebid’ahan, dan bila pelaksanaannya di masjid maka wajib baginya hanya melakukan sholat tahiyatul masjid (dua rokaat ketika masuk masjid) jika di sana tercegah dari melakukan sholat di musholla (lapangan tempat sholat) atau tidak ada musholla seperti di tempat pegunungan atau di tengah-tengah terjadinya perang atau ada hujan yang deras, yang orang-orang tidak bisa pergi ke musholla maka mereka melakukan sholat tahiyatul masjid yang mereka sholat ‘Ied di dalam masjid, adapun kalau dia sholat sholat dua rokaat karena mau duduk di musholla maka ini termasuk dari kebid’ahan, Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tidak sholat sebelum sholat ‘Ied dan tidak pula sholat setelahnya, adapun apa yang datang dari Abu Said bahwasanya beliau sholat setelah sholat ‘Ied maka haditsnya berpenyakit (cacat), diriwayatkan dari jalur Abdulloh bin Muhammad bin Aqil dan padanya dhoif (kelemahan)”, selesai-.
Dan Syaikhuna Yahya bila telah datang ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha maka beliau bersama murid-muridnya dan masyarakat Dammaj keluar melakukan sholat di lapangan di Hadb Dammaj, namun ketika terjadi perang melawan Khutsy (Rofidhoh) dari perang yang keenam sampai sekarang (perang yang ketujuh) maka sholat ‘Ied dilakukan di masjid Ahlussunnah Darul Hadits Dammaj.
Dan ketika sebagian para penuntut ilmu mencari shof pertama yaitu dengan datang ke masjid pada azan fajar yang pertama, lalu mereka duduk di shof awwal, sebagaimana biasanya kalau sudah terbit matahari langsung mereka berdiri melakukan sholat dua rokaat maka pada waktu ‘Ied sebagian mereka berdiri melakukan sholat sunnah dua rokaat sebelum ditegakannya sholat ‘Ied, ketika Syaikhuna ditanyakan tentang permasalahan itu maka beliau mengingkarinya, (والله أعلم).
(Diterjemahkan dari “I’anatus Sail Liabi Ahmad Muhammad Al-Limbory”).

MENGANGKAT TANGAN KETIKA TAKBIR DALAM SHOLAT ‘IED
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Syaikhuna Yahya ditanya tentang hukum mengangkat tangan pada sholat ‘Ied dan berapa kali mengangkat tangan? Maka beliau menjawab: “Adapun mengangkat tangan ketika setiap takbir dalam sholat ‘Ied maka tidak ada dalil yang shohih dari Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tentang itu melainkan (mengangkat tangan) ketika takbiratul ihrom (takbir pembukaan sholat) dan takbir intiqol (perpindahan dari satu rokaat ke rokaat yang lain) sebagaimana di dalam hadits Ibnu Umar di dalam “Shohih Al-Bukhory”: “Jika beliau takbiratul ihrom, dan jika ruku dan ketika bangkit dari ruku’ dan ketika bangkit dari tasyahud pertama”, dan tambahan mengangkat tangan ketika berdiri dari tasyahud bersendirian Al-Bukhory dalam meriwayatkannya dan hadits muttafaqun ‘alaih (Al-Bukhory dan Muslim)”, -selesai-.
Karena tidak ada dalil tentang mengangkat tangan pada setiap kali takbir maka dikembalikan kepada hukum asal sholat yaitu hanya mengangkat tangan ketika takbiratul ihrom, ketika ruku’, ketika bangkit dari ruku’ dan ketika bangkit dari tasyahud pertama sebagaimana disebutkan dalam hadits, dan ini adalah pendapat yang terkuat.
Al-Imam Atho, Al-Auza’y, Abu Hanifah, Asy-Syafi’y, Ahmad, Dawud mereka berpendapat tentang disunnahkannya mengangkat tangan pada setiap takbir tambahan setelah takbiratul ihrom pada dua sholat ‘Ied (‘Iedul Fitr dan Adha) dan disunnahkan dzikir diantara disetiap takbir tersebut, mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Umar bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada setiap takbir dalam sholat ‘Ied, akan tetapi pendalilan mereka tidak kuat karena riwayat tersebut dhoif (lemah), riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaqy di dalam “As-Sunan Kubro” dengan sanad dhoif (lemah) dan munqati’ (terputus jalur periwayatannya), dan Al-Baihaqy berkata: “Kami meriwayatkannya pada hadits mursal (tidak ada penyebutan perkataan shahabat Nabi) dan dia adalah perkataan ‘Atho bin Abi Robah”.
Al-Imam Malik, Atsaury, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf mereka berkata: “Tidak mengangkat tangan kecuali pada takbirotul ihrom, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm sebagaimana disebutkan dalam “Al-Majmu’” dan “Al-Muhalla”.
(Diterjemahkan dari “I’anatus Sail Liabi Ahmad Muhammad Al-Limbory”).

SHOLAT ‘IED DI LAPANGAN, YANG LAPANGAN TERSEBUT DIGUNAKAN SEBAGAI TEMPAT PERAYAAN HUKUM THOGHUT DAN PERLOMBAAN-PERLOMBAAN DALAM KEMAKSIATAN, ATAU DIGUNAKAN PADANYA PENGOLOK-OLOKAN TERHADAP SYARI’AT
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Telah berpendapat sebagian ahludh dhohir tentang ketidak bolehnya sholat di tempat tersebut, mereka berdalil dengan perkataan Alloh (تعالى):
{وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا } [النساء: 140]
“Dan sungguh Alloh telah menurunkan kekuatan kepada kalian di dalam Al-Quran bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Alloh diingkari dan diperolok-olokkan maka janganlah kalian duduk bersama mereka, sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian sama dengan mereka. Sesungguhnya Alloh akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”. (An-Nisa’: 140).
Dan Alloh (تعالى) berkata:
{وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ } [الأنعام: 68]
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithon menjadikanmu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)”. (Al-An’am: 68).
Dan ini termasuk pendapat Al-Imam Ibnu Hazm –semoga Alloh merahmatinya- sebagaimana beliau sebutkan di dalam kitab “Al-Muhallaa”.
Akan tetapi ini adalah pendapat yang tidak kuat, karena Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sebelum hijroh melakukan sholat di masjid Harom sebagaimana diriwayatkan di dalam “Ash-Shohihain” dari hadits Abdulloh bin Mas’ud, bahwa ketika Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) sujud maka orang-orang kafir Quroisy meletakan sesuatu di punggungnya lalu mereka mentertawai dan mengolok-oloknya lalu putrinya (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) Fatimah mengangkat sesuatu tersebut dari punggungnya, kemudian beliau bangit dari sujudnya.
Dan telah diketahui bersama bahwa masjid Harom ketika itu terdapat patung-patung, pengolok-olokan terhadap Islam, para wanita jahiliyyah mengelilingi Ka’bah dengan telanjang bulat, akan tetapi Rosululloh (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) tetap datang sholat padanya!.
Jika ada yang mengatakan: Hal itu karena masjid Harom asal pembangunannya untuk tempat ibadah maka tidak mengapa sholat padanya walaupun ada kemaksiatan atau kemungkaran!.
Maka kami katakan: Begitu pula lapangan, yang dia berdiri di atas bumi pada asalnya dia adalah layak untuk masjid (tempat sholat), Rosululloh (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ، إِلَّا الْمَقْبَرَةَ، وَالْحَمَّامَ»
Bumi semuanya adalah masjid (tempat sujud/sholat) kecuali kuburan dan WC”.
Hadits ini adalah shohih, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Dawud dan At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Khudry, dan At-Tirmidzy berkata: “Dan bab ini (diriwayatkan pula) dari Ali, Abdulloh bin ‘Amr, Abu Huroiroh, Jabir, Ibnu ‘Abbas, Hudzaifah, Anas, Abu Umamah, Abu Dzarr, mereka berkata: Bahwasanya Nabi (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«جُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَطَهُورًا»
“Dijadikan untukku bumi semuanya masjid (tempat sujud/sholat) dan tempat bersuci”.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang bolehnya sholat ‘Ied di lapangan dengan syarat kemungkaran atau kemaksiatan tersebut tidak dimunculkan ketika sedang diadakan sholat ‘Ied, (والله أعلم).
(Diterjemahkan dari “I’anatus Sail Liabi Ahmad Muhammad Al-Limbory”).

PERMAINAN DAN PERTUNJUKAN PADA HARI RAYA
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Al-Imam Al-Bukhory di dalam “Ash-Shohih” berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdillah, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibrohim bin Sa’d dari Sholih bin Kaisan dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Telah mengabarkan kepadaku Urwah Ibnuz Zubair bahwasanya Aisyah berkata:
«لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ»
“Sungguh aku telah melihat Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) pada suatu hari di atas pintu kamarku dan para pemuda (Habasyah) bermain-main di masjid dan Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) menutupiku dengan kain penutup, sedang aku melihat kepada mereka yang bermain”.
Dan dalam suatu riwayat setelah hadits ini dengan lafadz:
«رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ»
“Aku melihat Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) dan para pemuda (Habasyah) mereka bermain perang (pedang-pedangan)”.
Dari hadits tersebut dapat ditarik faedah, diantaranya:
ü  Bolehnya mengatur siasat perang di dalam masjid.
ü  Bolehnya membawa pedang atau senjata ke dalam masjid, Al-Imam Al-Bukhory –semoga Alloh merahmatinya- berkata: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin  Abdillah, beliau berkata: Aku mendengar Abu Burdah, dari Bapaknya, dari Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), beliau berkata:
«مَنْ مَرَّ فِي شَيْءٍ مِنْ مَسَاجِدِنَا أَوْ أَسْوَاقِنَا بِنَبْلٍ، فَلْيَأْخُذْ عَلَى نِصَالِهَا، لاَ يَعْقِرْ بِكَفِّهِ مُسْلِمًا»
“Barang siapa yang lewat pada sesuatu dari masjid-masjid kami atau pasar-pasar kami dengan senjata maka hendaknya dia memegang unjungnya, (supaya) ujungnya tidak menyakiti seorang muslim”.
ü  Bolehnya main pedang-pedangan di dalam masjid, ketika terjadi hishor (pemblokadean) Darul Hadits Dammaj dan perang yang ketujuh di Dammaj maka pertunjukan/permainan (semisal gulat, bela diri dan yang semisalnya) yang dahulunya dilakukan di lapangan (tempat sholat ‘Ied) berpindah pelaksanaannya sebagaimana berpindahnya tempat sholat ‘Ied, dahulu pelaksanaan sholat ‘Ied di lapangan Hadb dan pada sore hari diadakan pertunjukan/permainan berupa gulat di sana adapun pada saat ini gulat diadakan di dalam masjid Ahlussunnah, dan Syaikhuna membolehkan dengan berdalil hadits yang kita baca ini. Pelaksanaan gulat pada saat seperti ini memiliki hikmah diantaranya sebagai penghibur di tengah berkecamuknya perang dan penampakan rasa gembira ketika berjumpa dengan hari raya Qurban. Meramaikan hari raya dengan gulat atau dengan perbuatan yang mubah (boleh) adalah tidak terlarang secara syar’i, bahkan anak-anak wanita kecil yang bernyanyi-nyayi dibolehkan, sebagaimana di dalam “Ash-Shohihain” dari hadits Aisyah, ketika Abu Bakr Ash-Shiddiq masuk ke dalam rumahnya didapatilah dua anak wanita kecil dari tetangganya orang Anshor bernyanyi-nyanyi maka Abu Bakr mengingkari keduanya karena melantunkan syi’ar-syi’ar syaithon di rumah Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) maka Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) berkata:
«يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا»
“Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita”. 
ü  Bolehnya menonton atau menyaksikan orang-orang yang bergulat ketika hari raya, ketika saudaraku Umair Al-Limbory gulat dengan orang Amerika dan orang Rusia di lapangan Hadb maka Syaikhuna Yahya keluar menyaksikan pertunjukan tersebut, dan demikian itu sebelum terjadi perang melawan Rofidhoh baik perang yang keenam, adapun pada perang yang ketujuh ini beliau mengizinkan untuk melakukan pertunjukan tersebut di masjid, (والله أعلم).
(Dinukil dari pelajaran “Shohihul Bukhory” dengan pengajar Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory).

KALAU SHOLAT 'IED BERTEPATAN DENGAN HARI JUM'AT
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Syaikhuna Yahya –semoga Alloh menjaganya- ditanya tentang permasalahan ini dan bagaimana pelaksanaan sholat Jum'at? Maka beliau menjawab: "Siapa yang melaksanakan sholat 'Ied maka boleh baginya tidak melakukan sholat Jum'at akan tetapi kewajiban sholat zhuhur tetap ada baginya, kalau dia melakukan sholat Jum'at maka tidak perlu lagi sholat zhuhur, akan tetapi kalau Jum'at tidak dia kerjakan maka wajib baginya melaksanakan sholat zhuhur", -selesai-.
Kalau seseorang melakukan sholat Jum'at pada hari raya tersebut maka apakah dia tetap disunnahkan sholat ba'diyah (sholat setelah) jum'at yang 4 (empat) roka'at? Lalu bagaimana kaifiyah (metode) sholat ba'diyah jum'at yang 4 (empat) roka'at? Apakah tiap 2 (dua) roka'at salam, atau 4 (empat) roka'at  sekali salam dengan 2 (dua) kali tasyahud, atau 4 (empat) roka'at sekali tasyahud dan sekali salam?.
Maka jawabannya: Tetap dia disunnahkan melakukan sholat 4 (empat) rokaat sebagaimana dalam "Shohih Muslim", adapun pelaksanaannya; bila dia melakukan 4 (empat) rokaat maka setiap 2 (dua roka'at) dia tasyahud dan salam, lalu berdiri melaksakan yang sisa (dua rokaat) dengan melakukan tasyahud dan salam, atau dia melaksanakan 4 (empat) roka'at dengan sekali tasyahud dan sekali salam, sebagaimana penjelasannya di dalam "Ash-Shohihain" dari hadits Aisyah ketika beliau menjelaskan tata cara sholat lail Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم), dan permasalahan ini telah kami sebutkan di dalam tulisan kami "Al-Jami'ush Shohih fii Ahkamil Witr Wat Tarowih".
Adapun 4 (empat) roka'at  dengan sekali salam dan 2 (dua) kali tasyahud maka tidak ada dalil yang menjelaskan demikian, hanyalah dalil tentang metode tersebut untuk pelaksanaan sholat wajib seperti sholat Isya, Zhuhur dan Ashar, (والله أعلم).
(Diterjemahkan dari “I’anatus Sail Liabi Ahmad Muhammad Al-Limbory”).

PENGKHUSUSAN ZIAROH KUBUR PADA HARI ‘IED
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله أحمده وأستعينه وأستغفره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
Syaikhuna Yahya ditanya tentang mengkhususkan ziaroh kubur pada hari ‘Ied maka beliau berkata: “Pengkhususan yang demikian itu termasuk dari kebid’ahan, dan Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم) tidak mengkhususkan dan para shahabatnya ­–semoga Alloh meridhoi mereka- juga tidak mengkhususkanya”, -selesai-.
Karena tidak ada pengkhususan dari Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم) dan juga para shahabatnya serta tidak pernah pula mereka lakukan maka itu menunjukan tentang kebid’ahannya, Rosululloh (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم) berkata:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang dia bukan dari perkara (agama) kami maka dia tertolak”.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhory dan Muslim dari Aisyah –semoga Alloh meridhoinya- dan dalam suatu riwayat di dalam “Shohih Muslim” Nabi (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم) berkata:
«من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد»
“Barang siapa mengadakan perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang dia bukan darinya maka dia tertolak”, (والله أعلم).
(Diterjemahkan dari “I’anatus Sail Liabi Ahmad Muhammad Al-Limbory”).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar