Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

Amalan-Amalan di Bulan Ramadhan

Amalan2 Ramadhan
Disertai Dengan Tanya Jawab Bersama Penulis
(Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu)
PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ. أَمَّا بَعْدُ:
Al-Bukhoriy Rohmatulloh ‘Alaih telah meriwayatkan di dalam kitabnya “Al-Adabul Mufrod” dari hadits Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhuma:
“أن النبي صلى الله عليه وسلم رقى المنبر فلما رقى الدرجة الأولى قال: «آمين» ثم رقى الثانية فقال: «آمين» ثم رقى الثالثة فقال: «آمين» فقالوا: يا رسول الله سمعناك تقول: «آمين» ثلاث مرات، قال: «لما رقيت الدرجة الأولى جاءني جبريل صلى الله عليه وسلم فقال: شقي عبد أدرك رمضان فانسلخ منه ولم يغفر له فقلت: آمين ثم قال: شقي عبد أدرك والديه أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة فقلت: آمين ثم قال: شقي عبد ذكرت عنده ولم يصل عليك فقلت آمين».
“Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam naik mimbar, tatkala telah naik ke tingkat pertama beliau berkata: “Ya Alloh kabulkanlah”kemudian naik ke tingkat ke dua, beliau berkata: “Ya Alloh kabulkanlah”, kemudian naik ke tingkat ke tiga, beliau berkata: “Ya Alloh kabulkanlah”, maka mereka (para shohabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, kami mendengarmu mengatakan: “Ya Alloh kabulkanlah”, tiga kali, beliau menjawab: “Tatkala aku menaiki tingkat pertama, datang kepadaku Jibril Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata: “Celaka bagi seorang hamba yang mendapati Romadhon lalu selesai Romadhon dan dia belum diampuni (dosa-dosa)nya, maka aku berkata: “Ya Alloh kabulkanlah”, kemudian Jibril berkata: “Celaka seorang hamba mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya namun tidaklah keduanya memasukannya ke dalam Jannah, maka aku katakan: “Ya Alloh kabulkanlah”, kemudian Jibril berkata lagi: “Celaka seorang hamba disebutkan namaku di sisinya dan dia tidak bersholawat untukmu, maka aku katakan: “Ya Alloh kabulkanlah”.


Faedah-faedah yang Bisa Diambil Diantaranya Adalah:
Hadits tersebut terdapat beberapa amalan kebaikan, yaitu:
Pertama:
Perkataannya: (naik mimbar), tidaklah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallamnaik ke mimbar melainkan dengan tujuan untuk melakukan khutbah atau melakukan pengajaran kepada para shohabatnya.
Termasuk dalam suatu kesempatan dan peluang terbaik bagi para da’i untuk melakukan amalan ini, yaitu mengambil kesempatan di sela-sela kesibukan beribadah di bulan Romadhon dengan mengisi nasehat dan ceramah di atas mimbar masjid atau di selain mimbar, yang mana kaum muslimin ketika bulan Romadhon bersemangat meramaikan masjid-masjid.
Dengan hadirnya seorang da’i atau penceramah maka itu sebagai kesempatan bagi kaum muslimin untuk mendapatkan siraman rohani, semoga dengan itu mereka mendapatkan hidayah untuk mengikuti As-Sunnah:
«من دل على خير فله مثل أجر فاعله».
“Barang siapa menunjukan atas suatu kebaikan maka baginya (pahala) semisal pahala orang yang melakukannya”Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Huroiroh dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Pertanyaan:
Sebagian orang tidak mau memberikan ceramah atau mengajar di bulan Romadhon dengan alasan tidak ada contohnya dari salaf, apakah benar anggapan ini?
Jawaban:
Ini merupakan suatu anggapan yang tidak didasari dalil, memberikan pengajaran dan ceramah di dalam bulan Romadhon adalah perkara yang boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan bila hal demikian itu dibutuhkan, adapun kalau melihat kepada amalan terbanyak yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallamlakukan di bulan Romadhon maka beliau adalah memperbanyak membaca Al-Qur’an dan menegakan sholat-sholat, ini adalah amalan yang afdhol (lebih utama) yang dilakukan di bulan Romadhon. Pembahasan ini telah kami sebutkan di dalam kitab “Tilawatul Qur’an fii Syahri Romadhon” pada bab “Dirosatul Qur’an fii Syahri Romadhon” (hal. 6).
Dan amalan-amalan berupa membaca Al-Qur’an ini tidaklah meniadakan amalan-amalan lain, baik berupa mengajarkan Al-Qur’an di bulan Romadhon, mengisi ceramah dan amalan-amalan kebaikan lainnya.   
Perkataannya: (tatkala naik ke tingkat pertama) ini menunjukan bahwa mimbar memiliki tingkat-tingkat (tangga-tangga), dan tingkatannya hanya ada tiga sebagaimana kelanjutan pada perkataannya (kemudian naik ke tingkat ke tiga).
Pertanyaan:
Bagaimana kalau yang memberikan khutbah mendapati mimbar yang tingkatnya lebih dari tiga tingkat, apakah dia naik ke ujung tingkat?.
Jawaban:
Dia naik ke mimbar kemudian berhenti pada tingkat yang ke tiga, karena sunnahnya mimbar adalah hanya tiga tingkat. Adapun kalau dia naik sampai ke tingkat terakhir yang melebihi tiga tingkat dari mimbar itu maka dia menyelisihi sunnah, dan kalau dia khutbah Jum’at pada tingkat terakhir tersebut maka hukum khutbahnya tetap sah namun dia telah menyelisihi sunnah:
«وخير الهدى هدى محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة».
Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat”Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhuma dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Kedua:
Perkataannya: “Celaka bagi seorang hamba yang mendapati Romadhon lalu selesai Romadhon dan dia belum diampuni (dosa-dosa)nya”ini menunjukan kalau Romadhon adalah bulan yang terdapat peluang besar untuk terhapuskannya dosa-dosa.
Bulan Romadhon adalah suatu bulan yang di dalamnya terdapat berbagai macam amalan kebaikan, barang siapa menyambutnya dengan bersungguh-sungguh dalam beramal kebaikan maka akan terampuni dosa-dosanya, RosulullohShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ».
“Barang siapa menegakan Romadhon dengan penuh keimanan dan penuh pengharapan maka diampuni baginya apa-apa yang telah lewat dari dosa-dosanya”.
Diantara amalan-amalan yang penting yang perlu dilakukan di bulan Romadhon adalah seperti amalan-amalan yang disebutkan di dalam hadits yang kita jelaskan ini, yaitu:

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA
Bila seorang anak mentauhidkan Alloh Ta’ala bersamaan dengan itu dia berbakti kepada ibu-bapaknya maka sungguh dia telah meraih keutamaan yang besar dan mendapatkan ampunan dari Alloh Ta’ala:
{وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا….} [الإسراء: 23].
“Dan Robbmu telah mewajibkan supaya kalian tidak beribadah melainkan hanya kepada-Nya, dan supaya berbuat baik kepada kedua orang tua…”.
Seorang anak lebih mengetahui terhadap apa yang dibutuhkan oleh kedua orang tuanya, seorang anak lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh ibunya dalam menyambut Romadhon.
Sungguh merupakan suatu adat yang terpuji yang berlaku di Limboro, bila sudah masuk bulan Sya’ban maka para anak beramai-ramai mengumpulkan kayu bakar, sehingga di bulan Romadhon mereka tidak lagi mencari kayu bakar, yang kayu bakar itu digunakan oleh ibu mereka dalam rangka memasak sajian dan menu sahur dan buka puasa di bulan Romadhon.
Menanamkan ke dalam hati para anak rasa cinta dan kasih sayang kepada ibu-bapak mereka adalah perkara yang dituntut di dalam syari’at Islam, bila para anak semakin menampakan kasih sayang dan kecintaan kepada ibu-bapak mereka berdasarkan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka ibu-bapak mereka semakin merasakan kebaikan dan mengangan-angankan untuk lebih baik, sungguh benar apa yang dikatakan oleh ustadz kami Abul ‘Abbas Harmin bin Salim Al-LimboriyRohmatulloh ‘Alaih“Para orang tua mulai berpikir bagaimana supaya anak-anak mereka menjadi anak-anak yang sholih karena kebahagian anak yang sholih adalah kebahagian orang tua”.
Coba kita melihat kepada shohabat yang meriwayatkan hadits yang kita bahas ini, beliau adalah Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau adalah anak yang sholih, yang berbakti kepada orang tuanya, dan kisahnya telah kami sebutkan di dalam kitab “Aayatul Anbiya’ wa Karomaatusy Syuhada’ (hal. 3-4)”, sebagai tambahan faedah bahwasanya Ibnu Hajar Rohmatulloh ‘Alaih berkata:
“وفي قصة والد جابر من الفوائد الإرشاد إلى بر الأولاد بالآباء خصوصا بعد الوفاة”.
“Dan di dalam kisah bapaknya Jabir terdapat faedah-faedah yaitu petunjuk kepada baktinya para anak kepada bapak-bapak mereka, terkhusus setelah wafat(nya)”. “Fathul Bariy” (3/217).
Kesempatan emas bagi para penuntut ilmu, ketika bulan Romadhon mereka meliburkan diri dari menuntut ilmu di pondok pesantren dan mereka pulang kampung untuk bisa berkumpul dengan kedua orang tua mereka, kesempatan ini mereka gunakan untuk beribadah kepada Alloh Ta’ala bersamaan dengan itu mereka berbakti kepada ibu-bapak mereka.
  Bila seorang anak mampu mengkompromikan antara beribadah kepada Alloh Ta’ala dan berbakti kepada kedua orang tuanya maka sungguh dengan izin Alloh dia tidak akan termasuk dalam perkataan Jibril ‘Alaihis Salam: “Celaka seorang hamba mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya namun tidaklah keduanya memasukannya ke dalam Jannah.

BERSHOLAWAT KEPADA NABI MUHAMMAD SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Bila seorang da’i menyempatkan dirinya menyampaikan nasehat dan ceramah di bulan Romadhon maka tentu dia akan selalu bersholawat kepada NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lebih-lebih kalau dia membaca hadits-hadits maka tentu dia akan melewati nama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan itu menuntutnya untuk bersholawat kepadanya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Pertanyaan:
Apa hukum bersholawat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam?.
Jawaban:
Hukum bersholawat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah wajib, ketika seseorang mendengarkan nama Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam disebut atau dia membaca nama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallammaka wajib baginya untuk bersholawat kepadanya, dengan dalil perkataan Jibril‘Alaihis SalamCelaka seorang hamba disebutkan namaku di sisinya dan dia tidak bersholawat untukmu“, juga perkataan Alloh Ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا} [الأحزاب: 56].
“Wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
(Al-Ahzab: 56).

HUKUM-HUKUMSEPUTAR ROMADHON
(BAGIAN 1)
Pertanyaan:
Di kampung kita
(Limboro) berada di pinggir pantai, bila matahari terbenam maka kita melihatnya secara langsung, tapi kebanyakan orang tidak mau berbuka puasa melainkan setelah mendengar gendang (bedug) dipukul atau setelah mendengar azan, mana pendapat yang benar?, apakah cukup bagi kita hanya melihat matahari?.
Jawaban:
 Pendapat yang benar adalah dengan melihat matahari, jika matahari sudah terbenam secara jelas-jelas maka bergegaslah berbuka, dan jangan berpatokan atau bersandar kepada bedug, karena bedug adalah bid’ah, dan juga jangan berpatokan dengan suara azan, kecuali bila kamu mengetahui kalau yang azan berpatokan dengan melihat kepada matahari, karena Alloh Ta’ala berkata:
{ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ} [البقرة: 187].
“Kemudian sempurnakanlah oleh kalian puasa sampai malam”.
(Al-Baqoroh: 187).  Perkataan-Nya “ilaa” yaitu sampai penghujung siang, yaitu masuk pada awal malam, para ulama mengatakan:
“أول الليل مغيث الشمس كلها في الأفق”.
“Awal malam adalah tenggelamnya matahari seluruhnya di cakrawala”.
Dan hal ini
dipertegas lagi dengan perkataan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Al-Bukhoriy dan Muslim dari hadits Abdulloh Ibnu Abi AufahRodhiyallohu
‘anh
:
«إِذَا
رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ»
.
“Jika kalian telah melihat malam telah datang dari arah sana maka sungguh telah berbuka orang yang berpuasa”.
Pertanyaan:
Di Limboro kan diliputi pegunungan kecuali di arah kiblat berhadapan dengan lautan, mana yang dijadikan ukuran penentuan waktu buka puasa, apakah orang yang berada di dataran rendah (yang di pinggir pantai) ataukah yang berada di gunung?, karena orang yang di dataran rendah sudah melihat matahari telah tenggelam keseluruhannya, sementara yang di gunung masih terlihat matahari sebagiannya atau seutuhnya?.
Jawaban:
Yang menjadi patokan adalah yang berada di dataran rendah, bila mereka sudah melihat matahari telah tenggelam seluruhnya di cakrawala maka mereka berbuka dan yang azan segera mengumandangkan azan maghrib sehingga yang di pegunungan mendengar dan mengikuti mereka, sebagaimana telah datang di dalam “Ash Shohihain” dari hadits Abdulloh Ibni Abi Aufah Rodhiyallohu ‘anh, beliau berkata:
“كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَمَّا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ لِبَعْضِ الْقَوْمِ: «يَا فُلَانُ قُمْ فَاجْدَحْ لَنَا» فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ لَوْ أَمْسَيْتَ، قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ فَلَوْ أَمْسَيْتَ قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا، قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا»، فَنَزَلَ فَجَدَحَ لَهُمْ فَشَرِبَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم”.
“Kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di dalam safar (perjalanan jauh), dan beliau adalah berpuasa, maka tatkala telah terbenam matahari, maka beliau berkata kepada sebagian kaum: Wahai fulan, berdirilah lalu berikan minuman untuk kami, maka dia berkata: “Wahai Rosululloh kalau engkau menunda”, beliau berkata: Turunlah lalu berikan minuman untuk kami!”,dia berkata: “Wahai Rosululloh kalau engkau menunda”, beliau berkata: Turunlah lalu berikan minuman untuk kami!”, dia berkata: “Sesungguhnya engkau masih berada di siang hari”, beliau berkata: Turunlah lalu berikan minuman untuk kami!”diapun turun lalu memberikan minum untuk mereka, maka NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam minum.
Perkataannya:“Turunlah”, ini menunjukan kalau shohabat tersebut berada di suatu tempat yang tinggi, baik dia di atas kendaraan atau yang semisalnya, yang keberadaannya lebih tinggi dari yang di bawahnya.
Yang jadi ukuran dan patokan di sini adalah yang di bawah, jika yang di bawah sudah melihat matahari telah tenggelam semuanya di cakrawala maka yang berada di atas hukumnya seperti yang berada di bawah yaitu bersegara berbuka puasa, Wallohu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar