Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Maka sesungguhnya hamba itu jika memurnikan niatnya untuk Alloh ta’ala, dan maksud dia, keinginan dia dan amalan dia itu adalah untuk wajah Alloh Yang Mahasuci, maka Alloh itu bersama dia, karena sesungguhnya Yang Mahasuci itu beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan kepala taqwa dan kebaikan adalah murninya niat untuk Alloh dalam penegakan kebenaran. Dan Alloh Yang Mahasuci itu tiada yang bisa mengalahkan-Nya. Maka barangsiapa Allo bersamanya, maka siapakah yang bisa mengalahkannya atau menimpakan kejelekan padanya? Jika Alloh bersama sang hamba, maka kepada siapakah dia takut? Jika Alloh tidak bersamanya, maka siapakah yang diharapkannya? Dan kepada siapa dia percaya? Dan siapakah yang menolongnya setelah Alloh meninggalkannya? Maka jika sang hamba menegakkan kebenaran terhadap orang lain, dan terhadap dirinya sendiri lebih dulu, dan dia menegakkannya itu adalah dengan menyandarkan pertolongan pada Alloh dan karena Alloh, maka tiada sesuatupun yang bisa menghadapinya. Seandainya langit dan bumi serta gunung-gunung itu membikin tipu daya untuknya, pastilah Alloh akan mencukupi kebutuhannya dan menjadikan untuknya jalan keluar dari masalahnya.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/ hal. 412/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).

BERBEKAM DIHARI RABU ?


  BERBEKAM DIHARI RABU ?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Apa derajat hadits larangan berbekam pada hari rabu itu dhoif?  
Jawab:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. أما بعد:
                Adapun lafadz haditsnya:
فَاحْتَجِمُوا عَلَى بَرَكَةِ اللهِ يَوْمَ الْخَمِيسِ , وَاجْتَنِبُوا الْحِجَامَةَ يَوْمَ الأَرْبِعَاءِ , وَالْجُمُعَةِ , وَالسَّبْتِ , وَيَوْمَ الأَحَدِ
Berbekamlah kalian atas berkahnya Alloh pada hari Kamis dan berbekamlah pada hari Senin dan Selasa. Dan jauhilah kalian berbekam pada hari Rabu dan Jum’at dan Sabtu dan Ahad.
                Maka hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah di dalam “Sunan”nya, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana di dalam “Shohihu Ibni Majah” dan di dalam “Al-Misykah” beliau mendhoifkannya.
                Kami katakan:
                وقد صرَّح بضعفها الإمام ابن حجر في “الفتح“.
                Dan sungguh Al-Imam Ibnu Hajar di dalam “Al-Fath” telah memperjelas kedho’ifan hadits tersebut. Beliau –semoga Alloh merahmatinya- berkata:
وقد ورد في تعيين الأيام للحجامة حديث لابن عمر عند ابن ماجة رفعه في أثناء حديث وفيه فاحتجموا على بركة الله يوم الخميس واحتجموا يوم الإثنين والثلاثاء واجتنبوا الحجامة يوم الأربعاء والجمعة والسبت والأحد.
                Dan sungguh telah ada hari-hari tertentu tentang hijamah (berbekam) diantaranya hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Ibnu Majah, beliau me-rofa’-kannya (mengangkat haditsnya sampai kepada Nabi) pada pertengahan haditsnya, yang pada hadits tersebut: “Berbekamlah kalian atas berkahnya Alloh pada hari Kamis dan berbekamlah pada hari Senin dan Selasa. Dan jauhilah kalian berbekam pada hari Rabu dan Jum’at, Sabtu dan Ahad”.
أخرجه من طريقين ضعيفين وله طريق ثالثة ضعيفة أيضا عند الدارقطني في الأفراد وأخرجه بسند جيد عن بن عمر موقوفا ونقل الخلال عن أحمد أنه كره الحجامة في الأيام المذكورة وإن كان الحديث لم يثبت.
                Hadits ini diriwayatkan dari dua jalur, yang keduanya dho’if, dan pada hadits tersebut ada jalur yang ketiga, yang dia juga dhoif, yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny di dalam “Al-Afrod”. Dan diriwayatkan dengan sanad yang bagus dari Ibnu ‘Umar secara mauquf (berhenti pada Ibnu ‘Umar/tidak sampai kepada Nabi). Dan telah menukilkan Al-Khollal dari Ahmad bahwasanya beliau membenci berbekam pada hari-hari yang telah disebutkan walaupun hadits tidak tsabit (tidak shohih).
                Jadi ringkasan dari keterangan tersebut bahwa kapan saja seseorang ingin berbekam maka boleh baginya untuk memilih hari yang dia inginkan, yang dilarang hanya ketika dia berpuasa karena akan membatalkan puasanya, Al-Imam Ibnu Majah berkata di dalam “Sunan”nya:
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّقِّيُّ ، وَدَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ ، قَالاَ : حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ بِشْرٍ ، عَنِ الأَعْمَشِ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ.
“Telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Muhammad Ar-Ruqay dan Dawud bin Rusyaid keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Mu’ammar bin Sulaiman, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Bisyr dari Al-A’masy dari Abi Sholih dari Abu Huroiroh, beliau berkata: Rosululloh (صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ) berkata: “Telah batal puasa orang yang membekam dan dibekam”.
                Jika ada yang berkata bahwa berbekam tidak membatalkan puasa dengan berdalil perkataan Abdulloh bin ‘Abbas –semoga Alloh meridhoi keduanya- sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhory di dalam “Shohih”nya:
إنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ
Sesungguhnya Nabi (صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ) berbekam dan beliau muhrim(melakukan ihrom/ibadah haji) dan beliau berbekam sedangkan beliau berpuasa.
                Maka kita katakan: Apa yang beliau katakan ini telah diselisihi banyak para shahabat diantaranya Abdulloh bin ‘Umar yang beliau memilih pendapat tentang batalnya puasa bagi orang yang berbekam dan yang membekam, sebagaimana Al-Imam Al-Bukhory meriwayatkannya secaramu’allaq (tanpa menyebutkan sanad) dengan shighoh jazm (bentuk pasti/shohih):
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَائِمٌ ثُمَّ تَرَكَهُ فَكَانَ يَحْتَجِمُ بِاللَّيْلِ
Dan dahulu Ibnu ‘Umar –semoga Alloh meridhoi keduanya- berbekam dan dia puasa, kemudian beliau meninggalkannya, dan beliau berbekam pada malam hari.
                Dan Al-Imam Al-Bukhory menyebutkan pula:
وَاحْتَجَمَ أَبُو مُوسَى لَيْلاً.
Dan Abu Musa (Al-Asy’ary –semoga Alloh meridhoinya-) berbekam pada malam hari.
                Pada dua atsar ini tidak ada penjelasan pada malam tertentu maka diambil hukum bahwasanya bekam boleh pada waktu kapan pun selain waktu berpuasa.
            والله أعلم.
                Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limborypada hari Jum’at 1 (satu Romadhon) 1433 Hijriyyah).

PERLOMBAAN DALAM BELAJAR



PERLOMBAAN DALAM BELAJAR
(1)       Apakah boleh berlomba dalam belajar? Misalnya seorang ustadz atau orang tua mengatakan kepada anaknya: Usahakan tahun ini kamu sudah bisa menyaingi si fulan, kamu upayakan bisa menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan juga bisa lancar membaca kitab!
(2)       Apakah di Darul Hadits Dammaj ada model perlombaan atau bersaing dalam mengejar target? Apa tinjauan syariat tentang masalah ini? 
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
            الحمد لله رب العالمين، وبعد:
            Boleh tidaknya berlomba dalam belajar tergantung niatnya, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى».
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung niatnya, dan hanyalah seseorang itu tergantung kepada apa yang dia niatkan”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Umar bin Al-Khoththab Radhiyallohu ‘Anhu).
Kalau seseorang niatnya karena Alloh Ta’ala kemudian supaya bisa mendulang ilmu yang banyak maka ini terpuji, Alloh Ta’ala berkata:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ  [البينة/5]
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka menegakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al-Bayyinah: 5).
            Dan kalau niatnya supaya mencari sanjungan dan pujian atau rekomendasi (ijazah) supaya nantinya bisa memperoleh dunia maka ini tercela, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:      
«وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ».
“Dan seseorang belajar ilmu dan mengajarkannya dan dia membaca Al-Qur’an lalu didatangkan kepadanya dan diperkenalkan nikmatnya maka dia pun mengenalnya. Dia berkata: Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan aku membaca Al-Qur’an untuk-Mu! Alloh berkata: “Dusta kamu! Akan tetapi kamu mempelajari ilmu supaya mau dikatakan ‘alim (berilmu), dan kamu membaca Al-Qur’an supaya dikatakan Qori’ (pembaca), maka sungguh telah dikatakan, kemudian diperintahkan dengannya lalu diseret di atas wajahnya sampai kemudian dilempar ke dalam neraka”. (HR. Muslim dari Abu Huroiroh Radhiyallohu ‘Anhu).
            Adapun tentang perlombaan atau persaingan dalam masalah mengejar target maka ini termasuk dari perkara yang dianjurkan dalam syariat Islam, Alloh Ta’ala berkata:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ  [البقرة/148]
“Maka berlomba-lombalah kalian kepada kebaikan”. (Al-Baqaroh: 148). Dan Alloh Ta’ala berkata:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ  [آل عمران/133]
“Bersegeralah kepada ampunan Robb kalian”. (Ali Imron: 133). Alloh Ta’alajuga berkata:
لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ (113) يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ (114)  [آل عمران/113-115]
“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang bersikap lurus, mereka membaca ayat-ayat Alloh pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud. Mereka beriman kepada Alloh dan hari akhir, mereka menyuruh kepada kebaikan, dan mencegah dari yang kemungkaran dan mereka bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebaikan; mereka itu termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Ali Imron: 113-115).
            Adapun persaingan yang terpuji seperti ini di Darul Hadits Dammaj ramai dilakukan, para penuntut ilmu terutama yang baru datang langsung membuat target dalam setahun diupayakan sudah hafal Al-Qur’an dan ada pula yang datang di Dammaj sudah hafal Al-Qur’an dia membuat target dua bulan di Dammaj diupayakan sudah bisa hafal “Umdatul Ahkam” atau “Bulughul Marom”.
            Dengan semaraknya mengejar target seperti itu sampai ketika kami duduk di masjid sampai larut malam ada dua orang salah satunya dari Dholi’-Yaman dan yang lainnya dari Tanzania datang bertanya kepada kami: “Kapan kamu akan tidur?” Kami menjawab: “Insya Alloh sebentar lagi”, keduanya pun duduk di samping mimbar sambil menghafal dan memuroja’ah hafalan sambil memperhatikan kami; kapan kami akan tidur?”, kemudian kawan kami yang dari Dholi’ tidak bisa menahan ngantuk langsung berbaring tidur, sedangkan yang satunya asal Tanzania langsung mendatangi kami lagi, kemudian berkata: “Kamu ini tidak pernah tidur ya?” Kami menjawab: “Tidur, lihat itu kasur kami!”, dia pun berkata: “Saya tidak tanya kasurmu! Tapi saya Tanya kapan kamu tidur!”, kami menjawab: “Sebentar lagi”, dia pun menunggu, ternyata kami belum juga tidur maka langsung dia berkata kepada kami: “Bagaimana pun juga kamu ini manusia bukan malaikat, nanti juga tidur” kami menjawab: “Tentu”, dia pun kemudian pergi tidur, setelah dia bangun dari tidurnya dia pun melihat kami sudah duduk di tempat kami yang semula, dia pun berkata: “Kamu tidak tidur ya?” Saya pun menjawab: “Tidur!”. Pada malam berikutnya datang lagi kawan kami (orang Dholi’) tadi kemudian berkata: “Saya akan bersaing denganmu, siapa yang bakalan tidur duluan!” Saya pun langsung menjawab dengan tanpa berpikir panjang:
إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا  [الكهف/67]
“Sesungguhnya kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku”. Dia pun menjawab: “Kita lihat saja siapa yang duluan tidur”, tidak lama kemudian dia sudah nundukkan kepalanya (tertidur), saya pun membangunkannya dan menyuruhnya untuk pergi tidur di kasurnya, dia pun berkata: “Ternyata saya tidak bisa menahan rasa ngantuk”, kami pun langsung menjawab dengan tanpa berpikir panjang:
أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا  [الكهف/72]
“Bukankah aku sudah katakan: Sesungguhnya kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku”. Dia pun tersenyum.
Pertanyaan:
            Ustadz Barokallohu fiikumAlhamdulillah Alloh Ta’alamemberikan kepada kami kelebihan rezki, dan kami sangat senang kalau anak-anak kami bisa belajar di Dammaj, namun kami melihat pada anak-anak kami tidak memiliki semangat tentang ilmu, kami khawatir kalau kami memberangkatkan mereka ke Dammaj mereka akan bertambah bebas karena kami mendengar banyak anak-anak Indonesia tidak terurus dalam masalah belajarnya sampai banyak yang dipulangkan! Apa saran dan nasehat ustadz kepada kami?
Jawaban: 
بسم الله الرحمن الرحيم
            الحمد لله رب العالمين، وبعد:
Jika seperti itu keadaan anak-anakmu maka hendaklah kamu melihat kepada anak-anak orang lain (saudaramu seiman) yang keadaannya tidak seperti anak-anakmu, artinya kamu melihat kepada anak-anak orang yang hidupnya pas-pasan (faqir) namun masya Alloh anak tersebut sangat cinta kepada ilmu; yang dia memiliki kemauan tinggi dalam menuntut ilmu dan dia berakhlak mulia, jika kamu sudah mendapati anak seperti itu maka dukunglah dia dan jadikanlah dia sebagai kawan dekat untuk anak-anakmu, berangkatkanlah dia ke tempat ilmu bersama anak-anakmu dengan sebab itu anak-anakmu akan banyak mengambil pelajaran dari anak yang faqir tersebut, dia akan terdorong dan ikut berpacu dalam mendulang ilmu bersamanya, Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ».
“Seseorang di atas agama temannya, maka lihatlah salah seorang dari kalian siapa yang dijadikan teman”. (HR. Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abu Huroirah Radhiyallahu ‘Anhu).
Jika kamu tidak mendapatkan seorang pun yang bisa menemani anak-anakmu dalam menuntut ilmu maka bisa kamu hubungi di tempat ilmu misalnya di Dammaj, kamu cari ada tidak seseorang yang kira-kira perihalnya seperti yang kami utarakan, kamu tanya orang yang kamu kenal terpercaya: “Ada tidak orang yang seperti itu”, bila ada maka langsung hubungi orang tersebut dan tanyakan bisa tidak dia memperhatikan anak-anakmu? Jika dia bersedia maka langsung diberangkatkan! Dan Insya Allohitu bisa diharapkan kebaikan kepada anak-anakmu, dan ini yang sering dinasehatkan oleh para ulama, hal ini sebagaimana kami dapatkan ke empat saudara-saudara kami (Abu Hamzah As-Seramy, Anas Al-Limbory, Said Al-Limbory dan Uwais Al-Maidany) ketika mereka mau ke Dammaj maka kami menyarankan mereka kalau sudah di sampai di Shon’a maka hendaknya mereka menemui Syaikhuna Al-Walid Abu Ibrohim Muhammad Mani’ Al-AnsyHafizhahulloh, ketika mereka sampai maka saudara kami yang mulia Abu Zaid Syahir Al-Malazy Hafizhahulloh langsung mengantar mereka berjumpa dengan Asy-Syaikh yang mulia tersebut, Asy-Syaikh pun senang berjumpa dengan ke empat saudaraku tersebut, kemudian beliau memberikan nasehat dan pengarahan, diantara pengarahannya: “Jika sudah sampai di Dammaj maka kalian bersungguh-sungguh dalam belajar dan hati-hati dalam mengambil teman, bertemanlah dengan orang-orang mencintai ilmu dan suka mengamalkan ilmunya, Walhamdulillah sesampainya mereka di Dammaj mereka pun memilih yang terbaik, mereka rajin mencari shof pertama dalam sholat jama’ah, ketika ta’lim bersama Syaikhuna Yahya mereka selalu duduk di depan! Masya Alloh itu suatu kebaikan yang Insya Alloh bisa diharapkan.
            Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad Al-Limbory Hafizhahulloh.

MIMPI BASAH DAN PERBEDAAN MANI DAN MADZI


MIMPI BASAH
BEDA MANI DAN MADZI
Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الرحيم
            Akh saya mau tanya! saya ini terkadang tidur, setelah bangun dari tidur saya mendapatkan cairan kental yang keluarnya tidak disertai dengan mimpi basah, dan apa nama cairan tersebut? Apa hukum cairan itu apakah najis ataukah tidak? Wabillahit Taufiq.
            Abu Jarir bin Alimu Al-Limbory.
Jawaban:
بسم الله الرحمن الرحيم
          الحَمْد لله، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
          أما بعد:
            Kalau cairan tersebut berbau tidak sedap (berbau sabun atau yang sejenisnya), yang dia berwarna putih keruh seperti lendir dan setelah keluar mengakibatkan badan lemas maka ketahuilah bahwa dia adalah mani, kapan pun cairan tersebut keluar maka wajib mandi dengan keumuman perkataan Alloh Ta’ala:
﴿وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا [المائدة/6]
“Dan jika kalian junub maka bersucilah kalian”. (Al-Maidah: 6). Dan AllohTa’ala berkata:
﴿وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا﴾ [النساء/43]
“Dan jangan (pula mendatangi masjid) sedangkan kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi”. (An-Nisa’: 43).
            Adapun cairan (mani) maka dia tidak najis, dengan dalil perkataan Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha tentang mani:
كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Dahulu aku mengoreknya dari pakaiannya Rosululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”. (HR. Al-Bukhory dan Muslim dari ‘Alqomah dan Al-Aswad, dan ini adalah lafadznya Muslim), dalam lafadz yang lain:
أَنَّ رَجُلاً نَزَلَ بِعَائِشَةَ فَأَصْبَحَ يَغْسِلُ ثَوْبَهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّمَا كَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ.
“Bahwasanya ada seseorang pergi ke Aisyah, pada pagi harinya dia mencuci pakaiannya, maka Aisyah berkata: “Hanyalah cukup bagi kamu jika melihatnya untuk kamu cuci tempat (yang dikenai)nya, jika kamu tidak melihatnya maka kamu membasahi (dengan air) di sekitarnya, dan sungguh telah aku melihatnya kemudian aku mengoreknya dari pakaian RosulullohShallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sekali korekan lalu beliau sholat dengan pakaian tersebut”.
            Namun perlu diperhatikan: Bila seseorang bangun dari tidurnya lalu mendapati cairan (mani) yang sudah mengering maka hendaklah dia mencuci tempat yang dikenai mani tersebut, hal ini disebabkan karena sebelum keluarnya mani itu terlebih dahulu keluar madzi, sedangkan madzi  telah bersepakat ulama tentang najisnya, adapun kalau dia melihat bahwa madzinya keluar duluan dan tidak mengenai pakaiannya hanya saja yang mengenai pakaiannya adalah mani lalu kemudian mani tersebut mengering maka cukup untuk dikorek dengan kukunya atau sesuatu yang bisa melepaskan mani tersebut dari pakaiannya sebagaimana dijelaskan pada hadits Aisyah dalam “Ash-Shahihain”. Wallohu A’lam.
            Bila keberadaan cairan yang ditanyakan tersebut ketika dipegang lengket, warnanya seperti keringat atau air mata manusia, dan dia keluar dengan tidak memuncrat namun dia hanya keluar kemudian melekat di ujung atau sekitar dzakar maka dia adalah madzi, jika sudah pasti bahwa dia adalah madzi maka cukup dengan di cuci dzakar dan tempat yang dikenainya, dari Muhammad Ibnul Hanafiyyah dari ‘Ali, beliau berkata:
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ فَقَالَ: «فِيهِ الْوُضُوءُ».
“Dahulu aku adalah orang yang sering keluar madzi, maka aku memerintahkan Al-Miqdad untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian dia bertanya maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallamberkata: “Padanya wudhu”. (HR. Al-Bukhory dan Muslim), dalam riwayat Al-Bukhroy dengan lafadz:
«تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ».
“Kamu berwudhu dan cucilah dzakarmu!”. Dan dalam riwayat Muslim ada pula dengan lafadz:
«يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ».
“Dia mencuci dzakarnya dan berwudhu”.

Pertanyaan:
            Terus bagaimana dengan mimpi (basah) tapi tidak mengeluarkan cairan? Wabillahit Taufiq.
            Abu Jarir bin Alimu Al-Limbory.
            Jawaban:
Bila seseorang mimpi kemudian dia bangun dan tidak mendapati cairan (mani) maka tidak perlu mandi, karena dipersyaratkan mandi bila mendapati atau melihat cairan (mani), sebaimana ketika Ummu Sulaim bertanya kepada Nabi Shollallohu’Alaihi wa Sallam:
«يَا رَسُولَ الله، إِنَّ الله لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟»
“Wahai Rosulallah! Sesungguhnya Alloh tidak malu dari kebenaran, apakah wajib bagi wanita untuk mandi jika dia mimpi basah?” Beliau berkata:
«نَعَمْ، إِذَا رَأَتْ الْمَاء»
Iya, (wajib mandi) jika dia melihat air mani”. (HR. Al-Bukhory dan Muslim).
 Wallohu A’lam.

Pertanyaan:
            Mengenai pembahasan tentang nikah dengan perwalian hakim, lalu bagaimana jika seseorang ingin menikah tapi laki-laki melarang prempuan untuk menghubungi keluarganya atau keluarganya tidak boleh menghubunginya maka prempuan tadi mengganti no HP-nya agar keluarganya tidak mengetahui tentang keadaan prempuan tadi, karena prempuan tadi juga berada di pondok yang ada yayasannya, bagaimana dengan tindakan keduanya apakah benar ataukah salah? Mohon jawabannya! Barokallahu fiikum.
            Hisyam bin Abdulloh Al-Limbory
Jawaban:
            Jelas salah! Perbuatan kedua orang tersebut benar-benar salah. Dan perkara tersebut sering didapati di pondok-pondok pesantren yang ada TN (Taman Nona)nya, muslim yang baik dan berakhlak mulia tentu dia tidak akan menempuh cara-cara yang batil seperti itu, karena dia selalu mengingat perkataan Alloh Ta’ala:
﴿تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [البقرة/229]
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Al-Baqaroh: 229).
            Dijawab oleh Abu Ahmad bin Salim Al-Limbory Waffaqahullohpada hari Kamis Qobla Tsulutsil Lail (22 Jumadil Ula’ 1433) di matras Indonesia depan kediaman Asy-Syaikh Ahmad Al-Washoby Darul Hadits Dammaj-Sho’dah-Yaman.